Mahasiswa Jurusan Sosiologi Tak Perlu Merasa Bersalah, Ambruknya Reputasi Sosiologi Itu Salah Pemerintah!

Mahasiswa Jurusan Sosiologi Tak Perlu Merasa Bersalah, Ambruknya Reputasi Sosiologi Itu Salah Pemerintah!

Mahasiswa Jurusan Sosiologi Tak Perlu Merasa Bersalah, Ambruknya Reputasi Sosiologi Itu Salah Pemerintah!

Saya merasa tidak relate dengan data 72 persen mahasiswa Sosiologi menyesali jurusannya. Ya, mungkin saya bagian dari 28 persen-nya. Sebab sejauh ini, semakin saya menginjak semester akhir, saya semakin mencintai Sosiologi. Bahkan, boleh dikata rasa ingin tahu saya semakin bergejolak terhadap ilmu ini.

Terlepas dari kecintaan saya, saya juga turut prihatin pada jurusan Sosiologi, termasuk mahasiswa yang menyesal telah mengambil jurusan ini. Tapi, bukan berarti saya menyalahkan mereka. Sebaliknya, mereka tidak salah sama sekali. Menurut saya, semua penyesalan mahasiswa Sosiologi sebenarnya penyebabnya adalah salah pemerintah.

Korban utama diskriminasi ilmu sosial

Sebelum ada kurikulum merdeka, kita tahu bahwa siswa SMA diklasifikasi mejadi dua jurusan, yakni IPA dan IPS. Penentuan jurusan siswa biasanya dengan mengerjakan soal atau hasil raport ketika kelas satu. Sayangnya, menurut saya indikator penentuan tersebut sangat prematur, sebab beberapa sekolah hanya menghitung seberapa mampu siswa menjawab soal-soal IPA (terutama matematika). Jika mereka bisa menjawab soal-soal IPA, maka siswa akan masuk jurusan tersebut. Jika tidak bisa, maka siswa akan masuk jurusan IPS.

Sedangkan, indikator soal-soal IPS sering dihiraukan. Siswa yang kebetulan pintar mata pelajaran IPA dan IPS tetap akan dimasukkan ke IPA, alasannya tentu menjaga prestisius jurusan IPA.

Sekolah adik saya bahkan menentukan siswa IPA dan IPS hanya berdasarkan perilakunya. Jika si siswa mempunyai perilaku baik, maka akan dimasukkan ke IPA. Sebaliknya, siswa yang nakal akan dimasukkan ke IPS.

Akhirnya, apa yang terjadi? Muncul stigma bahwa jurusan IPS adalah tempat anak-anak bodoh, bahkan nakal. Sementara IPA adalah anak-anak pintar dan rajin. Nah, Sosiologi sebagai induk ilmu sosial akhirnya menjadi korban utama hingga sekarang ini.

Siapa akar yang menciptakan diskriminasi tersebut kalau bukan kebijakan pemerintah?

Membahayakan pemerintah

Selain hasil diskriminasi ilmu pengetahuan, pemerintah aslinya punya rasa takut pada lulusan Sosiologi. Karena, jurusan Sosiologi menjadi ilmu paling utama dalam membongkar masalah-masalah sosial. Nah, ketika masalah sosial dibongkar, pemerintah yang tidak becus selalu ada di dalamnya.

Misal saja, kita bandingkan Sosiologi dan Psikologi dalam membaca penyebab kemiskinan. Karena Psikologi mengkaji jiwa individu, analisisnya mungkin hanya berhenti pada perasaan-perasaan sang individu. Nah, Sosiologi jauh melampaui itu. Karena kita mengkaji masyarakat, maka yang perlu dijawab adalah apa di balik kemiskinan yang terjadi di masyarakat. Maka yang ditemukan adalah pemerintah tak mensubsidi pendidikan rakyat sehingga SDM-nya rendah, kualitas pendidikan yang diberikan alakadarnya, lalu pemerintah yang tidak becus mengatasi minimnya lapangan pekerjaan, hingga kekayaan negeri yang dimakan sendiri oleh pemerintahnya.

Makanya kan, Sosiologi kalah populer dengan Psikologi. Ya, itu memang sudah diatur oleh pemerintah, karena pemerintah tidak ingin ada yang menyalahkan. Pemerintah mau, apa kekacauan yang terjadi pada rakyat ya itu karena kejiwaan rakyatnya sendiri yang kacau.

Pemerintah takut pada lulusan Sosiologi

Kajian paling banyak digandrungi oleh mahasiswa Sosiologi adalah permasalahan kelas, yakni bahwa ada yang lebih tinggi dan ada yang lebih rendah sehingga muncul ketidakadilan. Nah, tokoh utama dalam kajian ini adalah Karl Marx, yakni kajian yang salah satu alirannya dilarang oleh pemerintah berdasarkan UU KUHP Nomor 1 Tahun 2023.

Padahal, cita-cita semua mahasiswa Sosiologi tak ada selain menciptakan masyarakat yang lebih berkeadilan. Sosiologi sangat risih dengan kondisi sosial yang selalu timpang. Misalnya, ketika rakyatnya banyak yang miskin, anak pejabatnya ada yang bisa naik jet pribadi. Lalu, ketika ekonomi masyarakat banyak yang tak mampu, mantu pejabat ada yang makan roti harga 400 ribu. Terakhir, ada yang ngerugiin negara 300 triliun, tapi cuma didenda 5 ribu dan penjara 3 tahun. Hadeh!

Nah, Sosiologi tidak mau menopang hal seperti itu. Kalau kata mereka, kita butuh revolusi. Nah pertanyaannya, penguasa yang tidak adil mau nggak direvolusi? Tentu, tidak kan. Makanya, Sosiologi dijadikan ilmu rendahan supaya tidak banyak yang minat.

Jadi sekali lagi, tak perlu menyalahkan diri sendiri karena berada di jurusan Sosiologi. Sosiologi itu ilmu kemanusiaan. Sosiologi adalah aktor utama yang wajib menghakimi penguasa yang tidak berlaku adil. Makanya, jika di sebuah negara jurusan Sosiologi dianggap tidak penting, mungkin saja negara tersebut sedang menopang ketidakadilan.

Penulis: Abdur Rohman
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Mahasiswa Jurusan Sosiologi Nggak Perlu Iri dengan Jurusan Filsafat yang Peluang Kerjanya Sempit

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version