Banjir adalah ritual wajib di Kota Malang ketika hujan deras datang. Dari tahun ke tahun, hujan deras selalu membawa cerita yang sama, jalanan berubah jadi sungai dadakan dan aktivitas warga terganggu. Sebagai salah satu Kota Pendidikan, Malang seharusnya memiliki pengelolaan yang lebih baik. Tapi kenyataan di lapangan berkata lain.
Kota sekecil ini harus berjibaku dengan dua hal, banjir dan ambisi wali kotanya yang ingin menjadikan Malang sebagai kota wisata. Jujur saja, jika wisata yang dimaksud adalah waterboom di jalan raya, itu jelas berhasil. Bukannya menghadirkan kenyamanan, pembangunan yang tak terkendali malah membuat kota ini terasa sesak. Ruang terbuka hijau jumlahnya juga tak lebih dari jari tangan.
Julukan Malang sebagai kota dingin yang syahdu di kala hujan, tempat sempurna untuk menyeruput semangkuk bakso pedas, kini tinggal kenangan. Semua itu berubah menjadi sekadar nostalgia yang sulit digapai, terhalang banjir dan tata kota yang amburadul.
Daftar Isi
Genangan yang tak kunjung usai, salah siapa?
Menjadi warga Malang coret alias Kabupaten Malang sejak 2012 membuat saya bersyukur. Rumah jauh dari hiruk-pikuk kota, bebas dari macet, dan tidak perlu khawatir banjir saat hujan deras. Tapi meskipun menjadi warga Kabupaten, pengalaman terjebak banjir di Kota Malang sepertinya sudah jadi ritual wajib, terutama buat mahasiswa UB seperti saya dulu.
Tahun 2015, saat saya berangkat ke kampus di tengah hujan deras, jalan MT Haryono, tepat di gerbang masuk UB, berubah jadi sungai dadakan. Genangan air hampir menenggelamkan knalpot motor. Tidak hanya itu, ketika perjalanan pulang, saya melewati jalan Veteran hingga jalan Ijen yang juga dipenuhi genangan air. Lagi-lagi melewati rintangan banjir level dua. Setelah lulus kuliah, saya sempat merantau ke provinsi sebelah. Tahun 2022, saya kembali ke Malang dengan harapan, kota ini sudah jauh lebih baik, bebas banjir, dan nyaman ditinggali. Sayangnya, itu hanya sebatas angan-angan semata.
Pengalaman ini terasa nyata saat saya opname di RS Galeri Candra, yang berada di belakang Apartemen Suhat. Hujan deras datang, dan pelataran rumah sakit berubah jadi lautan air. Bukannya membaik, masalah banjir di Malang malah semakin parah. Area yang dulu aman dari genangan sekarang ikut tenggelam. Sampai tahun 2024 banjir di Malang semakin memprihatinkan.
Penyebab banjir di Malang
Dari berbagai informasi yang saya baca, penyebab utama banjir ini cukup jelas: pengelolaan tata ruang yang buruk, alih fungsi lahan tanpa kendali, dan minimnya ruang terbuka hijau (RTH). Apa yang terjadi di Malang seolah mengulang pola yang sama. Pembangunan terus berjalan tanpa memperhatikan dampaknya, Wali Kota yang tidak paham dengan prioritas pembangunan dan tata kelola Kota, membuat kita harus menanggung akibatnya.
Alih fungsi lahan menjadi sorotan utama. Banyak kawasan diubah menjadi pusat perbelanjaan, apartemen, hingga pemukiman di atas bantaran sungai. Akibatnya, Sungai jadi sempit dan daya tampung air semakin kecil. Ditambah lagi, daerah resapan air kini dipenuhi bangunan. Penataan kota yang amburadul dan lemahnya pengawasan pemerintah membuat situasi makin parah.
Lalu soal RTH, situasinya lebih miris. Hanya 4% dari luas wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka hijau, jauh dari standar minimal 20% menurut UU No. 26 Tahun 2007. Padahal, RTH bisa membantu mencegah banjir, meningkatkan kualitas tanah, dan mengurangi polusi udara.
Coba saja jalan-jalan di sekitar Suhat. Hampir tidak ada ruang terbuka hijau. Yang ada hanya deretan kafe, restoran, toko, dan perumahan yang penuh sesak. Begitu juga dengan pusat kota, yang dipadati oleh Pasar Besar dan Pasar Comboran yang semrawut.
Kampus Kebanjiran padahal punya Fakultas Teknik Pengairan
Sejak saya menjadi mahasiswa di Kampus UB antara tahun 2012-2016, fenomena banjir mulai menginvasi kampus sekitar tahun 2015. Saat itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sering menggembar-gemborkan rencana untuk menyelesaikan masalah banjir yang menggenangi kampus. Namun, hingga kini, perubahan yang dijanjikan masih terasa seperti angan-angan belaka.
Area kampus, terutama jalanan sekitar Veteran, selalu menjadi langganan banjir setiap hujan deras. UB punya jurusan teknik, termasuk Teknik Pengairan telah mencoba mengusulkan beberapa inovasi sebagai solusi untuk menangani masalah banjir. Jurusan ini memiliki fokus keilmuan yang relevan, tetapi solusinya belum tampak untuk menghadapi banjir yang menggenang hingga kini.
Sejak 2020, para pakar dan akademisi UB sudah menawarkan berbagai inovasi untuk mengatasi banjir di Malang. Seperti kombinasi eco-swale, teknologi IoT, dan infrastruktur hijau untuk meningkatkan penyerapan dan penyimpanan air secara efektif (2024), pembangunan sumur injeksi untuk menyalurkan air hujan langsung ke tanah, perbaikan drainase, pelebaran sungai, hingga penertiban bangunan liar (2021). Bahkan, inovasi bangunan ramah lingkungan juga sudah diusulkan sejak 2020.
Sayangnya, semua solusi keren ini seolah masih sebatas rencana. Sudah empat tahun lebih berlalu, tapi perubahan yang terlihat di lapangan tetap minim. Banjir masih jadi langganan di berbagai titik, seolah ide-ide brilian itu hanya berhenti di atas kertas.
Hujan bukan masalah, tapi pengelolaan kota yang bermasalah
Kalau bicara soal banjir di Malang, sebenarnya kita sudah tahu inti masalahnya. Pakar dari Universitas Brawijaya sudah lama mengingatkan bahwa sistem drainase di kota ini butuh pembenahan serius. Gorong-gorong yang ada sekarang terlalu kecil dan banyak yang tersumbat. Ironisnya, beberapa malah tertutup bangunan. Jadi, aliran air yang seharusnya lancar menuju sungai malah mandek di tengah jalan. Hasilnya, ya banjir lagi, banjir lagi.
Selain itu, mari jujur soal perilaku kita sendiri. Kebiasaan membuang sampah sembarangan masih sering terjadi. Sampah yang menumpuk di saluran air tentu memperparah situasi. Ditambah lagi, pembangunan yang tidak terkendali membuat banyak saluran air hilang, karena tertutup gedung atau rumah. Masalah ini seperti lingkaran setan, sistem drainase buruk, perilaku masyarakat kurang peduli, dan pembangunan yang asal-asalan. Padahal, solusinya sudah jelas. Tinggal komitmen kita bersama yang perlu ditingkatkan, mulai dari pemerintah hingga masyarakat.
Masalah banjir di Malang bukan sekadar isu baru. Sejak 2015, banjir selalu hadir dengan pola yang sama tiap tahun, tapi solusi dari Pemerintah masih terasa abu-abu. Bukannya fokus mengatasi akar masalah, malah sibuk mempercantik kawasan wisata kota. Memang bagus kalau kota jadi lebih menarik, tapi apa gunanya kalau warga tiap hujan deras masih harus berjibaku dengan genangan.
Malang yang kecil, Malang yang penuh sesak
Yang lebih ironis lagi, kota sekecil Malang sekarang terasa penuh sesak. Nggak ada ruang terbuka hijau yang bikin mata segar, semuanya sudah habis dipenuhi bangunan. Malah banyak ruko dan pertokoan kosong yang dibiarkan mangkrak selama bertahun-tahun tanpa ada upaya pemugaran atau penataan ulang.
Aturan tentang pembangunan dan revitalisasi wilayah pun terkesan lemah. Kalau tata kelola wilayahnya seperti ini, mustahil Malang bisa terbebas dari banjir. Percuma saja memperbaiki saluran drainase kalau bangunan di atasnya masih mengganggu daerah resapan air. Bukankah sudah saatnya Pemkot Malang berpikir lebih bijak dan menata ulang skala prioritasnya. Karena, kota ini nggak cuma butuh wisata, tapi juga keseimbangan yang bikin warga nyaman dan lingkungan lebih sehat.
Malang butuh lebih dari sekadar diskusi, kota ini butuh aksi nyata yang bisa dirasakan dampaknya. Kalau tidak, inovasi secanggih apa pun hanya akan menjadi cerita yang menguap begitu saja.
Penulis: Nuruma Uli Nuha
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Surabaya Nggak Melulu Berisi Hal-hal Buruk, Ini 5 Hal yang Bisa Dibanggakan dari Kota Pahlawan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.