Meski fenomena ini sebenarnya sudah lama terjadi di angkringan, tapi saya tetap merasa ada yang kurang saat melihat angkringan tak lagi menyediakan rokok eceran. Kayak gimana gitu.
Dulu, masa-masa 2000-2010-an, hampir tiap HIK (sebutan untuk angkringan di daerah Solo Raya) selalu menyediakan rokok eceran. Samsu, Garpit, Jarum Super, 76, adalah merek rokok yang menghiasi gerobak angkringan. Bagi perokok dengan uang super mepet kayak saya, rokok eceran cukup menjadi penolong saat mulut terasa kecut.
Setelah kuliah tahun 2011, saat sudah lumayan punya duit (yang sebenarnya sama saja mepetnya), saya mulai beli rokok bungkusan yang jelas lebih irit kalau dikalkulasi. Tapi saya masih bisa menemukan kotak eceran di gerobak. Hanya saja, di Jogja lumayan jarang saya temui penjual yang menyediakan rokok eceran di gerobaknya.
Sekarang, setidaknya 5 tahun terakhir, hanya sekali saya menemui ada penjual angkringan yang menyediakan rokok eceran. Bahkan HIK di Wonogiri pun kebanyakan sudah tidak menyediakan itu. Hanya satu, itu pun hanya sedia Djarum Super. Sudah tidak bervariasi seperti dulu.
Perasaan tak menyenangkan yang tiba-tiba hinggap
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal itu. Hanya saja, saya merasa ada yang kurang. Sebagaimana manusia pada umumnya, saat bertambah umur, perasaan melankoli kerap muncul pada hal-hal sepele. Salah satunya ya pada keberadaan rokok eceran di HIK yang dulu saya anggap sebagai penyelamat. Bagi saya yang merokok sembunyi-sembunyi saat SMA, sebatang Djarum sudah jadi “pelepas dahaga”.
Segelas es teh dan sebatang Djarum di angkringan setelah berbuka puasa, di masa-masa SMA kelas 3, rasanya jadi hal yang amat menyenangkan.
Ketika kuliah, saat merokok tak lagi sembunyi-sembunyi, perasaan sederhana tersebut menghilang. Apa yang spesial dari merokok sembunyi-sembunyi, wong selalu punya sebungkus di kantong. Tapi saat sudah dewasa dan berkeluarga, meski saya sudah tak aktif merokok seperti dulu, saya justru kangen melihat toples rokok eceran di angkringan.
Ah, jebul tumbuh dewasa itu memang tidak menyenangkan. Kita kadang merindukan hal yang nggak penting-penting amat pada hidup, tapi efeknya lumayan mengganggu.
Toples berisi rokok eceran yang tak lagi ada
Kalau ditanya apa penyebab penjual angkringan tak lagi jualan rokok eceran, saya kurang tahu. Mungkin karena harga rokok yang melejit (TERIMA KASIH BANGET LHO SRI MULYANI, SUWUN BANGET, SUWUN), keuntungan rokok eceran tak lagi seksi. Orang memilih beli rokok dengan merek nggak jelas, bahkan kadang ilegal, demi melepas stres sembari bercengkerama di angkringan.
Atau mungkin karena larangan menjual rokok eceran yang menurut saya nggak ada masuk akalnya. Tapi ya saya tak bisa menyalahkan penjualnya. Mereka taat aturan, dan memilih untuk tidak ambil risiko.
Tapi apa pun itu, rasanya ada yang kurang saat melihat angkringan tanpa rokok eceran. Mungkin memang itulah bentuk HIK sekarang, dan ya, tak ada salahnya. Lagi-lagi, perasaan nostalgia yang bikin melankoli kadang malah mengganjal dan bikin bertanya-tanya.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Area Banyak Angkringan di Jogja yang Sepi dan Nyaman, Tak Kalah dari Malioboro dan Sekitarnya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.a