Dulu saya tak pernah memperhatikan hal ini, bahwasanya sate padang itu makannya pakai ketupat. Bukan dimakan pakai lontong, apalagi nasi. Dih.
“Halah, kan sama-sama terbuat dari beras!” Begitu saya mengartikannya waktu masih tinggal di Pulau Jawa. Namun saat ini, setelah sepuluh tahun menetap di Bukittinggi, di provinsi asalnya sate padang, saya sadar bahwa apa yang saya yakini selama ini tidak sesuai dengan apa yang saya amati di kota ini.
Sebelumnya, mari kita samakan persepsi antara ketupat dan lontong. Keduanya sama-sama berbahan dasar beras yang dimasak dalam bungkus daun. Dari bentuk fisik, perbedaannya jelas terlihat. Ketupat terbungkus dalam anyaman daun kelapa (janur) berbentuk segi empat, sementara lontong berbentuk silinder panjang dalam balutan daun pisang.
Karena dibungkus dengan daun pisang ini pula biasanya lontong memiliki aroma yang lebih kuat dibandingkan ketupat. Belum lagi beras yang digunakan untuk mengisinya pun biasanya sudah diaron terlebih dahulu menjadi beras setengah matang. Sementara ketupat umumnya menggunakan beras atau kadang ketan, tanpa perlakuan sebelumnya.
Daftar Isi
Ketupat dan lontong sering digunakan sebagai komponen karbohidrat dalam banyak hidangan Nusantara
Beberapa jenis masakan memang menggunakan ketupat maupun lontong sebagai pelengkap komponen karbohidratnya. Makanan seperti gado-gado, lotek, karedok, dan sejenisnya, bisa saja menggunakan ketupat atau lontong. Demikian pula dengan beragam masakan ketupat/lontong sayur. Penggunaan ketupat dan lontong di makanan-makanan tersebut memang sejatinya “diarahkan” sebagai pengganti nasi. Jika kemudian gado-gado dimakan dengan nasi pun, ya masih sah-sah saja. Artinya, tidak akan mengubah kenikmatan ketika mengonsumsinya.
Akan tetapi beda kasusnya untuk sate padang. Makanan berupa potongan daging yang ditusuk, dibakar, dan kemudian disiram kuah kental pedas ini, hanya disajikan dengan ketupat. Bukan lontong.
Saya sering sekali membaca artikel terkait sate padang yang menyebutkan bahwa makanan khas Sumatra Barat ini bisa disantap dengan ketupat atau lontong. (((Atau))). Makna kata “atau” itu seakan menjelaskan bahwa lontong bisa saja menggantikan ketupat di hidangan itu. Padahal walaupun sepertinya memiliki “fungsi” yang sama, namun saya perhatikan bahwa untuk wilayah Bukittinggi dan sekitarnya, peran ketupat dan lontong tidak bisa saling menggantikan di hidangan sate padang. Saya memiliki beberapa asumsi yang mendasari pemikiran ini.
Ketupat lebih dikenal di Bukittinggi
Selama tinggal di kota ini, saya tidak pernah melihat penampakan lontong di restoran, kedai, atau gerobak sate padang. Selalu saja ketupat yang tergantung, bukan lontong dalam besek. Bukannya tidak ada lontong di Bukittinggi. Kalian bisa menemukannya di restoran yang menjual makanan khas Jawa seperti sate ayam, sate kambing, atau opor. Justru penggunaan ketupat di hidangan-hidangan tersebut jadi terasa kurang lazim.
Dari seorang rekan di kota ini saya mengetahui bahwa penggunaan lontong, terutama yang terbungkus daun memang tidak umum di beberapa masakan Minang. Menurut beliau, lontong daun di Pulau Sumatra ini justru identik dengan masakan-masakan Medan. Contohnya, masakan lontong medan yang terkenal itu, yang memang menggunakan lontong daun sebagai komponen utamanya.
Sebenarnya, beberapa kuliner Sumatra Barat juga menggunakan lontong. Sebut saja lontong sayur, atau lontong pical (seperti sayur pecel kalau di Jawa). Namun, hidangan-hidangan ini pun tidak menggunakan lontong yang dimasak dalam daun pisang. Di sini, lontong dibuat dengan memasak beras sampai lembut seperti bubur. Ada yang menyebutnya bubua (dalam bahasa Minang berarti “bubur”), ada juga yang menyebutnya lontong kacau. Dalam bahasa Minang, “kacau” berarti campur, mengacu pada proses pembuatannya yang menyampur/mengaduk-aduk beras dalam kuali sampai lembut, dan ditambahkan air kapur sirih untuk membuat teksturnya padat dan kenyal.
Sebenarnya, proses pembuatan lontong kacau ini bisa lebih cepat dan efisien dibandingkan memasak ketupat. Hasilnya pun bisa lebih banyak. Namun, sampai saat ini saya belum menemukan pedagang sate padang yang menggunakan lontong kacau sebagai pengganti ketupatnya.
Rasa dan aroma sate padang kuat
Sebagai sebuah hidangan, sate padang memiliki rasa yang kuat. Kuah sate yang berbahan dasar tepung beras ini, umumnya berwarna kuning, cokelat, atau oranye kemerahan. Sejatinya, kuah sate padang memang diracik dari bumbu dan rempah yang sangat banyak.
Selain tepung beras, bawang merah, bawang putih, dan cabai sebagai bumbu dasar, ada juga jahe, lengkuas, kunyit, kayu manis, pala, ketumbar, lada, jinten, adas, bunga lawang, kapulaga, serta cengkeh. Belum lagi geng dedaunan seperti daun kunyit, daun salam, batang sereh, dan daun jeruk. Beberapa resep juga menambahkan bumbu kari sebagai penguat rasa. Tak heran aroma kuah sate padang ini begitu merangsang.
Itu baru kuahnya. Satenya sendiri berupa potongan daging sapi atau jeroan sapi yang telah dibumbui terlebih dahulu. Sate padang khas daerah Payakumbuh yang disebut sate danguang-danguang, malah lebih lezat lagi. Daging satenya ditaburi serundeng kelapa parut yang berbumbu. Bahkan tanpa perlu dibakar, sate ini sudah nikmat dimakan begitu saja.
Asumsi saya, kuatnya cita rasa inilah yang pada akhirnya “membutuhkan” ketupat, sebagai suatu pelengkap dengan rasa yang lebih netral dibandingkan lontong daun. Lontong daun jadinya akan lebih cocok sebagai pelengkap sate ayam, atau sate kambing khas Pulau Jawa saja, bukan sate padang.
Jangan pikir bisa makan pakai nasi
Oh ya, jangan juga makan sate padang pakai nasi, ya. Mentang-mentang kuahnya kuning kental begitu terus dibayangkan seperti kuah kari, yang cocok dimakan pakai nasi panas? Ya nggak gitu juga konsepnya.
Ingat, ini sate padang yang kuahnya terbuat dari tepung beras. Cita rasa kuah yang asin, gurih, dan pedas itu memang sepertinya cocok untuk “ngebasahin” nasi. Tapi, teksturnya yang cenderung kental itu bakal memberi sensasi rasa yang nggak karuan di lidah kalian. Nasi sudah jelas tidak berjodoh dengan kuah sate padang. Ini sate padang lho, bukan Indomie.
Jadi paham, ya. Jangan mentang-mentang berbahan-baku beras, terus ketupat dan lontong bisa saling bertukar peran di sate padang. Jangan juga ke-pede-an minta nasi putih waktu pesan sate padang. Kalau ini, berpotensi diketawain abang satenya.
Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Rupa-rupa Kecewa Penikmat Sate Padang.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.