Wacana tentang aktivasi kereta api di Madura semakin hangat. Di Instagram saya, beberapa kali muncul video Achmad Fauzi, selaku bupati Sumenep, yang menyampaikan keinginannya agar kereta api di Madura segera kembali aktif. Memang, orang yang memprakarsai gagasan aktivasi kereta api di Madura adalah Achmad Fauzi.
Bukan hanya ramai di media sosial, saya juga sering menjumpai berbagai titik jalanan di Sumenep banyak terpampang baliho berukuran kecil. Balihonya berisi tentang pernyataan bahwa Madura akan kembali memiliki kereta api.
Awalnya, saya memikirkan bahwa tidak ada yang keliru dari gagasan aktivasi tersebut. Sebab, Madura sendiri pada masa kolonial sudah memiliki kereta api. Jika kereta api kembali hadir, bisa menghadirkan nostalgia pada masyarakat. Di sisi lain, kehadiran kereta api bisa menambah jumlah transportasi umum bagi masyarakat, sehingga bisa mengurai kemacetan.
Namun, jika dipikirkan kembali, aktivasi kereta api di Madura hanya membuang uang. Mengaktifkan kembali kereta api tidak semudah membalikkan telapak tangan. Pemerintah harus menggelontorkan dana dengan jumlah yang banyak. Bisa miliaran, bahkan triliunan.
Persoalannya, ketika kereta api sudah bisa digunakan, apakah banyak masyarakat Madura yang akan menggunakannya? Rasanya, tidak banyak masyarakat yang akan menggunakan kereta api.
Daftar Isi
Orang Madura belum tentu mau pakai kereta api
Saya pernah bertanya kepada beberapa teman saat ngopi. Saya mengajukan pertanyaan, “Kalau kereta api sudah aktif di Madura, kalian mau menggunakannya?”
Rata-rata teman saya tidak mau menggunakannya. Alasan garis besarnya adalah tidak efektif menggunakan kereta api. “Palingan nanti jalur keretanya hanya mentok sampai Bangkalan. Terus buat apa naik kereta api?” jawab salah satu teman saya. Mendengarkan jawabannya, saya mengingat bahwa masyarakat banyak yang menggunakan transportasi umum apabila bepergian ke luar Madura, minimal ke Surabaya.
Jika jalur kereta api hanya sampai Bangkalan, tidak mungkin masyarakat madura menggunakan kereta api. Berangkat dari pengalaman pribadi sebagai orang Madura, kebanyakan masyarakat lebih menggunakan kendaraan pribadi jika hanya bepergian antarkabupaten. Alasannya, lebih nyaman dan hemat uang.
Dengan kata lain, jika minat masyarakat minim untuk menggunakan kereta api, yang terjadi nantinya hanya menanggung kerugian. Sebab, jumlah pengeluaran uang untuk pembangunan aktivasi kereta api, tidak seimbang dengan jumlah pemasukan yang didapat dari pembelian tiket kereta api dari masyarakat.
Jadi, mau tidak mau, pemerintah harus mampu membangun jalur kereta api minimal sampai Surabaya. Pertanyaannya, apakah mampu pemerintah membangun jalur kereta api sampai Surabaya? Kalau saya pesimis. Soalnya, untuk membangun jalur kereta api dari Madura hingga Surabaya, harus membelah lautan.
Baca halaman selanjutnya
Butuh dana super besar
Saya tidak pesimis dalam aspek inovasi teknologi untuk membangun jalur kereta api yang membelah lautan selat Madura. Saya pesimis dalam hal anggaran dana.
Untuk membangun jalur kereta api yang membelah lautan, sudah tentu membutuhkan uang dengan nominal triliun. Mengingat, pembangunan Jembatan Suramadu saja menghabiskan uang lebih dari 4,5 Triliun.
Besarnya pengeluaran anggaran untuk jalur kereta api dari Madura sampai Surabaya yang membelah lautan, tidak akan seimbang dengan jumlah pemasukannya. Logikanya, agar pengeluaran bisa segera tertutupi, maka tiket kereta api harus dibuat mahal.
Harga tiket kereta api yang mahal, akan membuat masyarakat Madura tidak minat menggunakannya. Sehingga, yang terjadi adalah sepi pengguna kereta api. Saya berkaca pada kondisi bandara di Sumenep yang sepi peminat, salah satu penyebabnya adalah harga tiket pesawatnya yang mahal.
Selain itu. keberadaan kereta api di Madura juga berdampak buruk pada roda pemasukan kru bus. Kok bisa? Bukannya tadi dijelaskan kalau tidak banyak masyarakat yang akan menggunakan kereta api? Memang. Cuman pasti ada beberapa masyarakat akan menggunakan kereta api dengan pertimbangan kecepatan waktu lebih cepat daripada naik bus.
Dengan begitu, artinya jumlah penumpang bus akan semakin sedikit. Jika penumpang semakin sedikit, berarti jumlah pemasukan untuk krus bus juga akan berkurang. Saya pernah bertanya tentang sistem pemasukan pada supir bus Madura saat ke Surabaya. Ternyata, sistem pemasukan untuk kru bus masih berorientasi pada perhitungan jumlah penumpang.
Jadi, semakin banyak penumpang, pemasukannya juga semakin besar. Namun, semakin sedikit penumpang, berarti pemasukannya juga semakin kecil.
Bagaimana nasib pedagang asongan?
Bukan hanya merusak pendapatan krus bus, keberadaan kereta api juga bisa merusak pemasukan pedagang asongan. Pasalnya, pedagang asongan di Madura banyak yang menggunakan penumpang bus sebagai sumber pemasukan utamanya. Jika penumpang bus semakin sedikit akibat adanya kereta api, pedagang asongan juga semakin berkurang penghasilannya.
Yang paling ironis nantinya, pengaktifan kembali kereta api juga berpotensi menghasilkan konflik. Dengan mengaktifkan kereta api, artinya akan ada pembebasan lahan untuk jalur rel kereta api.
Bukan tidak mungkin, proses pembebasan lahan untuk rel kereta api akan menimbulkan konflik, seperti tragedi Waduk Nipah. Mengingat, masyarakat tidak akan semudah itu memberikan tanahnya pada orang lain. Bagi orang Madura, tanah adalah nyawa penghidupan yang tidak bisa diberikan kepada orang lain dengan mudah.
Dengan beragam polemiknya, sudah seharusnya aktivasi kereta api di Madura butuh kajian yang serius dan mendalam. Jangan sampai pembangunannya hanya menyisakan kesia-siaan dan tangis air mata dari kepedihan kru bus, pedagang asongan, dan masyarakat yang terdampak pembebasan lahan.
Penulis: Akbar Mawlana
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Rahasia Orang Madura Sukses di Perantauan