Bagaimanapun, makanan tetap saja mengundang perdebatan. Nggak habis pikir, deh!
#7 Telur Mateng vs Telur Setengah Mateng
Perdebatan mengenai telur ini sebenarnya kalau diklasifikasikan akan sangat banyak, seperti perdebatan mengenai telur dadar atau telur ceplok, telur rebus vs telur goreng dan sebagainya. Namun, yang paling populer tentu saja perdebatan antara telur mateng vs telur setengah mateng.
Bagi penganut paham telur mateng, telur setengah mateng itu sama sekali nggak sehat. Ya bayangkan saja, itu belum mateng lho, ya. Pastinya banyak bakteri-bakteri yang berada di dalamnya. Lagian, dalam hidup, seharusnya kita nggak boleh setengah-setengah. Kalau mau mateng, ya biarkan mateng aja. Kalau mau mentah, ya nggak usah dimasak sekalian. Hidup kok maunya nanggung dan setengah-setengah.
Namun, bagi paham sebaliknya, telur setengah mateng itu adalah salah satu mahakarya penemuan manusia yang paling luar biasa. Ia berada di kondisi antara matang dan nggak matang, yang berarti perpaduan di antara keduanya. Memasaknya pun membutuhkan skill, nggak semua orang dapat sukses dalam praktiknya.
Lagi pula, telur setengah mateng adalah pelengkap paling klop sama mie instan—makanan sejuta umat manusia di Indonesia. Bayangkan, saat hujan sedang turun dengan derasnya, kau memasak mie instan kuah ditambah dengan toping telur setengah mateng, lengkap dengan irisan tiga cabe. Lalu, perlahan-lahan kau membuka kuning telurnya, ia mengalir dan bercampur-baur dengan kuah mie-nya. Lalu perhatikan, betapa mahakarya ini adalah hal yang luar biasa. Jadi ngiler, kan?
#8 Mie Goreng vs Mie Kuah
Jujur saja, saya sebenarnya nggak bisa memutuskan harus berdiri di kubu yang mana. Bagi saya, keduanya sama-sama memiliki keunggulan masing-masing. Keduanya merupakan primadona, bergantung pada situasi dan kondisi tertentu.
Mie goreng itu nikmat, apa lagi kalau ditambahkan dengan lima cabe rawit. Dimakan saat tengah malam atau menjadi teman saat mengerjakan tugas, sungguh sebuah momen yang sangat pas.
Tapi, mie kuah juga nggak kalah nikmatnya. Dimakan tatkala sedang hujan, dingin dan kita membutuhkan kehangatan. Maka, mengonsumsi mie kuah dengan lima cabe adalah ide yang cemerlang. Nggak perlu diperdebatkan lagi.
Pertanyaan saya, apa sih yang membuat kalian-kalian berdebat mengenai ini? Please enlighten me!
#9 Bakso Pakai Saos dan Kecap vs Bakso Bening Tanpa Tambahan Apa pun
Menurut pendapat subjektif saya, perdebatan semacam ini tentu berasal dari kalangan penganut rasa original vs penganut rasa gado-gado (saya nggak menemukan kata lain yang cocok untuk ini, maafkan saya, yha).
Bagi sebagian orang, makan bakso seharusnya ya tanpa tambahan apa pun. Biarkan bakso sesuai dengan kodrat asli rasanya. Jikalau ingin menambahkan hal lain, maka cukuplah hanya sambal saja. Tambahan selain dari itu, sama halnya dengan merusak citra rasa bakso. Tindakannya sama sekali nggak bisa dimaafkan.
Namun, bagi penikmat rasa gado-gado (sekali lagi maafkan saya atas penggunaan kata ini), makan bakso bening itu nggak enak. Memangnya di mana serunya mengonsumsi bakso bening? Lagi pula, adanya botol kecap dan saos di abang-abang bakso tuh buat apa kalau nggak dipakai? Emangnya buat pajangan doang? Tentu saja untuk menambah nikmatnya bakso, kan? Hish, dasar sok ori dan idealis!
#10 Sate Pakai Lontong vs Sate Pakai Nasi
Setelah perdebatan makan sate pakai tusuk atau nggak, kini muncul lagi perdebatan makan sate pakai lontong atau pakai nasi. Hadeuh, memangnya penting banget ya kalian berdebat tentang ini? Tapi, karena kedua penganut paham ini sama-sama memiliki banyak pengikut, jadi mari saya bahas.
Menurut sebagian orang, makan sate itu enaknya pakai nasi. Nasi yang dicampur-baurkan pada bumbu satenya tentu menambah nilai plus akan kenikmatan makanan ini. Lagi pula, sate pakai nasi tentu saja lebih mengenyangkan dari pada pakai lontong (eh, masa sih?).
Namun, bagi penganut paham sebaliknya, makan sate itu paling enak ya pakai lontong. Lontong yang lembut berpadu dengan sate dan sambal kacangnya tentu jauh lebih nikmat dari pada pakai nasi. Lagi pula, sate pakai lontong jauh lebih presentable dari pada sate pakai nasi (lho, iya ta?).
#11 Kuaci Dikupas Semua, Lalu Dimakan vs Kuaci Dikupas Langsung Dimakan
Saya bingung, di kubu manakah saya harus berdiri? Biasanya, kalau sedang on fire, saya akan mengupas semua kuacinya. Ya, ibarat bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian. Tujuannya tentu saja supaya nanti saya tinggal makan saja, nggak perlu lagi ribet sama kegiatan kupas-mengupas.
Tapi, mengupas kulit kuaci lalu langsung memakannya juga merupakan tindakan bijaksana. Soalnya, saya pernah susah-susah mengupas semua kulit kuaci, saat sudah terkumpul malah dimakan sama teman, hiks. Udah bersakit-sakit dahulu, eh malah ditimpa tangga kemudian. Pedih ~
#12 Makan Pempek Dicocol vs Dikuahin
Mana yang lebih enak? Makan pempek dengan dicocol ke cuko-nya atau cuko-nya dijadikan kuah saja? Kayaknya sih, sama-sama enak, soalnya sama-sama dimakan, hehe.
Mungkin yang berpendapat untuk dicocol menganggap cuko sebatas kayak sambal kali, ya? Makanya dicocol-cocol aja, sedap. Tapi, sebagian lainnya kayaknya berpendapat bahwa pempek itu sejenis bakso yang harus dikuahin, hehe. Makanya, cuko-nya harus banyak.
Lalu, manakah yang paling benar? Keduanya sama-sama salah.
Katanya orang yang asli Palembang (tempat asal pempek), makan pempek itu yang benar ya dimakan dulu pempeknya, lalu cuko-nya dihirup (diminum). Jadi, ayo berhenti berdebat tentang halsalah kaprah ini, ya ~
#13 Pecel Lele vs Ayam Lalapan
Wahai kalian warga kota metropolitan Daerah Ibu Kota Jakarta, sadarlah bahwa lalapan itu berbeda dengan pecel. Pecel itu pakai kuah kacang, kalau nggak pakai ya bukan pecel namanya!
Sebagai orang yang berdomisili di Jawa Timur, rasanya agak aneh mendengar istilah pecel ayam. Makanan jenis apa itu? Saya merasa tambah aneh lagi saat tahu bentukannya pecel ayam yang justru sama persis dengan ayam lalapan. Ini jelas miskonsepsi!
Bagaimana ceritanya nama ayam lalapan berubah sangat jauh menjadi pecel ayam? Monangis rasanya, hiks.
#14 Bubur Berkuah vs Bubur Kering
Tadi pagi, saat mengecek trending topik di Twitter, saya menemukan kata “berkuah” menduduki salah satu dari 20 trending topik di Indonesia. Apa penyebabnya? Seorang sender yang bertanya di sebuah base khusus makanan. Ia dengan amat sangat polosnya mengajukan pertanyaan: bubur berkuah dan bubur kering, kalian tim yang mana?
Ya ampun, ini si bubur emang patut masuk rekor MURI sebagai makanan nomor satu yang paling sering menimbulkan konflik. Sender-nya ini juga kayaknya nggak tahu ya kalau di Indonesia itu udah banyak masalah, kok malah ditambah, sih?
Nggak pakai lama, kolom komentar lalu dipenuhi oleh dua kubu: bubur kering vs bubur berkuah. Hadeuh, nambahin kerjaan aja ya.
Menurut penganut paham bubur kering, rasa bubur berkuah itu aneh. Kok bisa-bisanya bubur pakai kuah? Memangnya lagi makan bakso, ya? Sama sekali nggak masuk akal.
Tapi sebaliknya, para penganut paham bubur berkuah justru heran mengapa di dunia ini bisa ada orang yang makan bubur kering. Bubur itu ya pakai kuah, selain untuk menambah cita rasa, juga semakin memperbanyak kuantitas isi buburnya. Kan lumayan, jadinya tambah kenyang.
Lalu, di manakah kalian akan berdiri? Tentukan mulai sekarang biar kalau ada yang ngajakin gelut dengan mengajukan pertanyaan seperti itu, kalian sudah tahu jawabannya.
By the way, saya yakin sebenarnya masih banyak jenis-jenis makanan lain yang rentan konflik dan belum saya sebutkan. Daftar tersebut tentu saja bisa terus bertambah seiring berkembangnya zaman. Siapa tahu, bulan depan ada perdebatan lain semacam: kalian tim boba pedas atau tim boba manis? Hehe.
BACA JUGA Makanan yang Sering Menimbulkan Perdebatan di Medsos atau tulisan Siti Halwah lainnya.