Memahami Etika Professional Fee agar Tidak Sembarang dalam Menawar Harga

gaji profesional professional fee mojok

professional fee mojok

Adakah di antara pembaca yang kebetulan satu profesi dengan saya, yang bergerak di bidang jasa tentunya? Baik itu jasa freelance ataupun jasa profesional. Mulai dari videographer, fotografer, konsultan, atau jenis jasa lainnya. Bagaimana bila mendapatkan pertanyaan, berapa fee-nya? Kok mahal amat sih? Sebelah aja kemarin ngasih harga nggak begitu mahal? Kan kita udah kenal lama, kok harganya masih tinggi? Jiamput bukan ?

Begini teman-teman, saya jelaskan sekali lagi. Bergerak di bidang jasa, terutama jasa profesional, cukup sulit untuk saya dan teman-teman seprofesi di bidang lainnya untuk menarik atau menetapkan harga maupun standar minimum, yang tentunya mashok di akal dan bersahabat di kantong klien. Meskipun kualitas yang saya berikan sama persis dengan konsultan yang punya brand, namun sebagai konsultan pinggiran, berapa pun harga yang saya tawarkan tetap tidak mashok di akal.

Mari saya beri ilustrasi.

Saya adalah konsultan berlisensi, namun bekerja di firma yang kebetulan di kelas menengah dan tidak memiliki nama yang besar. Lalu ada seorang konsultan A, kualitas dan skill bisa sama atau bahkan di bawah saya. Namun, bekerja di firma besar dan tentunya perusahaan sudah familiar dengan firma tersebut, sehingga anggapannya adalah “pakai firma itu pasti oke kualitasnya”.

Oke prolognya sudah, mari masuk ke inti cerita.

Sebagai konsultan yang berlisensi, saya mendapatkan calon klien yang cukup besar, saya beri tarif murah, anggaplah dua juta sekali konsultasi, jelas yang terbenak di pikiran mereka “halah, konsultan kecil aja ngasih tarif kok mahal amat” lalu dengan berbagai pertimbangan, maka si calon klien memutuskan untuk ke konsultan A, yang tentu tempat di mana beliau bekerja sudah tidak diragukan lagi, begitu si calon klien bertanya masalah tarif, maka jawabannya, “sekali konsultasi cukup bayar 15 juta saja, Pak, itu sudah kami diskon.” Betapa terkejutnya si calon klien, dengan perbandingan harga yang cukup jauh, maka dengan jelas benderang, si calon klien menjatuhkan pilihan ke konsultan A di bawah naungan firma ternama, dan menerima fee 15 juta yang dianggapnya murah dengan nama sekelas firma tersebut.

Ya begitulah yang saya rasakan, calon klien tersebut tidak mengenal istilah “etika professional fee.”

Bergerak di bidang jasa, memang secara modal tidak terlalu banyak, bahkan kami tidak memerlukan kantor dan segala perlengkapannya, yang dibutuhkan hanya dua hal, skill dan modal nyocot (alias marketing). Banyak atau tidaknya klien yang kami miliki, ya tergantung dengan kedua hal yang saya sebutkan di atas. Bahkan, sudah mati-matian kami melayani si “klien” dengan sebaik-baiknya, masih saja fee itu ditawar.

Tentunya, melalui artikel ini, paling tidak saya ingin memberikan sebuah edukasi singkat, bagaimana anda sebagai calon konsumen di masa yang akan datang, apabila menawar jasa seorang profesional baik itu freelance atau tidak, maka tawarlah dengan harga yang sepantasnya, tentu dengan perbandingan yang sesuai dan sepadan. Berikut adalah beberapa poinnya.

Jangan malas searching nominal

Anda hidup di dunia serba digital dan terakomodasi dengan berbagai kecanggihan. Apa sulitnya membuka Google untuk bertanya nilai fee yang umum di pasaran sesuai dengan jasa yang anda cari. Misal “harga jasa fotografer di sekitar Jogja”, atau “jasa konsultan bisnis murah di sekitar Jogja”, bahkan saat ini sudah banyak kok profesional-profesional yang membuat website bisnis dengan nilai yang tercantum didalamnya. Sesuaikan nilai tersebut dengan kantong Anda, jangan asal bunyi menawar sebuah angka/nominal padahal Anda sudah tau harga yang pantas itu berapa. Coba bijaklah menjadi konsumen.

Bila Anda sudah merasa cocok dengan nilai atau fee, maka jangan ragu untuk menghubungi si profesional tersebut, ajak bertemu, nilai dari cara dia bernegosiasi, jika cocok ya langsung saja tawar, tawarnya pun yang mashok akal, paling tidak turun 20-30% dari nilai awal dia kasih harga. Jangan terlalu jauh. Anda pun sebagai konsumen harus yang cerdas juga, jangan terlalu mempercayai seorang profesional dengan harga yang terlampau murah, ada indikasi juga dia melakukan penipuan atau servisnya tidak maksimal. Tentu saja dalihnya “enek rego, enek rupo bro” (artinya, harganya pantas ya pelayanannya juga pantas).

Jangan salahkan profesionalnya, konsumennya yang perlu cerdas.

Jangan banyak menuntut kalau bayarannya tidak pantas

Terus terang saja, saya merasa iba serta kasihan betul dengan profesional semacam ini. Sudah bermurah hati memberikan harga yang begitu murah kepada kliennya, tapi kliennya memperlakukan si profesional secara tidak pantas. Dalihnya ya yang seperti anda tahu bagaimana karakter konsumen pada umumnya “pembeli adalah raja”.

Ini kisah nyata, jadi saya pernah menggunakan jasa fotografer untuk persiapan pernikahan saya, dia cerita banyak dengan kelakuan-kelakuan ra mashok konsumennya. Dia biasa memasang harga all in di nilai 5,5 juta, nego-nego tipis bisa turun lima sampai 4,5 jt. Ada seorang klien cocok dengan dia karena si fotografer ini rekomendasi dari teman-temannya juga. Dinego terus, sampai akhirnya turun menjadi 2,8 jt. Pikir si fotografer, daripada namanya nggak bagus di mata kliennya, trus malah menyebar yang nggak-nggak akhirnya terpaksa dia ambil.

Lalu, beralih lah ke hari pemotretan. Si klien daerah Kopeng, dan si klien mengajaknya tanpa menyiapkan akomodasi perjalanan. Ya si fotografer harus usung-usung sendiri, bahkan membawa peralatan yang sudah barang wajib seperti lampu tambahan dan peralatan lainnya. Naik motor ya naik motor, dengan congkaknya si klien bilang “lah, Mas, bawa mobil dong, gimana mau cepat sampai, saya sudah nunggu dari tadi nih.” Jiamput tenan.

Belum selesai tergopoh-gopoh perjalanan jauh menuju Kopeng, si klien langsung marah-marah lagi dengan dalih “lho mana MUA-nya ? Masa mau sesi foto tapi nggak disiapin ? Gimana niat kerja nggak sih ?” Jiamput asu banget. Maaf saya emosi betul mendengar ceritanya. Padahal si fotografer sudah berbusa dan panjang lebar menjelaskan bahwa harga tersebut belum termasuk akomodasi perjalanan, tambahan biaya tidak terduga lainnya, serta MUA (Make Up Artist) yang mendandani wajahnya si klien itu. Harusnya si klien sadar dengan nilai itu semua, professional fee-nya akan ludes seketika jika harus menyewa MUA yang seharusnya menjadi tanggungan si klien.

Pesan morilnya adalah nggak usah banyak minta-minta kalau bayaranmu nggak sepadan. Saya tahu betul etika profesional yang harus dijalani, melayani klien bak raja adalah kewajiban dan tugas utamanya, tapi mbok ya si klien pun harus sadar diri bagaimana dia menempatkan diri dan punya “rasa terima kasih”. Ya itu sambatan kami para profesional.

Bagaimana nasib si fotografer, ya yang seperti sudah anda pikirkan sekalian, tentu menjadi bulan-bulanan si klien. Saya pun tidak punya kewajiban untuk meneruskan ceritanya, daripada saya malah yang sakit hati.

 Jangan serang kami dengan “harga teman”

Saya sudah seringkali diserang dengan statement ini, harga temenlah kan kita udah langganan, ya kenal saja baru satu minggu sudah menganggap teman. Hati-hati mulutmu itu lho.

Seperti yang sudah saya jelaskan di awal tadi, seorang profesional itu pada dasarnya sangat sulit menetapkan harga, sebab skill kami tidak pernah dihargai selayaknya sulitnya kami memperoleh skill itu. Apalagi jasa profesional sekelas konsultan, akuntan, atau pengacara, yang perlu bertahun-tahun sekolah dan menimba ilmu, pun demikian dengan jasa profesional lainnya, dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada seluruh pelaku profesional.

Nah, skill itu punya harga, jangan sekali-kali menempatkan kawan sebagai klien karena itu tidak berimbang. Bayangkan temanmu yang sudah puluhan tahun lost contact tapi begitu ada kesulitan datang ke Anda lalu menawar dengan harga yang tidak pantas. “kasihlah harga teman.”

Menawar fee itu pada dasarnya punya etika, pun meskipun terdapat hubungan perkawanan yang tidak dekat, itu pun tidak bisa sembarangan memberikan harga. Di posisi ini, hanya kebaikan si profesional sajalah yang dibutuhkan, selebihnya adalah kesepakatan mereka berdua. Yang jelas saya hanya ingin menekankan bahwa, nilai jasa jangan pernah disamakan dengan harga teman, sebab skill bukan didapatkan dari pertemanan tapi dengan belajar dan keluar modal.

Jadi jika kamu sudah tau etika professional fee, masih lagi sambat soal “harga yang kemahalan ?”

BACA JUGA Urgensi Kepemilikan NPWP yang Harus Dipahami oleh para Wajib Pajak dan tulisan Muhammad Abdul Rahman lainnya. 

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version