Melihat Hantu sebagai Cara Jadi Selebritis di Desa

kesurupan, melihat hantu

melihat hantu

Hantu, sebagian ada yang mempercayai keberadaannya dan sebagian lagi menganggapnya hanya halusinasi belaka. Tapi saya tidak mau membahas itu. Saya hanya ingin bercerita betapa pernah melihat hantu membuat derajat keterkenalan kita meningkat sepersekian derajat di desa kita.

Saya pernah diisukan pernah melihat hantu. Lalu banyak yang menanti cerita saya. Senang juga seandainya bisa menghibur orang lain dengan cerita pengalaman kita melihat hantu.

Salah satu tempat yang layak dianggap tempat paling angker di desa adalah sepanjang jalan di utara rumah saya. Jalan yang memisahkan RT 01 dengan RT 04. Terutama pertigaan yang berada di tengah-tengah jalan tersebut. Banyak yang mengaku pernah melihat bayangan hitam besar seperti genderuwo, pernah juga ada yang mengaku pernah melihat kakek-kakek berjubah putih, dan lebih sering tuyul yang menampakkan diri di sana.

Nah, suatu waktu tersiar kabar bahwa saya pernah melihat hantu pocong di pertigaan jalan yang saya maksud. Hantu yang mirip guling tapi tak layak peluk ini termasuk sosok yang jarang muncul di pertigaan jalan tadi. Di situ, saya diceritakan telah melihat pocong pada malam Jumat. Kebetulan hari Jumatnya adalah Jumat Kliwon. Saya kaget tentunya karena merasa tidak pernah melihat pocong. Padahal seumur-umur saya belum pernah melihat hantu.

Saya mengetahui kabar tentang hantu pocong−yang menurut cerita terlihat oleh mata kepala saya sendiri−dari seorang anak seusia SMP yang kebetulan sedang lewat di halaman rumah saya.

“Mas, kemarin lihat pocong, ta? Pasti ngeri ya, Mas?” tanya seorang anak, sebut saja Fulan.

“Lho, lho, pocong apa?” saya menjawab dengan kebingungan.

“Itu lho pocong di pertigaan,” Dik Fulan mencoba menjelaskan.

“Kabar dari mana itu? Ada-ada aja. Aku kan ndak pernah liat. Hm…,”

Benar saja. Sekitar sehari-dua hari kemudian kabar itu mulai viral. Banyak yang bercerita bahwa saya benar mempergoki penampakan pocong di pertigaan. Terutama anak-anak yang sangat antusias akan kabar tersebut. Ketika itu, saya sudah seperti selebritis saja di desa. Cukup lama memang. Sekitar dua mingguan. Saya seperti sudah layak saja dijajarkan tokoh-tokoh berpengaruh di desa hanya dengan bermodalkan cerita pernah melihat pocong di pertigaan.

Kembali ada anak-anak yang bertanya kepada saya ketika saya hendak pergi bersembahyang di masjid. Sebut saja namanya Kipli.

“Lho kan, Mas. Kamu itu memang pernah lihat pocong di pertigaan pas malam Jumat,” terang Kipli dengan nada ngeyel.

Saya tidak tega melihat Kipli berniat ingin mencari tahu langsung dari sumbernya langsung. Kemudian saya bercerita sekenanya saja. Biar si Kipli bahagia.

“Iya, Pli. Saya memang lihat di pertigaan itu. Makanya kalau malem jangan keluar rumah. Nanti pocongnya muncul baru tahu rasa kamu,” dengan bangganya saya menasihat Kipli.

Cerita tentang pocong saya bumbui dengan nasihat agar Kipli tidak keluar pada malam hari. Sebenarnya bukan untuk menghindari melihat pocong, tetapi karena pada malam hari biasanya adalah jam belajar anak. Belajar pelajaran untuk esok hari atau sekadar mengerjakan PR.

“Jangan tiru-tiru aku ya, Pli. Aku ini sudah bakat berkelahi sama dhemit, setan, dan sejenisnya. Nih liat bathukku!” dengan jumawa saya menunjukkan bekas luka di dahi karena pernah jatuh dari tempat tidur sewaktu balita.

Kipli dengan khusyuknya mendengarkan cerita tentang hantu pocong dari saya. Ia mengangguk-angguk seperti siswa yang sudah paham betul materi pelajaran yang diaajarkan oleh guru. Ia mulai mengagumi saya tampaknya.

Sialnya, kabar itu sampai juga di telinga ibu saya. Ibu saya sangat ingin tahu cerita  tentang pengalaman saya bertemu hantu pocong. Entah apa yang membuat ibu penasaran

Le, beneran kamu lihat pocong?”

“Waduh, celaka ini,” (batin saya).

Terang saja saya takut ibu saya ketakutan sampai terbawa mimpi. Saya khawatir karena memang kalau ibu saya sudah takut, biasanya tubuh ibu sampai menggigil. Saya bingung.

“Kamu beneraan lihat pocong, Le?” ibu saya semakin memburu jawaban dari saya.

Tentu saya tidak mau membohongi ibu. Keisengan saya, saya stop. Saya memang tidak bakat untuk mengisengi orang tua saya. Saya takut kualat tentunya.

Saya terangkan panjang lebar. Kepada ibu dan memberikan klarifikasi bahwa saya tidak benar-benar melihat hantu pocong. Ada orang yang tidak bertanggungjawab mengarang cerita tersebut.

“Sebenarnya itu bo’ongan, Bu. Saya tidak benar-benar liat pocong. Ada yang mengarang cerita itu,”

Ibu saya Cuma tersenyum-senyum saja mendengar penjelasan panjang-lebar dari saya. Tapi sialnya, malam harinya ibu saya mimpi buruk dan mengigau dengan teriakan:

“Pocong…! Pocong…!”

Exit mobile version