Membaca tulisan berjudul Menjadi Alumni UIN Itu Juga Beban, Terutama Jika Hidup di Desa saya cukup memahami keresahannya. Begitu dengan tulisan Berdamai dengan Stereotipe Alumni UIN, Satu-satunya Cara Hidup Tenang Setelah Lulus yang keresahannya sama. Tapi, kedua tulisan tersebut tidak mewakili keresahan saya. Sebagai alumni UIN Jakarta (saya tulis agar lebih spesifik), keresahan saya lebih dari itu.
Kalau hanya sekadar diremehkan atau dianggap alim mah itu hal yang biasa saja, nggak perlu dibesar-besarkan. Nggak perlu juga pakai acara berdamai segala, jalani hidup kayak orang normal saja. Mungkin, keresahan dua orang tersebut hanya di tahap itu, karena bukan UIN di (maaf banget fakta) kota besar. Keresahannya lebih dari itu.
Mahasiswa UIN Jakarta dianggap liberal dan sesat oleh banyak orang
Saya tanya, mending dianggap alim atau dianggap liberal atau sesat? Apalagi kalau kamu tinggal di desa atau daerah yang masih banyak orang-orang dengan pemikiran kolot. Setiap ngobrol dengan orang-orang tersebut, omongannya nggak jauh dari UIN Jakarta penuh orang liberal dan orang sesat. Lalu ditutupi dengan kalimat nggak mau anaknya kuliah di UIN Jakarta.
Gua belajar sejarah anjir, nggak ada mata kuliah “100 cara menjadi liberal” atau “tips mudah menjadi orang tersesat”. Wallahi, nggak ada mata kuliah tersebut. Kok bisa sih masih kemakan omongan tahun 2010-an yang udah mulai basi. Topik-topik kayak begitu malah udah nggak laku di UIN Jakarta sendiri.
Hanya karena saya bergaul dengan banyak orang yang berbeda golongannya di UIN Jakarta, lalu banyak belajar pemikiran orang-orang yang berbeda, bukan berarti langsung liberal juga dong. Masa ilmu pengetahuan dan relasi dianggap sebatas itu saja. Cetek sekali, Bung.
Dianggap konservatif oleh oleh orang-orang liberal
Tau nggak yang paling mix feeling itu apa? Saat di sekitar orang-orang konservatif malah dianggap liberal, di kalangan orang-orang yang punya pemikiran liberal, saya sebagai anak UIN Jakarta malah dianggap konservatif! Saya nggak tau menanggapi hal ini sebagai pujian atau ujian. Aneh banget. Padahal bukan salah saya, tapi malah merasa krisis identitas.
Saat di sekitar orang-orang yang konservatif, saya menyampaikan ide-ide progresif yang berkemajuan. Memberitahukan kalau saya bergaul dengan berbagai golongan manusia, dianggap liberal. Saat bersama orang-orang liberal, saya menyampaikan stance saya terkait agama pribadi, malah dianggap memiliki pemikiran kolot dan nggak progresif. Serba salah banget lah, anjir.
Saya bukan konservatif atau liberal, saya hanya wibu
Sebagai seorang alumni dari UIN Jakarta dan pernah mengenyam ilmu di sana, saya mau membuat sikap yang jelas soal liberal dan konservatif ini. Teruntuk orang-orang yang masih menganggap saya satu di antara keduanya, saya bukanlah termasuk dari keduanya. Saya tidak konservatif dan saya tidak liberal. Saya hanya seorang wibu.
Jujur, saya bukanlah orang dengan pemikiran konservatif yang saklek dengan aturan dan tradisi. Saya juga bukanlah orang dengan pemikiran liberal yang membolehkan apapun dengan bebas. Saya hanya seorang wibu yang kebetulan berkuliah di UIN Jakarta, mempelajari banyak pemikiran, dan bergaul dengan banyak golongan manusia di dalamnya.
Lagian, orang kok gampang sekali memberikan cap. Pantesan negara nggak beres, banyak orang-orang yang gampang kebawa arus dan propaganda, soalnya. Dikasih label sedikit mengiyakan, dikasih joget sedikit seneng, dikasih masuk gorong-gorong malah takjub. Giliran dikasih kebenaran dan pintar, malah milih yang kocakkkk.
Penulis: Nasrulloh Alif Suherman
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Tolong, kalau Halu Jangan Kelewatan, UIN Nggak Lebih Bagus dari Kampus Negeri Lain!
