LRT Jalur Cibubur Nggak Seburuk Itu, Justru Menyelamatkan Warga yang Sudah Muak dengan Kemacetan Tol Jagorawi

LRT Jalur Cibubur Nggak Seburuk Itu, Justru Menyelamatkan Warga yang Sudah Muak dengan Kemacetan Tol Jagorawi

LRT Jalur Cibubur Nggak Seburuk Itu, Justru Menyelamatkan Warga yang Sudah Muak dengan Kemacetan Tol Jagorawi (RasyaAbhirama13 via Wikimedia Commons)

Beberapa waktu lalu saya membaca artikel di Terminal Mojok tentang LRT Cibubur Line (jalur Cibubur). Dari artikel tersebut saya menangkap bahwa sang penulis, Mas Marshel, kecewa dengan keberadaan moda transportasi ini. Hal-hal seperti jauhnya jarak stasiun ke permukiman, akses pejalan kaki yang tidak elit, tidak ada feeder, atau jarak antar-stasiun yang dirasa tidak proporsional cukup membuat Mas Marshel muntab.

Sebagai warga Cibubur, saya menyayangkan hal ini. Maksudnya, saya menyayangkan keberadaan LRT jalur Cibubur ini tidak bisa membuat Mas Marshel bahagia, tidak seperti saya. Biar saya ceritakan sebabnya.

LRT Cibubur adalah harapan warga yang sudah muak dengan kemacetan tol Jagorawi

Cibubur sudah jadi daerah “jajahan” sejak saya menikah 2008 lalu. Sejak itu, tol Jagorawi yang di jam-jam tertentu macet mampus itu saja sudah saya anggap sebagai “pahlawan”, jika saya harus bolak-balik dari Cibubur ke kantor, belanja, atau sekadar nongkrong di jantung Jakarta.

Sebenarnya banyak akses menuju jantung kota. Tapi tol Jagorawi menjadi akses yang paling mumpuni bagi saya. Meskipun waktu tempuh ke tujuan bisa lebih dari satu jam, baik naik kendaraan pribadi maupun transportasi publik seperti Transjakarta atau bus Mayasari Bakti.

Sampai akhirnya sekitar tahun 2016, proyek LRT jalur Cibubur mulai dikerjakan. Tiang-tiang pancang yang berderet sepanjang jalan itu memberikan harapan bagi saya yang semakin letih bersahabat dengan kemacetan tol Jagorawi. Tak usah heran kalau selama bertahun-tahun melewati tol ini saya berdoa dalam hati supaya LRT ini cepat beroperasi.

Sebenarnya Cibubur sudah memiliki cukup banyak transportasi publik. Sebut saja angkot, mikrotrans Jaklingko, bus AKAP, feeder, Transjakarta, sampai bus yang langsung ke Bandara Soekarno-Hatta pun ada. Kendaraan-kendaraan umum yang mengarah Jakarta melalui tol Jagorawi selama ini ngetem di seberang Cibubur Junction. Di pinggir jalan inilah saya dan penumpang lainnya biasa menunggu bus, berpanas-panas ria karena tidak ada ruang publik yang bisa kami pakai untuk menunggu.

Jika tidak ingin kena macet parah tol Jagorawi, biasanya saya akan berangkat di luar jam-jam sibuk. Tapi konsekuensinya, saya harus sabar menunggu karena frekuensi bus yang saya tunggu lebih sedikit di luar jam-jam sibuk ini. Saya pernah hampir satu jam kepanasan di pinggir jalan menunggu bus yang tidak datang-datang, sampai akhirnya tidak tahan dengan kondisi itu dan terpaksa naik taksi juga supaya tidak terlambat.

Bahagianya saya begitu LRT beroperasi

Tinggal di Cibubur membuat saya harus siap meluangkan waktu paling tidak dua jam menuju pusat Jakarta. Dan itu melelahkan.

Pengalaman saya tinggal di Cibubur selama ini membuat saya menyadari betapa perlunya warga Cibubur akan sarana dan prasarana transportasi yang lebih baik lagi. Tidak hanya moda transportasi yang anti macet dengan jadwal yang lebih pasti, tapi juga fasilitas menunggu yang lebih nyaman. Jadi ketika LRT jalur Cibubur yang saya tunggu-tunggu akhirnya beroperasi, kalian bisa bayangkan betapa bahagianya saya.

Perasaan bahagia ini membuat saya bisa menerima bagaimanapun kondisi LRT jalur Cibubur saat ini. Kalau Mas Marshel mengeluhkan tidak nyamannya berjalan kaki di terik matahari ditemani batu, kerikil, pasir, hingga kubangan lumpur, saya sama sekali tidak keberatan dengan hal itu. Toh, pada akhirnya saya bisa menumpang moda transportasi yang sudah jelas keberangkatannya. Bagi saya hal itu lebih baik daripada menunggu bus tujuan di pinggir jalan yang entah kapan datangnya.

Perkara akses yang tidak elite menurut beliau, bagi saya itu proses saja. LRT jalur Cibubur ini baru beroperasi Agustus 2023. Belum satu tahun juga umurnya. Saya yakin secara bertahap akan ada peningkatan fasilitas untuk kenyamanan penumpangnya. Sabar saja!

Selain itu, untuk mencapai Stasiun Harjamukti—stasiun terakhir LRT jalur Cibubur—menurut saya tidak terlalu merepotkan. Ada dua mikrotrans Jaklingko yang melewati Stasiun Harjamukti ini, yaitu nomor 73 rute Jambore ke Pasar Rebo, dan nomor 28 rute Wiladatika ke Pasar Rebo. Kalau mau lebih nyaman bisa naik taksi atau transportasi online.

Sekitar dua bulan lalu ketika saya turun di stasiun ini sore hari saya juga menjumpai feeder bus Kota Wisata—salah satu perumahan di kawasan Cibubur. Saya rasa ke depannya akan lebih banyak lagi perumahan-perumahan lain yang memfasilitasi bus-bus feeder seperti ini ke Stasiun Harjamukti.

Wajar kalau tidak bisa membahagiakan semua orang

Saya pernah mendengar bahwa di mana pun, pembangunan yang dilaksanakan pemerintah tidak akan mungkin bisa 100 persen termanfaatkan. Saya meyakini hal itu. Tidak semua rakyat bisa memanfaatkannya, menikmatinya, bahkan mungkin ada juga pihak-pihak yang merasa dirugikan. Termasuk keberadaan LRT jalur Cibubur ini.

Saya menyesali Mas Marshel yang sepertinya belum bisa menikmati keberadaan moda transportasi ini. Jika beliau mengeluhkan kondisi stasiun yang panasnya seperti neraka, kok saya tidak mengalami hal itu ya? Biasa saja.

Selain itu, banyaknya stasiun pemberhentian bagi saya justru menguntungkan karena saya bisa memilih stasiun yang lebih dekat dengan tujuan akhir saya. Itu saja sudah melampaui ekspektasi saya sebelumnya. Bagi saya, sejak pertama kali beroperasi keberadaan LRT jalur Cibubur benar-benar nyata membantu mobilitas saya.

Penulis: Dessy Liestiyani
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA LRT Jalur Cibubur Adalah Seburuk-buruknya Penataan Akses Transportasi Publik.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version