Ramadan telah usai. Setelah 30 hari kenyang dihujani dengan ajakan tobat, bulan Syawal adalah momen reinkarnasi untuk jadi pribadi yang lebih baik. Salah satu yang saya harapkan bisa ikut memanfaatkan kesempatan ini adalah para satpam kampus. Sudah saatnya mereka insaf dari perbuatan zalim pada mahasiswa.
Tugas utama satpam adalah waspada terhadap berbagai ancaman yang sekiranya bisa mengganggu keamanan. Wajar jika para jagabaya ini memiliki hubungan yang begitu romantis dengan kunci, gembok, dan berbagai jenis pintu. Namun, cinta yang berlebihan memang tak pernah baik. Berahi satpam-satpam untuk mengunci pintu ini seringkali muncul dengan terburu-buru.
Saya sendiri pernah menolong teman-teman yang terkunci di salah satu lantai atas sebuah gedung kampus. Kala itu, saya mesti menjadi terdakwa dengan para satpam ini selaku hakimnya. Mereka mengintrogasi angkatan, jurusan, dan keperluan mereka yang terkunci. Sedangkan saya, berganti bertanya alasan pintu gedung yang sudah dikunci sebelum waktunya.
“Masa kami suruh nungguin orang ngobrol?” Jawab salah satu dari mereka ketika saya menjawab masih ada keperluan rapat. Saya tahu, sidang tersebut tidak mungkin saya menangkan. Terpaksa saya terima ocehan-ocehan itu.
Baca halaman selanjutnya….
Satpam kampus asal kunci dan asal gembok
Kejadian tersebut tidak hanya menimpa saya. Banyak kawan lain juga demikian sebab para satpam ini tidak benar-benar menyisir tiap ruangan. Terkadang mereka hanya sembarang mengunci dan menggembok. Kawan saya yang lain bahkan pernah sampai harus loncat dari jendela. Beruntung kejadian itu tidak diketahui dosen atau para satpam ini.
Menyebalkannya satpam, asumsi saya, jadi salah satu yang membuat mahasiswa semakin malas ke kampus kalau tidak kuliah. Hal remeh-temeh sekadar kerja kelompok pun terpaksa dilakukan di kafe. Terbukti dari jumlah kafe di Kota Pelajar yang begitu melimpah.
Hal ini juga berdampak ada kegiatan non-akademik mahasiswa. Membuat kegiatan di akhir pekan/liburan jadi lebih sulit. Meski sudah mengantong izin, tak jarang mahasiswa harus membuat surat terpisah untuk para satpam. Birokrasi ini yang semakin menambah pekerjaan Divisi Humas. Saya sendiri seakan memahami jika beberapa mahasiswa tengil memberanikan diri untuk membikin kunci duplikat.
Beberapa organisasi yang beruntung—memiliki anggota yang teramat loyal—memilih markas organisasi di luar kampus sebagai alternatif tempat berkumpul. Umumnya ini dipilih dari salah satu kontrakan anggota yang agak lebih luas. Nantinya, mereka harus merogoh uang lagi untuk menyewa vila di Kaliurang atau coworking space—begitu umumnya disebut—untuk melaksanakan program kerja tertentu. Perlu diketahui jika dalam berorganisasi adalah amat wajar apabila menggunakan uang pribadi. Dana kampus kerap terlambat turun atau memang tak bisa menutup semua kebutuhan. Nanti diganti kok, tenang, organisasi mahasiswa bukan pengisap darah kok.
Cuma bisa galak sama mahasiswa
Namun, yang paling disayangkan adalah keawasan satpam yang tidak konsisten. Hanya galak pada mahasiswa. Kalau ditanya soal helm yang hilang tak bisa menjawab, apalagi jika dikombinasikan dengan CCTV kampus yang rusak. Mahasiswa hanya bisa sabar atau maksimal ya misuh-misuh.
Pekerjaan satpam pada intinya melayani. Toh, yang dijual memang jasa. Sebagai mahasiswa, yang diharapkan juga tidak muluk-muluk. Ada standar keramahan dalam pelayanan, itu saja. Mereka ini adalah garda terdepan yang berhadapan langsung dengan publik sehingga jadi representasi pertama dari kampus. Kalau hari-hari mereka cuma mengobrol dan minum kopi, mungkin kegiatan para petinggi kampus juga tak jauh beda.
Ketika masuk kampus pada bulan Syawal esok, tentu harapannya satpam-satpam ini bisa bertobat. Kalau pun tidak, mari kita saling bermaaf-maafan. Mereka karena tingkahnya yang menyebalkan. Sedangkan saya dan kawan-kawan lain, turut berdosa karena telah sibuk menggunjing mereka.
Tapi kenyataane pancen… hash.
Penulis: Delima Purnamasari
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Jadi Satpam Pabrik yang Harus Siap Dimusuhi Buruh Satu Pabrik