Sejak gadget menjadi piranti elektronik yang nggak terpisahkan dari manusia, semua hal menjadi sangat mudah. Order makanan, jual berbagai barang, baca berita, bertukar kabar dengan orang nan jauh di sana, pun bikin janji. Rasanya, membuat janji ketemu pun segampang itu dilakukan karena hanya perlu dilakukan via medsos yang selalu menemani kegabutan kita. Namun, kemudahan membuat janji ini juga memudahkan mereka (padahal saya dan kamu juga) menyepelekan janji tersebut. Memang sih budaya ngaret sulit dipisahkan dari masyarakat kita. Mulai dari acara instansi pemerintah tingkat kota, tingkat sekolah sampai janji ketemu individu, sudah dipastikan sering ngaret.
Dalam budaya ngaret ini bisa saja kita menyalahkan faktor kedisiplinan dan manajemen waktu individu atau panitia acara yang jelek. Tapi, mari coba berpikir lebih luas untuk memahami orang ngaret dengan kacamata positif. Biar apa? Biar kita ikhlas dan tetap berlapang dada menjadi korban yang disia-siakan waktunya. Nah, rugi kok harus ikhlas? Soalnya kalau kita marah, urusan malah jadi berabe, nggak kelar-kelar. Terus? Nih, baca saja beberapa alasan yang mungkin mereka rasakan sehingga terpaksa harus ngaret.
#1 Tukang ngaret sebenarnya orang tepat waktu yang selalu dikhianati
Biasanya, seorang korban akan berpotensi meniru perbuatan pelaku. Misalnya nih, ada anak yang pernah jadi korban perundungan, nah bisa jadi ke depannya kelak dia akan menjadi pelaku bullying anak lain. Sama halnya dengan ngaret. Bisa jadi, orang yang ngaret adalah korban dari teman-temannya yang hobi ngaret.
Jelasnya gini, sebenarnya doi adalah tipe yang disiplin dan tepat waktu. Namun setiap kali bikin janji, ndilalah teman-temannya atau acara yang akan dia hadiri selalu molor. Nah, kebiasaan ini nggak cuma terjadi sekali dua kali. Karena lelah terus-terusan menjadi korban, dia memutuskan ngaret juga sebagai motif balas dendam biar teman-temannya merasakan apa yang dia rasakan. Pun usaha antisipasi jika dirinya harus jadi korban lagi, mending ngaret sekalian. Gitu loh.
#2 Tukang ngaret sebenarnya orang yang sangat tepat waktu
Saya curiga bahwa orang yang ngaret itu sebenarnya orang yang sangat tepat waktu. Sejak dari rumah, dia sudah memperhitungkan betul jarak rumah ke tempat tujuan dengan kecepatan kendaraan yang akan ia tempuh. Katakanlah butuh waktu 30 menit, tepat setengah jam sebelum waktu janjian itu dia sudah jalan.
Tapi, kita nggak boleh lupa kalau sesuatu yang berlebihan itu nggak baik. Dia sangat tepat waktu, sampai keterlaluan tepatnya. Waktu yang mepet persis itu lagi-lagi direcoki oleh kejadian tak terduga di jalan. Entah lupa bawa dompet jadi harus balik lagi, antrean di pom bensin yang terlalu panjang, atau kejebak macet karena ada iring-iringan mobil Presiden yang sedang melakukan kunjungan ke daerah sampai-sampai anak SD disuruh berjejer di pinggiran jalan untuk menyambutnya. Nah, kejadian di luar perkiraan ini yang bikin dia ngaret.
#3 Penyesuaian lingkungan
Masih ingat kan teori seleksi alam? Alasan ke sekian yang bikin orang ngaret adalah mereka hanya sedang melakukan yang semestinya dilakukan. Keyakinan yang bertahan adalah yang terkuat, maka mereka melakukan penyesuaian lingkungan. Karena masih ingin eksis di lingkungannya, mau nggak mau orang-orang ini harus membaur dan mengikuti kebiasaan molor orang-orang sekitarnya.
Alasan ini menurut saya sangat rasional. Gimana nggak rasional, wong hal ini semata-mata dilakukan untuk mempertahankan diri. Mereka seperti terinspirasi dari quote orang bijak yang kurang lebih begini bunyinya: jika kamu nggak bisa melawan musuhmu, maka jadilah bagian dari musuhmu. Kalau kamu nggak kuat menghadapi teman-temanmu yang punya jam ngaretnya minta ampun, ikut ngaret saja sekalian. Kelar, kan?
#4 Korban ngaretnya orang lain
Dari sekian banyak alasan, menurut saya alasan ini yang paling terlihat menyedihkan. Dari dalam lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya dia nggak bermaksud ngaret sedetik pun. Hanya saja, ia menjadi korban orang lain yang ngaret hingga janji temu selanjutnya pun ikut tertunda. Mau menyalahkan orang lain di depan orang lain, nggak etis. Dibilang tukang ngaret pun nggak terima. Susah deh pokoknya jadi korban gitu. Ujung-ujungnya apa? Ada korban lain lagi dan harus terima disalahkan. Oh kasihan, aduh kasihaaan…
Seperti mata rantai yang nggak ada ujungnya, hal ini yang menjadikan budaya ngaret terus lestari. Nggak apa-apa ngaret selagi masih manusiawi, tapi lebih manusiawi lagi kalau bisa sesuai janji, sih. Paling penting lagi, jangan kapok jadi korban OTW tapi nggak sampai-sampai yhaw~
BACA JUGA Penganan dari Kabupaten Batang yang Hanya Bisa Dijumpai pada Momen Tertentu dan tulisan Elif Hudayana lainnya.