“Siap-siap, ya, Bapak dan Ibu. Nanti hotel Bapak dan Ibu akan kedatangan petugas CHSE.”
Pesan singkat dalam grup itu bikin saya tertegun. Petugas apalagi ini? Memasuki bulan terakhir di 2020 saat itu, sebagai pengelola hotel di kota wisata, otak saya lagi rudet membayangkan bakal seperti apa okupansi di akhir tahun nanti? Ramaikah? Atau masih senyap seperti Lebaran kemarin? Mikirin ada atau tidaknya cuti bersama saja sudah bikin mumet. Eh, ketambahan lagi deg-degan bakal didatengin petugas CHSE. Saat itu saya lagi blank, bingung, dan cemas. Tidak ada bayangan sama sekali, itu aparat mau ngapain?
Akhirnya saya teringat, beberapa waktu lalu saya memang mendaftarkan usaha saya secara online untuk mendapatkan sertifikasi CHSE ini. CHSE sendiri merupakan program penerapan standar protokol kesehatan dari Kemenparekraf terkait cleanliness (kebersihan), health (kesehatan), safety (keamanan), dan environment sustainably (kelestarian lingkungan). Sasarannya, para pelaku usaha di industri pariwisata dan ekonomi kreatif. Bidang usaha saya, perhotelan, jelas menjadi salah satu targetnya.
Tidak ada bayangan sama sekali bagaimana saya harus menjalani sertifikasi ini. Ketika waktunya sang petugas datang, seperti deja vu. Prosesnya mengingatkan saya pada ospek kampus. Saat itu, saya harus mampu menyiapkan ini-itu dalam waktu yang cepat. Ternyata, protokol kesehatan yang distandarkan mereka sangat buanyaaak! Penggunaan masker, penyediaan tempat cuci tangan, dan pengukuran suhu tubuh bisa dibilang hanya sebagai introduction.
Awalnya saya berasumsi bahwa sertifikasi CHSE ini dilaksanakan terkait mewabahnya virus Covid-19. Dengan memiliki sertifikasi CHSE, diharapkan konsumen pun merasa aman dan nyaman selama menggunakan produk dan jasa dari pelaku usaha di masa pandemi. Oke, saya bisa memahami hal itu. Harapan saya sederhana saja sebenarnya. Siapa tau dengan sertifikasi itu hotel saya bisa memiliki nilai plus yang dipertimbangkan oleh segelintir calon tamu hotel. Nggak munafik, saat itu kami benar-benar sedang “rebutan” tamu.
Namun kenyataannya, sang petugas juga memeriksa hal-hal yang menurut saya nggak ada hubungannya sama sekali dengan pandemi. Contohnya, beliau meminta hotel saya untuk melengkapi beberapa sign yang sebenarnya sudah ada, tapi mungkin dianggap kurang. Seperti sign dilarang merokok, stiker imbauan untuk menghemat air dan energi, atau sign jalur keluar. Tidak hanya itu, genset, Alat Pemadam Api Ringan (APAR), sampai sistem pembuangan air limbah pun ternyata tak luput dari pemeriksaannya.
Sebenarnya, sebatas apa sih ruang lingkup CHSE ini? Kalau memang genset, APAR, dan pembuangan limbah menjadi wewenang CHSE juga, apakah itu berarti dinas terkait tidak akan melakukan pemeriksaan lagi? Pasalnya selama ini, masing-masing perangkat diperiksa secara berkala oleh dinas yang berbeda-beda. Genset dan perlistrikan misalnya, menjadi tugas dari dinas tenaga kerja untuk memeriksanya. Pembuangan air limbah menjadi tanggung jawab Dinas Lingkungan Hidup, sementara Dinas Pemadam Kebakaran yang rutin “mengurusi” APAR.
Terus sekarang ada CHSE pula. Sebelumnya, sudah terlalu banyak aturan yang dikirimkan kepada para pengelola hotel terkait pandemi ini. Mulai dari SOP yang dikeluarkan Kemenkes, Dinas Kesehatan Propinsi, Dinas Kesehatan Kota, sampai PHRI (organisasi yang menaungi hotel-hotel di Indonesia) pun nggak mau kalah. Kalau diperhatikan, ada beberapa poin yang berbeda di masing-masing SOP tersebut. Contohnya, ada yang mewajibkan memakai sarung tangan, ada yang tidak. Ada juga yang mewajibkan memakai face shield, ada juga yang cukup sekadar masker. Lha terus kalau “nggak kompak” gitu, yang mana yang harus dipegang?
Di tengah kebimbangan itulah sertifikasi CHSE ini hadir. Sukses bikin saya makin bingung. Apalagi setelah mengalami sendiri bagaimana prosesnya. Kalau memang hal-hal seperti genset dan limbah pun diperiksa, kok sepertinya dalam CHSE, pandemi ini sekadar menjadi “tempelan”, ya? Saya jadi bertanya-tanya, sebenarnya tujuan standarisasi ini buat apa? Apakah untuk standarisasi minimum pelayanan hotel, untuk kepentingan konsumen, atau untuk kepentingan “yang mana”?
Sahabat saya yang suka travelling mengatakan bahwa CHSE memang sejatinya menjadi pertimbangan kala memutuskan untuk menginap di suatu tempat. Namun, sertifikasi ini bukanlah hal yang esensial bagi dirinya. Ia lebih menjadikan referensi, ranking, review, dan komentar orang-orang di media sosial sebagai pertimbangan utamanya. Bahkan ia lebih memilih pergi ke tempat favoritnya walaupun tempat tersebut tidak memiliki sertifikasi CHSE, dibandingkan pergi ke tempat lain yang bersertifikat.
Sejak disosialisasikannya sertifikasi CHSE ini ke publik, hotel saya sendiri sebenarnya juga tidak menjumpai tamu yang menanyakan keberadaan sertifikasi CHSE ini secara langsung. Tapi bisa jadi, hal yang berbeda ditemui untuk tamu yang memesan kamar hotel secara online. Beberapa Online Travel Agent (OTA) membuat campaign CHSE ini dalam berbagai bentuk. Namun intinya sama, jaminan keamanan dan kenyamanan tamu selama menginap di beberapa mitra hotelnya dengan melabeli “clean” atau sejenisnya. Entahlah seberapa efektif campaign ini berhasil memikat konsumennya.
Sahabat saya yang lain mengakui bahwa CHSE ini bikin jiwanya tenang. Kalau situasinya sedang “genting” dan ia diharuskan bepergian, ia akan mantap memilih hotel yang bersertifikasi CHSE. Namun, kalau situasinya dirasa membaik seperti akhir tahun lalu, ia tidak peduli dengan sertifikat CHSE ini. Ia lebih memprioritaskan review sebagai pertimbangannya untuk memilih hotel.
Penuturan sahabat saya itu sempat membuat saya berpikir bahwa sertifikasi ini akan “dipandang” oleh konsumsen pada momen-momen tertentu aja, misalnya pada saat kasus covid melonjak. Namun, di kota tempat saya tinggal, sepertinya asumsi itu tidak sepenuhnya benar. Sejak hotel saya dinyatakan “lulus” sertifikasi CHSE, saya belum menemukan satu orang pun tamu yang menanyakan keberadaan sertifikat CHSE ini di hotel.
Sementara kita mengetahui bahwa sepanjang 2021 sampai sekarang, kasus covid naik-turun. Dibandingkan 2020, di 2021 justru okupansi kami agak membaik. Hal ini semakin membuat saya mempertanyakan keefektifan sertifikasi ini di kota saya. Mungkin saja, sertifikasi ini bisa lebih efektif di kota-kota lain seperti Jakarta atau Bali, di mana sebagian besar warganya pun sudah lebih “nurut” prokes. Namun, sertifikasi ini sepertinya tidak “mempan” di kota saya. Alih-alih menanyakan sertifikasi, untuk segmen tertentu “harga kamar” lebih menjadi prioritas mereka.
Lantas, siapa yang nantinya akan menegakkan regulasi ini? Melihat CHSE ini adalah program pemerintah pusat, apakah nantinya walikota yang akan mengawasinya?
Sempat tersiar kabar bahwa sertifikasi ini akan menjadi kewajiban rutin yang harus dipenuhi oleh pengelola hotel. Di 2020 itu, pengurusan ini masih dibebaskan dari biaya. Namun, ke depannya tidak lagi. Efeknya tentu saja, tambah lagi cost yang harus dikeluarkan demi mendapatkan sertifikasi ini. Berkaca pada pengalaman pengurusan sertifikasi sebelumnya, ekstra cost yang harus dikeluarkan untuk memenuhi standart mereka, cukup memberatkan pengurus hotel kecil seperti saya. Nggak heran organisasi PHRI (Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia) sempat menyatakan menolak kewajiban berbayar ini.
Hotel masih terpuruk. Secara data mungkin tingkat hunian terlihat membaik. Namun, jangan salah, room rate yang ditawarkan pun terkoreksi jauh, sampai 40 persen dari harga normal sebelumnya. Ketika pemerintah berusaha untuk menghilangkan biaya-biaya yang tidak perlu, yang mengakibatkan barang dan jasa menjadi high cost, sebenarnya sertifikasi CHSE ini untuk kepentingan siapa? Dari pengalaman saya, tidak semua level masyarakat merasa hal ini perlu. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, kebanyakan tamu hotel justru lebih mencari harga murah, dibanding mencari sertifikat CHSE di lobby hotel.
Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Audian Laili