Beberapa waktu lalu, ramai di internet meme yang berasal dari potongan video seorang bocah berkata, “Nggak bisa basa enggres” sambil mengelap mukanya menggunakan dasi seragam sekolah, melas. Hingga ini bisa ramai, kita dapat melihat bahwa jumlah orang yang menginternalisasi nilai yang direpresentasikan dalam meme ini cukup banyak. Utamanya soal belajar bahasa Inggris.
Alih-alih meme ini menjadi perayaan akan adanya kesenjangan kecakapan berbahasa Inggris yang ada dalam masyarakat kita, beberapa orang-orang yang jago bahasa Inggris justru gatel dengan praktik penggunaan meme ini. Mereka bilang, ini cuma bakal menjadi alasan (pembenar) untuk orang-orang malas yang tidak mau belajar.
Tapi, emang segitunya, ya?
Dari laporan English Proficiency Index (EPI) 2020 dari EF – iya, EF yang itu – Indonesia menempati peringkat 74 dalam tingkat kecakapan berbahasa Inggris dari total 100 negara di luar lingkar utama negara-negara Anglosphere macam Britania Raya, Amerika Serikat, Kanada, ataupun Australia dan Selandia Baru. Indonesia masuk dalam peringkat kecakapan yang rendah, masih kalah dengan Malaysia, Filipina, apalagi Singapura. Tentu angka itu bukanlah hal yang mengejutkan untuk kita ketahui bersama, toh, kita sudah banyak tahu kalau Indonesia sering tertinggal dalam banyak hal, kecuali soal tingkat kebisingan warganet.
Jika kita mau lebih peduli, tingkat kecakapan bahasa Inggris rata-rata dari satu negara juga berbanding lurus dengan ekonomi, tingkat inovasi, dan pengembangan. Kenyataan ini tidak memberi makna apa pun sampai kita mau menakar ulang pertanyaan, kenapa kita belajar bahasa Inggris?
Sebenarnya, untuk menjalankan fungsi manusia yang basic-basic saja, kita tidak perlu belajar bahasa Inggris. Kita hanya perlu ngerti bagaimana cara untuk berekspresi.
Kita belajar bahasa Inggris karena adanya aktivitas praktis di era ini, dalam batas kenyataan kita, yang telah menuntut untuk itu. Saya menggunakan kata “kita” untuk mengacu pada kelompok yang paling tidak sudah menjalankan aktivitas membaca Terminal Mojok, bukan kelompok masyarakat yang mana aktivitas praktisnya punya batasan-batasan yang berbeda dengan sobat Mojok sekalian i.e masyarakat adat pedalaman.
Dalam kaca mata ini saja, kita punya satu dasar pemikiran soal kecakapan bahasa Inggris dengan kaitannya terhadap rupa aktivitas praktis kita sehari-hari.
Poin selanjutnya adalah karena adanya ragam aktivitas di dalam masyarakat yang rada modern ini, maka institusi pendidikan dan kebudayaan menjalankan praktik wacana yang beragam pula. Dari bermacam bentuk institusi pendidikan dan kebudayaan, ada satu bentuk berupa sekolah formal yang geraknya mengikuti arahan kurikulum nasional. Di sini kita bisa tahu bahwa ada satu kelompok yang berisi tukang atur yang mendesain bagaimana rangkaian instruksi dapat dijalankan. Kelompok tukang atur ini mengejewantahkan kalimat sederhana “mencerdaskan kehidupan bangsa” dalam rangkaian praktik dengan tujuan akhir “konformitas” bersama sebagai bangsa.
Dari rangkaian kalimat ndakik-ndakik di atas, jawaban soal kenapa kita belajar bahasa Inggris tadi sebenarnya ada dua. Yang pertama adalah karena kita perlu itu untuk beraktivitas, dan yang kedua karena kebetulan sebagian dari kita masuk sekolah formal dan oleh negara kita disuruh belajar bahasa Inggris.
Untuk kasus pertama ini boleh dibilang clear tidak ada masalah. Kecuali kalau mau dicari-cari masalahnya, tentu saja ada. Nah, untuk poin kedua ini yang menarik. Kalau kita belajar bahasa Inggris karena kebutuhan, kita bisa membuat regulasi untuk diri kita sendiri. Namun, kalau kita belajar karena disuruh… ntar dulu.
Jika secara kolektif kita tahu bahwa belajar bahasa Inggris lebih banyak manfaatnya daripada mudaratnya, langkah selanjutnya untuk otoritas kan sebenarnya adalah mereformasi agar tidak banyak mubahnya. Namun, sebagaimana praktik hegemoni negara atas apa pun, celah untuk beberapa hal dapat lolos tetap saja ada.
Antonio Gramsci berpendapat soal ini, “Masalahnya tidak terletak pada salah satu bentuk kurikulumnya, tetapi pada manusianya, dan bukan manusia yang benar-benar menjadi guru tetapi juga keseluruhan masyarakat sosial yang kompleks dalam apa yang mereka ekspresikan.” Dari perkara kelas sosial-ekonomi, geografi, bahkan hingga identitas gender dan spiritualitas bisa menjadi faktor yang memengaruhi kegagalan. Mau bagaimana pun, seperti kata Emma Goldman, “Anak cuma bakal menerima apa yang pikiran mereka kehendaki.” dan itu bukan perkara yang mudah untuk terus-menerus “memanipulasi” pikiran anak-anak ini agar bisa tunduk.
Maka dari itu, bahasan soal kecakapan bahasa Inggris seharusnya tidak perlu dibuat serius. Di Indonesia, bahasa Inggris merupakan foreign language. Itu merupakan hal yang boleh dibilang jauh jika dibandingkan dengan kecakapan dasar literasi bahasa. Ketika bahasa Inggris dicoba didekatkan sekalipun dalam konteks kenyataan keseharian, hasilnya hanya akan menampilkan praktik berbahasa Ibu atau bahasa Indonesia yang dibuat “English”.
Jika kita melihat penyebaran meme “nggak bisa basa enggres” di internet, ada dua pola yang paling kentara. Pertama adalah anak-anak dengan kecakapan bahasa Inggris rendah yang tidak dapat mengikuti obrolan dalam ruang publik itu. Aspek psikologis yang mendorong kematangan intelektual tentu banyak berkaitan dengan kenyataan yang dijalani oleh seseorang. Berdasarkan laporan EPI 2020, pekerjaan dalam bidang operasi, teknisi, admin, sales, hingga customer service memiliki rata-rata kecakapan berbahasa Inggris yang rendah. Begitu pula untuk jabatan staf. Kenyataan sosial yang ada memaksa kita untuk mendefinisikan kelas-kelas intelektual di masyarakat.
Kedua adalah anak-anak yang hanya ingin trolling atau mocking. Sebenarnya kebosanan orang-orang dengan eskpresi “which is” dan “literally” bukan berada pada bahasa Inggris itu sebagai sebuah entitas, melainkan pada satu cara berekspresi yang terus mendominasi ruang publik. Sekarang, wacana dapat dengan mudah menerobos batas-batas intelektual. Maka dari itu, kelompok lain di luar kelompok intelektual kota, mapan, dan wangi dapat menerobos ruang-ruang yang berisi kelompok dominan. Dari sini kita merayakan kesenjangan yang ada.
Kenyataannya, sobat “English Kota” dapat dengan mudah mendapatkan kesadaran terkait moda eskpresi dan bantuan intelektual hingga nantinya dilanjutkan secara praktis dalam kehidupan sehari-harinya. Dalam praktik sosial, kelompok inilah yang berperan mendominasi wacana publik. Sementara mas-mbak “English Desa” dengan potensi dan kecerdasan yang sama tidak sedang menjalankan peran yang sama.
Jika belajar bahasa Inggris bisa masuk dalam kurikulum nasional, berarti ia telah menjadi agenda kolektif bangsa ini dalam bidang pendidikan. Sebab jika dilihat, kecakapan berbahasa Inggris juga berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi, inovasi, dan pengembangan. Namun dengan adanya kelas yang lebih mendominasi dalam menjalankan fungsi sosial, pendidikan semakin lama akan menjadi sebuah kebutuhan individualistik, baik untuk melanggengkan atau mengubah status sosial seseorang.
Bahkan jika revolusi pendidikan menciptakan satu generasi yang jago bahasa Inggris semua, ini tidak memberikan makna yang signifikan.
BACA JUGA Kosakata Bahasa Inggris yang Punya Arti Keren tapi Jarang Digunakan dan artikel Adhy Nugroho lainnya.