Baru-baru ini saya membaca tulisan (bagus) dari Mas Aliurridha berjudul “Alasan Kenapa Masakan dari Luar Jawa Banyak Berbahan Daging tetapi Masakan Jawa Nggak“. Menyenangkan sekali membaca tulisan yang berisi banyak nama makanan dari berbagai daerah di Indonesia, bikin saya jadi lapar.
Namun, semua berubah ketika sampai di bagian hipotesis tentang alasan masakan di Jawa jarang berbahan dasar daging. Seperti yang telah diperkirakan masnya, jiwa misqueen Jawa saya memberontak begitu membaca bahwa alasannya karena orang Jawa relatif lebih miskin daripada orang luar Jawa. Miskin jare. Makanya kalau makan masakan Jawa jangan di Bali, Bambank….
Tapi ya sudahlah. Kata orang, ide harus dilawan dengan ide. Tulisan harus dilawan dengan tulisan. Saya harus meluruskan persepsi Mas Aliurridha bahwa masakan di Jawa hanya pecel, gudeg, tempe bacem, dan beberapa varian rawon serta soto yang sering kebanyakan kuah itu.
Hal pertama yang harus diluruskan adalah alasan orang Jawa merantau ke mana-mana. Menurut Mas Aliurridha, orang Jawa merantau karena mereka miskin. Sebetulnya bukan karena miskin sih, tapi mencari pekerjaan di luar pulau Jawa memang jauh lebih mudah daripada di Jawa yang sudah padat penduduknya.
Suatu ketika saya berada di Nusa Tenggara Timur dan saat akan ada pembukaan seleksi CPNS, bupati bertanya kira-kira ada berapa orang yang akan mendaftar. Nantinya formasi yang dibuka akan disesuaikan dengan jumlah peminat. Luar biasa. Auto CPNS kalau begitu. Tapi ini kejadian sepuluh tahun lalu ya. Kalau sekarang sudah ada SKD yang bisa menggugurkan kita kalau tidak melewati passing grade.
Tapi pemikiran bahwa orang Jawa merantau karena miskin nggak salah-salah amat sih. Ingat, program transmigrasi daripada Presiden Soeharto? Program yang konon untuk memeratakan penduduk Indonesia yang sudah terlalu padat di Jawa dan Bali ini berhasil menciptakan koloni-koloni masyarakat Jawa di hampir seluruh provinsi di Indonesia. “Jawanisasi”, kalau kata teman saya yang berasal dari luar Jawa.
Kedua, makanan khas Jawa bukan hanya pecel, gudeg, dan tempe bacem. Banyak juga makanan dari Jawa yang berbahan dasar daging dan ikan. Hanya saja branding-nya tidak sekuat gudeg dari Yogya. Mas nggak berpikir kami makan gudeg dan pecel setiap hari kan? Bosen dong.
Sebut saja pepes ikan mas (dan ikan-ikan lainnya) dari Jawa Barat. Dari Jawa Tengah ada lumpia Semarang, tahu petis, telur asin, tempe mendoan, nasi gandul dari Pati (isinya nasi, potongan lauk daging sapi dan telur yang disajikan di atas daun pisang), soto kudus, mangut beong dari Magelang, nasi grombyang Pemalang (isinya nasi, daging kerbau, kuah, ditambah sate kerbau), garang asem, pindang serani, dan ingkung. Dari Jawa Timur ada soto lamongan, rujak cingur, rawon, nasi krawu (daging sapi, sambal, serundeng), sate madura, lontong kupang (sejenis kerang berukuran kecil), ikan wader, pecel lele (Lamongan), bakso malang, dan seterusnya. Banyak kan?
Gudeg sendiri tidak hanya berupa sayur nangka muda yang dimasak terlalu lama dalam santan dan gula. Ia selalu didampingi oleh “teman-temannya” berupa telur pindang dan sambal kerecek. Kalau Mas Aliurridha belum tahu, kerecek itu sejenis kerupuk yang dibuat dari kulit sapi. Asalnya dari hewan berkaki empat juga.
Ketiga, Mas pernah dengar istilah cucina terra? Kata Italia ini arti harfiahnya ‘dapur bumi’, kalau diterjemahkan kira-kira jadi falsafah untuk makan makanan lokal. Masak makanan tuh yang dekat-dekat saja, nggak usah mengada-ada cari makanan yang nggak ada di sekitar kita. Misalnya tinggal di Jawa tapi tiap hari maunya makan ikan salmon. Itu namanya mengada-ada.
Mungkin nenek moyang kita dahulu belum pernah mendengar istilah tersebut, namun mereka mempraktikkannya. Masak apa yang ada di sekitar mereka. Buktinya sebagian besar masakan dari Sumatra Barat dibubuhi santan: rendang, sate padang, gulai, dan sebagainya. Demikian pula makanan dari Palembang hampir semua mengandung ikan tenggiri seperti empek-empek, tekwan, model, dst. Makanan dari Konawe berupa ikan segar yang dibakar atau dimasak sebab daerah tersebut berlimpah ikannya, namun sumber karbohidratnya berasal dari singkong sebab tanahnya tidak subur. Tidak berbeda jauh dengan Papua yang makanan pokoknya sagu namun memiliki lauk aneka ragam olahan laut.
Mengapa yang terkenal di Jawa justru makanan yang banyak berbahan dasar sayuran seperti gudeg dan pecel? Tentu saja karena tanah di Jawa sangat subur, banyak sayur yang tumbuh dengan mudahnya. Seperti yang digambarkan oleh Koes Plus dalam salah satu lirik lagunya: “Orang bilang tanah kita tanah surga, tongkah kayu dan batu jadi tanaman.” Itulah sebabnya di Jawa Tengah ada istilah njangan pager alias bikin sayur dari pagar. Pagar rumah yang terbuat dari tanaman sayur lho.
Keempat, yakin masakan dari luar Jawa tidak ada yang berbahan dasar selain daging? Bubur pedas di Kalimantan Barat yang nggak ada pedas-pedasnya, bubur manado, jagung titi dari Sumba, jagung bose dari Timor adalah beberapa contoh makanan khas luar Jawa yang tidak berbahan dasar hewan berkaki dua ataupun empat.
Kelima, tentang orang di istana yang memakan daging namun tidak membangun budaya (kuliner) masyarakat, ini tuduhan serius untuk para sultan di Yogyakarta dan Solo. Kenalkan, bestik klasik atau terkenal juga dengan istilah selat solo atau selat galantin. Konon, makanan ini merupakan kegemaran raja-raja Solo di era kolonial. Isinya galantin, telur, sayuran, dengan kuah cokelat yang rasanya manis-asam-gurih.
Sudah ya, Mas, capek juga lho ngetik sepanjang ini. Kapan-kapan kalau main ke Pulau Jawa, yuk kita muter-muter, biar masnya bisa mencoba semua makanan yang saya sebutkan di atas itu.
BACA JUGA Berterima Kasih pada Mantannya Pacar, Bukan Mencemburuinya dan tulisan Maria Kristi Widhi Handayani lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.