Mau Bersaing dengan K-Pop? Dukung Industri Kreatif, Bukan Bikin Wajib Militer

wajib militer mojok

wajib militer mojok

Tidak dapat dimungkiri lagi bahwa K-Pop sudah sangat menjamur di Indonesia selama satu dekade belakangan. Apa-apa Korea, mulai dari makanan, fashion, skincare, drama, film, hingga musiknya sangat melekat dengan kehidupan generasi milenial maupun generasi  Z. Bahkan kini banyak pasutri Indonesia-Korea (biasanya ceweknya yang orang Indonesia) tanpa tedeng aling-aling membagikan cerita rutinitas rumah tangganya bersama sang Oppa terkasih.

Hal ini yang membuat pemerintah khususnya Kementerian Pertahanan bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk mengadakan sebuah solusi yang cukup kontroversial di kalangan mahasiswa: wajib militer. Lho, memangnya kenapa? Niatnya kan bagus, untuk menumbuhkan nasionalisme. Selain itu turut serta dalam upaya bela negara sesuai Undang-Undang Dasar Pasal 30.

Kabarnya wajib militer ini diadakan selama satu semester dan masuk ke dalam Sistem Kredit Semester (SKS). Riuhlah para netizen mahasiswa terutama mahasiswa baru yang masih unyu-unyu dan polos akan kehidupan kampus. Sedangkan mahasiswa tua sibuk berdoa semoga skripsinya tidak pakai revisi-revisian lagi biar cepat lulus dan tidak sempat mengalami wajib militer. Padahal Wakil Menteri Pertahanan Wahyu Sakti Trenggono sudah mengonfirmasi bahwa program ini bersifat sukarela alias tidak wajib, zheyeng. Lagipula ini masih dalam tahap wacana, kok.

Kerusuhan semakin menjadi-jadi tatkala beberapa akun mengunggah foto sebuah halaman koran yang berisikan rangkuman tentang wajib militer. Poin terakhirnya yang berbunyi “Agar milenial Indonesia tidak kalah dengan Korea Selatan yang mampu mengguncang dunia melalui budaya K-Pop” terdengar sangat tidak nyambung.

Pertama, orang-orang yang kini mengemban kuliah di jenjang S1 maupun D3 adalah dari generasi Z bukan generasi milenial. Kedua, agar kita mampu mengguncang dunia dan tidak kalah dengan K-Pop? Bukannya seharusnya kita melawan budaya dengan budaya lagi? K-Pop atau Hallyu adalah budaya, bahkan urgensi wajib militernya pun jelas beda. Program wajib militer di Korea Selatan diadakan karena sewaktu-waktu Korea Selatan akan berperang dengan tetangganya, Korea Utara. Mereka adalah negara konflik.

Menjamurnya K-Pop hingga menembus pasar dunia tidak terlepas dari tangan pemerintah Korea Selatan sendiri. Dimulai sejak masa pemerintahan Kim Dae Jung (1993-1998) yang memiliki slogan politik ”Creation of the New Korea”. Selain itu, penyebaran budaya pop Korea juga tak lepas dari sokongan dana  perusahaan chaebol (konglomerat) seperti Samsung, Hyundai, LG, SK Group, dan Lotte.

K-Pop muncul sejak 1992 dengan debutnya Seo Taiji and Boys, memperkenalkan musik elektronik, hip-hop, dan reggae. Barulah pada 1995-1998 muncul agensi 3 besar di Korea yaitu SM Entertainment (1995), JYP Entertainment (1997), dan YG Entertainment (1998). Pemerintah Korea mulai menargetkan ekspor budaya populer Korea sebagai bentuk inisiatif pelaksanaan sektor perekonomian baru pada awal 2000-an setelah terjadinya krisis moneter di kawasan Asia pada tahun 1997.

Kini K-Pop menjadi salah satu sektor industri terbesar yang turut menyumbang pemasukan bagi negara Korea Selatan. Bahkan menurut Oh dan Lee (2013) dalam jurnal K-pop in Korea: How the Pop Music Industry is Changing a Post-Developmental Society para pelajar di Korea Selatan tidak lagi bercita-cita menjadi pegawai perusahaan chaebol atau bekerja di bidang kedokteran, hukum, akademisi, pemerintahan, seperti apa yang diharapkan oleh orang tua mereka. Melainkan mereka ingin menjadi idola K-Pop.

Menjadi idola K-Pop memang profesi yang menjanjikan. Mereka memiliki pendapatan yang besar jika sukses. Meski ada juga kasus di mana seorang idola belum pernah mendapat bayaran dari agensinya sejak debut dan akhirnya misqueen juga. Fakta di atas didukung oleh data statistik tahun 2012 masih dalam jurnal yang sama. Persentase pelajar yang ingin menjadi entertainer yaitu sebanyak 38,8%, pegawai publik sebanyak 42,5%, dan profesi lainnya sebanyak 18,7%.

Saya mengambil contoh BTS alias Bangtan Boys. Grup ini debut tahun 2013 ketika saya masih SMP, dan sekarang sukses besar. Menurut data dari @StatistaCharts tahun 2018, BTS menyumbangkan 0,3% untuk GDP (Gross Domestic Product). Disandingkan dengan perusahaan-perusahaan raksasa seperti Samsung (13,1%), Hyundai (5,3%), LG (3,4%), KIA (2,9%) dan Korean Air (0,7%). BTS telah berkontribusi untuk makmurnya Korea Selatan.

Nah, balik lagi ke permasalahan kita. Indonesia adalah sebuah negara yang kaya akan budaya. Belum lagi industri kreatif kini sedang menjadi sorotan karena turut berkontribusi terhadap perekonomian Indonesia. Menurut Bekraf (Badan Ekonomi Kreatif) industri kreatif berkontribusi sebesar 7,28% terhadap GDP Indonesia tahun 2017. Adapun menurut Ahmad Adib, dosen UNS sekaligus pelaku industri kreatif bahwa tren lima tahun lalu dan sekarang berkaitan dengan digital, startup, media-media yang terkait animasi, pembuatan film, dan musik. Sedangkan untuk subsektor baru yang memiliki peluang besar di tahun 2020 adalah bidang kuliner.

Daripada buang-buang anggaran negara untuk sesuatu yang tidak pasti lebih baik anggaran negara tersebut digunakan untuk mendukung industri kreatif kita. K-Pop bisa mendunia karena ada peran pemerintah di balik layar. Kalau ingin mengalahkan K-Pop dan ingin menduniakan budaya Indonesia, dukunglah para pelaku industri kreatif. Juga, bela negara dan menanamkan rasa nasionalisme tidak mesti melalui pelatihan militer.

BACA JUGA ‘Bekal untuk Suami’ Nggak Akan Diprotes kalau Menghilangkan Kata ‘Suami’ dan tulisan Jasmine Nadiah Aurin lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version