Kalau tanya-tanya soal makanan ke orang Surabaya, pasti jawabannya nggak jauh-jauh dari yang namanya petis. Pasta yang dibuat dari udang atau ikan ini sering dijadikan bahan campuran untuk berbagai makanan di Surabaya. Ada lontong balap, lontong mi, rujak cingur, tahu tek, dan yang cukup fenomenal adalah lontong kupang.
Makanan yang mencampurkan kuah petis dengan kupang (sejenis kerang kecil) ini sangat populer di Surabaya. Bahkan, saking populernya, makanan ini sempat diklaim oleh salah satu teman akamsi sebagai makanan khas Kota Pahlawan. Padahal, lontong kupang adalah makanan khas Sidoarjo.
Di tengah popularitasnya, ada beberapa warga yang tidak terlalu suka dengan makanan ini. Salah satunya saya. Kalau dibilang unik, sih, memang unik. Belum pernah saya jumpai ada makanan berkuah yang kondimen utamanya dari kerang seukuran lalat. Tapi yang namanya makanan pasti yang jadi pertimbangan adalah rasanya.
Awalnya, saya penasaran dengan rasa lontong kupang. Maklum, saya sebagai warga Kediri belum pernah menjumpai makanan sejenis ini. Dilihat dari tampilannya, saya pikir makanan ini enak banget. Apalagi kupangnya yang melimpah menambah sugesti kenikmatan karena lauknya lebih banyak daripada karbo itu sendiri.
Akhirnya, saya memberanikan diri untuk membeli seporsi lontong kupang di sekitar kampus. Saya beli seporsi, lengkap dengan sate kerang dan lentho yang ukurannya nggak umum. Suapan pertama, masih oke. Tapi setelah 5-7 suapan, rasanya makin aneh. Dari situ, saya sadar bahwa lidah saya yang terlalu agraris memang tidak berjodoh dengan lontong kupang.
Kombinasi petis dan kupang yang terlalu amis di lontong kupang
Bagi sebagian orang, makan petis saja sudah dianggap amis. Apalagi ditambah kupang yang memang asalnya dari laut. Amisnya makin berkali-kali lipat. Masalahnya, nggak semua orang bisa toleran dengan rasa seperti ini, salah satunya saya.
Saya yang sejak kecil sudah dibesarkan dengan makanan-makanan semi vegetarian seakan menolak lontong kupang masuk ke mulut. Meski sudah ditambah perasan jeruk, tampaknya itu masih belum cukup untuk menghilangkan rasa amis dari makanan ini. Selain dari rasa amisnya, after taste dari rasa bawang putihnya juga cukup kuat. Celakanya, rasa bawang putih itu masih nyantol di tenggorokan selama beberapa jam.
Untunglah, saya tidak punya riwayat alergi dengan makanan maritim yang satu ini. Jadi, lidah saya masih bisa kalau diajak adaptasi pelan-pelan.
Satai kerang yang kurang bersih
Makan lontong kupang tak lengkap rasanya kalau nggak pakai satai kerang. Ibarat makan soto tapi nggak pakai koya. Nggak wajib sih, tapi berasa ada sesuatu yang hilang. Itulah yang membuat saya mencoba menambahkan satai kerang ke dalam sepiring lontong kupang. Sayangnya, keputusan itu juga yang bikin saya menyesal.
Setelah menyantap beberapa suapan, saya menyadari bahwa satai kerang yang biasa dijual di warung lontong kupang memiliki bercak kehitaman. Awalnya, saya menduga itu cuma pigmen daging. Tapi setelah diperhatikan lebih saksama, ternyata itu kotoran yang belum sempat dibersihkan.
Bayangkan, kerang yang pada dasarnya berperan sebagai filter air saja sudah berpotensi mengandung logam berat. Apalagi kalau kotorannya ikut termakan. Memang sih, ukuran satai kerang di lontong kupang itu lumayan kecil, jadi susah buat membersihkan kotorannya. Tapi, itu sudah menjadi tanggung jawab setiap pedagang untuk menjaga kualitas makanannya sekecil apa pun.
Intinya, sejak saat itu, saya kapok memesan lontong kupang beserta satai kerang. Bukan kenikmatan yang saya dapat, malah rasa waswas akan kesehatan. Mungkin, jika diberi kesempatan untuk nyoba lagi, saya bakal beri perasan jeruk yang lebih banyak. Siapa tahu masih bisa adaptasi. Tapi kalau tambah satai kerang, sepertinya nggak bakal saya coba lagi.
Dari lontong kupang, saya jadi belajar bahwa tampilan memang menjadi first impression yang baik. Tetapi rasa adalah penentu pelanggan untuk datang lagi atau cukup mencoba sekali.
Penulis: Aji Permadi
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
