Di penghujung Februari ini, Mbak Mira Lesmana bikin geger. Melalui akun pribadinya, sineas yang sukses menghidupkan kembali perfilman Indonesia ini mengabarkan bahwa film “Rangga dan Cinta The Rebirth of Ada Apa dengan Cinta” akan segera tayang di bioskop.
Bukan hanya itu, Mba Mira bahkan membagikan video full cast reveal film “Rangga dan Cinta”. Wow. Wow. Wow. Just wow.
Sengaja banget di bulan Februari ya, Mbak? Bulan yang sama saat “Ada Apa dengan Cinta” tayang di bioskop. Tepatnya, 23 tahun yang lalu.
Masih jadi misteri apakah film “Rangga dan Cinta” ini akan booming atau flop seperti saat “Catatan di Boy” versi rebirth-nya. Yang pasti, publik menaruh ekspektasi yang tinggi.
Padahal, daripada berekspektasi tinggi dengan film ini yang entah kenapa kok saya yakin bakalan kecewa, lebih seru kalau kita membayangkan apa yang akan terjadi andai film “Ada Apa dengan Cinta” tidak pernah ada.
Tanpa “Ada Apa dengan Cinta”, orang-orang nggak kenal apa itu Kwitang
Harus diakui, ada banyak adegan di “Ada Apa dengan Cinta” yang membekas di benak penontonnya. Salah satunya adalah ketika Rangga dan Cinta berburu buku di Kwitang.
Nah, gara-gara adegan inilah, banyak orang yang akhirnya tahu bahwa “Ooo, di Jakarta Pusat itu, ada sentra buku legendaris yang menjual berbagai macam buku, mulai dari buku baru, bekas, hingga langka. Namanya Kwitang.”
Bayangkan kalau film ini nggak pernah ada. Cuma orang-orang tertentu yang tahu soal Kwitang. Nggak ada juga fenomena tiba-tiba banyak anak muda yang latah jalan ke Kwitang, trus cari bukunya Chairil Anwar, setelah nonton AADC.
Generasi milenial tidak akan jatuh cinta dengan puisi
Satu hal yang sangat layak diapresiasi dari kehadiran film “Ada Apa dengan Cinta” adalah film ini berhasil membuat orang-orang jatuh cinta dengan puisi.
Bagaimana tidak jatuh cinta. Ada banyak puisi-puisi bagus yang dihadirkan di film ini. Seperti, “Tentang Seseorang” dan “Ada Apa dengan Cinta” karya Rako Priyanto serta “Tidak Ada New York Hari Ini” dan “Batas” karya M. Aan Mansyur. Puisi-puisi tersebut bahkan sampai jadi pembahasan di kelas oleh dosen sastra.
Tak hanya sekadar jatuh cinta. Puisi-puisi dalam AADC juga sukses membuat banyak anak muda yang mulai belajar bagaimana cara menulis puisi dengan baik dan memperdalam ilmu seni sastra. Sesuatu yang rasanya sulit untuk dicapai film Indonesia yang lain.
Tidak ada drama Cinta mengejar Rangga di bandara, yang jadi adegan ikonik “Ada Apa dengan Cinta”
Lanjut. Kalaulah Mira Lesmana dan Riri Riza tidak memproduksi “Ada Apa dengan Cinta”, para penonton juga tidak akan terbayang-bayang adegan kala Cinta mengejar Rangga di bandara. Mana pas adegan itu Rangga dan Cinta ciuman pula! Penonton mana yang akan lupa?
Padahal kalau dipikir-pikir, kasihan banget Cinta dan teman-temannya ngejar Rangga di Terminal 3. Apalagi kalau Rangga dapetnya gate 28. Beuh, berasa kaya maraton pasti. Tapi anehnya, Cinta tetap bisa nyusulin Rangga. Saya jadi curiga kalau Cinta ini punya semacam kekuatan teleport yang membuatnya bisa menaklukkan Terminal 3 yang panjangnya nggak ngotak.
Nicholas Saputra jadi mas-mas arsitektur biasa
Hal lain yang mungkin terjadi andai “Ada Apa dengan Cinta” tidak pernah difilmkan adalah kita tidak akan menyadari bahwa di satu tempat di belahan bumi ini, ada laki-laki kulkas 2 pintu bernama Nicholas Saputra.
Nicholas Saputra mungkin akan jadi mas-mas biasa yang menjalani masa SMA dengan belajar sambil sesekali nongkrong bareng teman-temannya. Kemudian, karena kepintarannya, dia berhasil masuk Fakultas Teknik Universitas Indonesia Program Studi Arsitektur.
Selanjutnya? Ya udah, kuliah, kuliah, kuliah. Tahu-tahu lulus, trus jadi arsitek, collab deh sama Ridwan Kamil. Apa itu main film? Pasti tidak pernah terbayang sebelumnya.
Untungnya, ada film “Ada Apa dengan Cinta” yang jadi film perdana Nicholas Saputra. Kita jadi kenal sama mas-mas ini, yang konon katanya bisa makan gorengan sampai 20 biji di angkringan.
Tidak muncul dialog rasa quote yang legendaris
“Jangan kau pikir liat cewek yang marah itu bener-bener marah, nggak! Itu Cuma taktik buat mancing inisiatif kamu.”
“Bila emosi mengalahkan logika, terbukti banyak ruginya. Bener, kan?”
“Sekarang tuh salah siapa? Salah gue? Salah temen-temen gue?”
“Nonton harus sama-sama, pulang sekolah juga sama-sama, berangkat juga sama-sama. Apa namanya kalau bukan mengorbankan kepentingan pribadi demi sesuatu yang kurang prinsipil?”
“Saya akan kembali dalam 1 purnama”
“Pecahkan saja gelasnya biar ramai”
“Apa yang kamu lakuin itu jahat!”
Akkkk, bangun, Nder. Bangun. Kita nggak bakal tahu dialog-dialog rasa quote ini andai AADC nggak pernah ada~
Tidak ada lagu-lagu hits OST AADC
Terakhir, kalaulah “Ada Apa dengan Cinta” tidak pernah diproduksi, telinga kita tidak akan pernah mendengar lagu-lagu original soundtrack AADC yang enak-enak itu. Mulai dari “Ada Apa dengan Cinta”, “Suara Hati Seorang Kekasih”, dan “Denting” yang bikin galau, hingga “Ku Bahagia” yang bikin pengen joged-joged TikTok.
Wah, menuliskan semua ini semakin membuat saya yakin bahwa film “Ada Apa dengan Cinta” bakalan susah untuk digantikan. Pantas saja alih-alih membuat film baru, Mbak Mira malah bikin versi rebirth-nya. Gagal move on juga kali, ya?
Penulis: Dyan Arfiana Ayu Puspita
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Alya, Pemegang Kunci Cerita AADC yang Katanya “Lebih Baik” daripada Cinta
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
