Mau Dibawa ke Mana Komik Indonesia?

Mau Dibawa Kemana Komik Indonesia?

Dari bentuk strip-strip kecil di pojok koran cetak, komik terus berkembang hingga menjalar ke seluruh dunia. Indonesia termasuk salah satu negara yang terjangkit virus komik tersebut. Namun, perjalanan komik Indonesia kini memiliki pertanyaan besar, mau dibawa kemana nilai yang terkandung di dalamnya?

Sejarah komik di dunia dimulai dengan strip-strip kecil di pojok koran. Sebelumnya mungkin hanya dianggap pengisi ruang kosong, karena reporter sulit mendapatkan berita bagus di akhir pekan.

Komik baru kemudian dianggap seni, saat Claude Beylie mengangkat artikel mengenai lahirnya seni ke-sembilan, pada 1964 di Prancis. Ia kemudian yang banyak berbicara mengenai definisi seni ke-sembilan, dan menjadi pembuat tulisan pengantar pada edisi pertama majalah “9e Art”.

Kontroversi cetakan komik berupa buku yang pertama sebenarnya masih menjadi kontroversi. Ada yang berpendapat komik cetak yang pertama di dunia adalah karya Francis Barlow, berjudul “A True Narrative of the Horrid Hellish Popish Plot”, yang dicetak pada tahun 1682. Namun kemudian hanya dianggap sebagai kumpulan gambar tanpa makna.

Yang jelas pada tahun 1873, komikus berwarga negara Swiss, Rudolphe Topffer berhasil membuat dan mencetak komik berjudul “The Adventures of Obadiah Oldbuck”. Topffer kemudian mengklaim keluaran tersebut sebagai komik pertama di Eropa, bahkan dunia.

Dalam perkembangannya, seni komik terus berkembang ke berbagai manca negara. Namun secara nilai, komik berkembang sebagai alat untuk menumbuhkan harga diri. Seperti komik-komik super hero yang kemudian hadir di Amerika Serikat (AS), pada masa sebelum perang dunia kedua.

DC Comics dan Marvell menjadi dua firma yang menghasilkan produk-produk super hero tersebut. Hingga sekarang keduanya terus bersaing dalam mendaur ulang cerita tokoh-tokoh mereka. Namun karakter penguatan diri terus hadir pada tokoh-tokoh komik tersebut.

Selain itu di Eropa juga berkembang gaya serupa, tapi dengan tokoh-tokoh pahlawan yang lebih manusiawi. Seperti contohnya Tintin yang dikarang oleh Herge, atau Asterix yang tetap membutuhkan bantuan untuk menjadikan diri sebagai pahlawan.

Di Asia, budaya komik berawal dari kebangkitan Jepang, setelah kekalahan pada perang dunia kedua. Melalui komik, seniman-seniman Jepang berupaya membawa nilai komik menjadi hal-hal untuk menemukan sesuatu hal baru selain kekalahan. Ozamu Temuka kemudian dianggap sebagai pelopor kebangkitan komik Jepang. Hasil karyanya yang berjudul “New Treasure Island” dan “Shintakarajima” manjadi simbol-simbol kebaruan tersebut.

Sekarang komik-komik Jepang yang dikenal dengan nama Manga, terus menyerbu pasar di Indonesia. Komik jenis manga tersebut berhasil membuat genre baru dalam percaturan perubahan zaman. Salah satunya dengan mengurangi detail setting gambar latar belakang, dan lebih menunjukan ekspresi tokoh-tokoh didalamnya.

Sejarah Komik Indonesia

Semua pengamat komik Indonesia sepertinya sepakat dengan pendapat Marcel Boneff, pengarang buku sejarah komik di Indonesia. Menurut Boneff, hasil karya pertama di Indonesia yang dapat dikategorikan sebagai komik merupakan strip di harian Sin Po, dengan tokoh bernama Put On. Tokoh Put On digambarkan mampu menyelesaikan berbagai masalah dengan kepintaran dan kelicikannya. Era 1930-an, tokoh Put On tersebut terus menjadi idola bersamaan dengan datangnya era Flash Gordon bersamanya.

Baru kemudian setelah era kemerdekaan tahun 45-55, makna nilai komik Indonesia bergeser pada masalah perjuangan dan kepahlawanan. Adopsi komik super hero AS menjadi kental dalam coretan-coretan komik di nusantara pada masa itu. Nama-nama tokoh seperti Gundala Putera Petir atau Godam, merupakan adaptasi dari komik AS bertajuk The Flash atau Thor. Sementara tokoh Asri Asih merupakan adaptasi dari tokoh Wonderwoman, yang juga merupakan produk AS.

Melihat kuatnya induksi asing dalam karakter komik, generasi era setelahnya mencoba merubah dengan menampilkan tokoh-tokoh lokal. Maka lahirlah Si Buta dari Gua Hantu karya Ganes TH atau Jaka Sembung karya Djair. Uniknya pada proses ini, lahir pula tokoh-tokoh adaptasi yang mengakar di Indonesia. Seperti karya RA Kosasih melalui adaptasi cerita Mahabhrata dari India.

Tampilnya tokoh lokal pada era 80-an, kemudian terlibas oleh datangnya berbagai produk komik dari luar negeri yang menyerbu pasar Indonesia. Salah satunya merupakan produk komik dari Jepang. Konsekuensi dunia komik di Indonesia seperti mati suri pada masa itu. Bahkan hingga masa sekarang, kebangkitan komik di Indonesia seperti terus menjadi pertanyaan.

Nilai Moral

Salah satu hal yang membuat komik tetap bertahan, bisa jadi lantaran kentalnya nilai moral yang disebarkan. Meskipun penggemarnya bukan hanya dari kalangan anak-anak, melalui berbagai versi nilai moral tetap menjadi faktor penting pengisi halaman-halaman komik.

Dalam analisanya, peneliti komik Jepang dari Universitas Indonesia, Noneng Fatonah mengatakan setidaknya ada lima nilai moral yang ditemukan pada komik DoraEmon. Kelima nilai moral tersebut merupakan Amae, Giri, Ninjou, nilai kejujuran, dan kesetiaan.

Amae berarti ketergantungan pada yang lebih tua untuk menimbulkan keselarasan. Sementara Giri berarti senang membantu, dan Ninjou adalah sifat suka melindungi. Selain ketiga nilai moral tersebut ada juga nilai kejujuran dan kesetiaan yang kerap ditampilkan dalam episode-episode DoraEmon.

Nilai moral positif seperti itu yang terus dipertanyakan pada kalangan komikus di tanah air. Meskipun pada era setelah reformasi 99, banyak komikus Indonesia hadir dengan nafas yang lebih bebas.

Benny dan Mice menjadi ikon komik era reformasi yang digemari dan dikenal kalangan luas. Strip komik yang kerap ditampilkan tiap akhir pekan di harian Kompas itu, dengan cepat meraih perhatian karena ide-ide kritis dan detail yang ditampilkan.

Komik bertajuk Panji Koming juga sempat membuat orang menoleh, lantaran berhasil menjadi buku. Namun tetap kajian yang ada kurang mengena pada kalangan muda. Sehingga banyak anak di Indonesia lebih memilih komik Jepang semisal One Piece, Naruto, atau Dragon Ball.

Kembali pada esensi sebuah karya seni dilahirkan. Selain menampilkan estetika, juga seharusnya menjalarkan nilai moral yang kental di dalamnya. Sementara komik Indonesia terus berkubang dalam mata rantai hitam, antara menyalahkan produsen dan konsumen.

BACA JUGA One Piece Bukan Sekadar Komik, Dia Maha Karya! atau tulisan Sulung Prasetyo lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version