Lini Masa Kim Seon Ho, Subtitle Squid Game, dan Terjemahan Bahasa Korea yang Bikin Nangis

Lini Masa Kim Seon Ho, Subtitle Squid Game, dan Terjemahan Bahasa Korea yang Bikin Nangis terminal mojok

Tepat hari Selasa lalu, kita memasuki babak baru skandal Kim Seon Ho. Huft. Rasanya panjang dan melelahkan sekali menghabiskan sepanjang pekan dicekoki oleh para warganet yang terbagi ke dalam dua kubu: membela Kim Seon Ho dan menghujatnya habis-habisan. Beruntunglah Dispatch, yang dulu kerap dianggap sebagai momok bagi para fans fanatik, merilis lini masa yang memperlihatkan bagaimana hubungan Kim Seon Ho dengan mantannya yang berinisial CYA selama kurang lebih dua tahun terakhir.

Peliknya romansa Kim Seon Ho nggak kalah bikin jengkel jika dibandingkan dengan Yu Na Bi di drakor Nevertheless karena mereka sama-sama bodoh dalam cinta. Kisah Kim Seon Ho dan CYA yang hampir kayak drakor memang menarik buat dibahas. Tapi dari lini masa Dispatch tersebut, sebenarnya ada hal yang nggak kalah menarik, yakni problem terjemahan bahasa Korea ke bahasa Inggris yang bikin kening berkerut.

Akun Twitter dan Instagram yang secara sukarela nge-translate lini masa Dispatch ini jumlahnya banyak sekali. Bahkan di hari itu, hasil terjemahannya lewat di timeline Twitter saya lebih dari tiga kali. dan saat itu, saya menemukan ada sebuah kejanggalan pada sebuah hasil terjemahan. Misalnya saja ada akun yang menerjemahkan bahwa seakan-akan ada orang yang melaporkan CYA ke Dispatch pada tanggal 11 Desember 2020.

Sebenarnya ada beragam konteks kebudayaan Korea yang nggak bisa diketahui dan dijelaskan oleh mesin penerjemah. Misalnya pada lini masa Dispatch, disebutkan bahwa selama bulan Agustus 2020, Kim Seon Ho memasak sup rumput laut selama dua minggu. Bagi orang awam, tentunya kalimat ini akan bikin bingung.

“Hah, apa hubungannya masak sup rumput laut sama skandal?”

Mesin penerjemah nggak akan memberi informasi di balik filosofi sup rumput laut yang sangat mengakar kuat di masyarakat Korea. Kita nggak akan pernah mendengar Google Translate ngomong, “Sup rumput laut tuh dimakan sama para ibu yang baru selesai melahirkan atau keguguran, Ngab,” setelah kita pencet ikon “translate”.

Di Squid Game pun ada kejadian serupa. Ingat dengan episode pertama dari serial Netflix fenomenal ini? Jika kalian menggunakan subtitle Inggris atau Indonesia, pasti yang akan tampil di layar adalah Red Light, Green Light atau Lampu Merah, Lampu Hijau. Padahal dalam bahasa Korea, permainan ini filosofis banget karena mengandung nama bunga nasional Korea Selatan, Mugunghwa atau Hibiscus. Kalimat yang diucapkan oleh Younghee, atau si boneka raksasa berpakaian kuning, “Mugunghwa kkochi pieossseumnida,” berarti ketika bunga Hibiscus mekar. FYI, Mugunghwa ini ada dalam lirik lagu kebangsaan Korea Selatan, “Aegukga”.

Mengenai Squid Game ini, translator-nya nggak memakai Google Translate, Naver Papago, atau Bing. Disebutkan kalau mereka memiliki “reading speed limit”, yaitu mereka hanya bisa menggunakan karakter dalam jumlah tertentu dalam dialog sehingga mereka perlu melakukan parafrase. Tapi bagi para orang Korea asli, misalnya saja Youngmi Mayer yang mengkritisi hal ini, menerjemahkan dengan melewatkan filosofi budaya adalah hal yang sangat disayangkan.

Saya pun pernah mengalami kekesalan lantaran mesin penerjemah nggak tahu konteks dari kata atau kalimat yang dialihbahasakan. Saya inget waktu dulu nonton drakor Police University, nama kontak saudara tiri Kang Seon Ho disimpannya sebagai “Kkeomddakji”. Kkeomddakji ini adalah semacam slang yang dipakai buat menjuluki orang yang menempel sama kita layaknya permen karet atas dasar rasa nyaman. Buat para Moa atau fans TXT pasti sering banget denger julukan ini. Tapi pada saat itu, subtitle yang diterjemahkan secara literal dari bahasa Korea ke bahasa Inggris mengartikan kkeomddakji sebagai “pet”. Jauh banget, Pak.

Selain berkenaan dengan konteks, rintangan yang kita hadapi ketika menerjemahkan bahasa Korea ke bahasa Inggris adalah karena bahasa Korea nggak membedakan antara singular dan plural. Kata Kim Seong Kon, seorang profesor bahasa Inggris di Seoul National University dan ketua Literature Translation Institute of Korea, sih, gitu. Selama saya belajar bahasa Korea pun jarang sekali saya temui native speaker maupun textbook yang memakai bentuk plural. Akibatnya, saya sering lupa nambahin –s dan –es waktu ngetik dalam bahasa Inggris. Kebanyakan baca bahasa Korea, sih, huhuhu.

Bahasa Inggris juga cenderung nggak punya level of politeness dalam bahasanya. Kalau di bahasa Indonesia, kita punya panggilan “Anda” yang lebih sopan daripada “kamu”, dan dalam bahasa Jawa ada “panjenengan” yang bisa kita pakai saat berbincang dengan orang yang lebih disegani, alih-alih menggunakan “kowe”. Begitu pula bahasa Korea. Ada berbagai macam seruan untuk lawan bicara yang disesuaikan dengan kondisi. Sayangnya, mesin penerjemah sering mengartikan “you” atau “kamu” sebagai “dangsin” yang mana ini adalah kata sapaan khusus untuk orang yang sedang marah atau panggilan sayang bagi suami istri.

Bahasa Korea, dan saya rasa bahasa-bahasa lain, memang kompleks banget. selain harus belajar kosakata dan tata bahasa, konteks dari setiap kalimat yang kita susun pun harus kita ketahui. Penerjemah yang beroperasi berdasarkan AI dan machine learning memang terus berkembang dari masa ke masa, tapi saat ini kemampuannya masih belum bisa menandingi penerjemah manusia.

Nggak apa-apa sih kalau terpaksanya harus menggunakan Google Translate, Naver Papago, dan Bing. Tapi di balik itu, ada risiko yang harus kita terima, misalnya mangkel karena terjemahan update-an BTS jadi penuh dengan kata-kata kasar. Atau bisa juga dianggap sebagai fans nggak tahu diri karena hasil alihbahasa yang seringkali nggak sopan dan belum dikonjugasikan dengan benar.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version