Lenovo ThinkPad E14: Harga Hampir Rp19 Juta, Kekurangannya Tak Bisa Diterima

Lenovo ThinkPad MOJOK.CO

Lenovo ThinkPad MOJOK.CO

Laptop korporasi itu sangat berbeda dengan laptop pribadi. Jika sebagian besar dari kita menginginkan laptop yang seringan, setipis, semenarik, sekencang, dan semurah mungkin untuk dibeli sendiri, tidak demikian dengan laptop korporasi. Mahal, sedikit berat, sedikit tebal, dan tampak jadul tidak masalah selama penampilan dan performanya cocok untuk profesional serta tahan banting. Itulah kenapa Lenovo ThinkPad ada dan bahkan ada pribadi yang menyukainya juga, misalkan saja Mas Fidocia Wima.

Dengan sangat hormat, saya mengakui bahwa sebagian besar Lenovo ThinkPad itu bagus. Sejak kecil sampai sekarang, saya melihat kekuatan ThinkPad dihajar pekerjaan berat dan gaya mengetik yang kejam. Akan tetapi, keanehan mulai terjadi ketika seorang dosen perempuan yang ThinkPad-nya baru berumur tiga tahun mengalami kerusakan ThinkPad.

Ya. Tiga tahun memang terdengar lama, tetapi Om Dedy Irvan dari Jagat Review pernah mengatakan bahwa laptop didesain untuk bertahan sampai lima tahun. Bahkan, netbook Dell saya yang dibeli sepuluh tahun lalu masih bertahan sampai hari ini! ThinkPad ibu dosen saya? Satu per satu tuts keyboard mati, diservis tidak bisa, keyboard pengganti susah dicari, dan ujung-ujungnya mati untuk selamanya. Hard disk pun tidak terbaca sehingga pekerjaan jangka panjang yang belum selesai harus diulang dari nol.

Saya pribadi serasa tidak percaya dengan keadaan ini sampai menerimakan sendiri sebuah Lenovo ThinkPad E14 dengan prosesor Intel Core i7-10510U, kartu grafis AMD Radeon RX640 dengan VRAM 2GB GDDR5, RAM 8GB, dan SSD 512GB. Laptop ini bukan milik saya pribadi, saya hanya dipinjamkan untuk menjalankan pekerjaan. Ekspektasinya jelas performa yang tinggi nan stabil. Prosesor lebih kencang, sudah menggunakan SSD, ThinkPad lagi.

ThinkPad E14 ini jelas lebih tipis dari VivoBook A442UR saya keluaran dua tahun lalu. Akan tetapi, dia jelas kalah dibandingkan terhadap laptop pribadi yang konektivitas fisiknya setara. Chargernya sudah menggunakan port USB 3.1 Type-C, bukan lagi DC-in. Sayang, masih terdiri dari dua bagian yaitu satu adaptor berbentuk kotak dan kabelnya, belum seperti VivoBook saya yang sudah menyatu sehingga lebih mudah dibawa-bawa dan tidak takut ada yang tercecer. Konektivitas fisik lain adalah dua port USB 3.0 Type-A, HDMI, combo audio jack, satu port RJ45 Ethernet, dan satu port USB 2.0 Type-A. Bezel kiri, kanan, dan atasnya juga lebih tipis dari VivoBook. Tidak ada slot DVD tidak masalah, siapa lagi yang pakai. Sensor sidik jari ada di tombol power. Yang pasti, bola TrackPoint dan tombol dedicated untuk klik kiri serta kanan khas ThinkPad ada di sini.

Secara estetika, laptop ini bentuknya sangat kaku dengan tutupnya yang berbentuk benar-benar kotak. Warnanya hitam polos dengan material tutup yang menyebabkan sidik jari mudah tertinggal. Layarnya anti-glare sehingga tampilan tetap memadai ketika dipakai outdoor.

Awal pemakaian memang tidak menunjukkan keanehan. Booting pertama berlangsung cepat, waktu untuk terhubung dengan koneksi WiFi dari tethering ponsel juga cepat, browsing dengan banyak tab tidak membuat laptop nge-lag. Penggunaan kuota data pun tidak seboros di VivoBook saya, wajar karena Lenovo ThinkPad sudah menggunakan Windows 10 Pro yang bisa menunda automatic update dan membatasi penggunaan internet secara background dari Windows Store.

Oke, setelah bulan madu dan sedikit adaptasi dengan ThinkPad, saya mulai bekerja. Programnya sederhana, Bosku. Excel! Excel memang bukan barang yang mudah untuk dikuasai, formula-nya banyak sekali dan belum termasuk macros-nya. Akan tetapi, tentu itu lebih ringan dibandingkan riset saya yang selama ini melibatkan model statistik kompleks. Program yang saya gunakan hanya bisa menggunakan satu inti prosesor laptop, berbeda dengan Excel yang bisa menggunakan semua inti!

Hanya dipakai untuk scrolling data ke kiri-kanan dan atas-bawah, laptop sudah cukup untuk membeku dengan tampilan abu-abu dan solusinya hanya menutup kemudian membuka kembali. Itu pun tidak menyelesaikan masalah, bahkan setelah restart laptop sekalipun. Ketika pekerjaan sudah deadline, laptop masih error dan saya hanya sibuk mencoba memperbaikinya. Pekerjaan yang seharusnya selesai di jam kerja melembur sampai tengah malam karena laptop baru mulai agak bersahabat di malam hari.

Dengan setting normal, hanya membuka satu tab browser sudah menghabiskan 22% kemampuan CPU dengan kecepatan hingga 4GHz, membuat kipas berputar kencang, dan baterai habis total dalam empat jam. Padahal, kapasitas baterainya besar (45Wh) dan penggunaan dilakukan dalam power saving mode. Ketika diminta bekerja dengan dokumen besar di Excel, malah penggunaan CPU hanya dua sampai lima persen. Bercanda kan?

Oke, saya coba menaikkan batas bawah persentase tenaga prosesor dari awalnya lima persen dan juga menurunkan batas atas yang semula seratus persen agar performa lebih stabil dan laptop tidak mudah panas. Power saving mode dihentikan dan apa? Excel baru mau mulai mengandalkan performa prosesor dengan maksimal ketika setting diubah ke 60%-95%. Itu pun, kendala crash saya tetap terjadi tanpa perubahan.

Setelah sepekan kerja, saya mendapat surat cinta ketika akan mematikan laptop. Bad referenced memory, memory could not be read. Hah, memori tidak bisa terbaca dengan baik?

Bingung? Jelas. Laptop pribadi yang menggunakan Intel Core i5-8250U, RAM 8GB juga, dan masih mengandalkan HDD jauh lebih bandel. Kemudian, salah siapa? Eksekutor pembeli yang kurang cermat sewaktu unboxing dan kontrol kualitas atau memang salah produsen? Apakah laptop ini masih tergolong baru sehingga banyak kendala optimasi di awal peredaran?

Oke, pertama saya tanya rekan saya yang menggunakan ThinkBook 14 (Core i3), laptop yang pernah saya sarankan di artikel sebelumnya. Rekan saya menjawab semuanya bekerja dengan baik dan stabil tanpa satu pun kendala yang saya alami. Aneh, yang murah justru lebih baik.

Belum puas, saya mengontak rekan lain yang menggunakan Lenovo ThinkPad seri E juga, tetapi dari generasi sebelumnya yaitu E490. Rekan ini hanya sebatas menggunakan laptop-nya untuk Word, PowerPoint ringan, dan menonton drama Korea. Belum mengobrol jauh-jauh, foto WhatsApp mengenai kendala blue screen sudah saya terima. Pengakuannya, ini terjadi sejak awal pembelian.

“Saya sebal tetapi saya pasrah,” katanya. “Teman-teman saya juga begini semua sejak awal pembelian, Windows Update tidak menyelesaikan masalah. Lebih baik, ganti laptop merek lain deh.” Nah, ini lebih parah dari kasus saya. Kata beliau, ada seorang teman yang berhasil menyelesaikan masalah dengan cara install ulang (inul) dengan Windows 10 Home bajakan. Waduh.

Tinggalkan si E490, kita kembali ke E14 ini. Apa yang mungkin menyebabkan masalah? Baru kok sudah bermasalah?

Pertama, penempatan kipas. Lenovo hanya memberikan kipas di bagian bawah, berbeda dengan laptop saya yang punya kipas di bawah dan belakang. Ketika ditaruh di atas meja, jelas laptop menjadi panas karena ruang sirkulasi tertutup. Jika Anda pakai sambil mengecas, panas akan semakin menjadi dan bukan tidak mungkin bodinya menyetrum. Hai, Lenovo, tahu kan kalau laptop ini kebanyakan akan dipakai untuk bekerja keras? Pantas saja tidak stabil dan mudah drop.

Kedua, RAM. Bagi pengguna yang tech geeks, RAM 8GB itu sudah lebih dari cukup. Matikan animasi Windows, gunakan wallpaper warna polos, selesai, meski ini juga tidak menyelesaikan masalah di kasus saya. Akan tetapi, kebanyakan pengguna bukan tech geeks dan sekali lagi ThinkPad lebih banyak disiksa setelah dibeli. RAM single channel alias kalau mau upgrade perlu cabut dan ganti baru lagi, haduh sekarang laptop biasa pun sudah tren dual-channel. RAM 12GB itu sudah jadi standar bagi para profesional, bahkan rekan saya yang lain baru mencapai kenyamanan kerja di E490 dengan RAM 24GB (8GB+16GB). Lebih parahnya lagi, ketika prosesor mendukung RAM dengan frekuensi 2666MHz, Lenovo hanya memberi 2400MHz. Hebat deh.

Ketiga, kontrol kualitas yang buruk. Karena sebelumnya E490 juga ditemukan masalah yang mencecar pengguna dengan beban rendah dan beberapa orang sekaligus, kita boleh menduga Lenovo abai dalam mengecek kelayakan pakai ThinkPad sebelum didistribusikan. Cacat produksi memang biasa, tetapi kalau laptop mahal kan seharusnya diperiksa teliti dulu. Masak ThinkBook-mu lebih andal?

Jika Anda bermain ke situs NotebookCheck dan membaca review mereka, mungkin kebingungan akan dirasakan. Mereka justru tidak menemui kendala performa dengan unit mereka, tetapi untuk varian berprosesor Intel Core i5-10210U. Layar sih dikeluhkan bleeding dengan rentang sRGB yang rendah, saya belum pernah mengalami bleeding tetapi rentang sRGB tentu tidak dites karena membutuhkan instal aplikasi di laptop yang bukan saya punya. Akan tetapi, performa jempolan dan tidak ditemukan kendala kebisingan kipas maupun panas yang berlebih.

Kesimpulannya, Lenovo mungkin mengalami dua hal, antara tidak mampu mengoptimasi prosesor yang lebih canggih dengan pendinginan yang mumpuni dan/atau kontrol kualitasnya buruk sehingga laptop yang tidak layak bisa lulus. Bukan salah prosesornya ya, produk lain bisa bekerja dengan baik, kok.

Diskusi lanjutan mengarahkan pada tiga merek untuk penggunaan laptop korporasi. Pertama, ASUS VivoBook S14 S433FL. Meski RAM malah mentok di 8GB dan tidak bisa di-upgrade lagi, dia sudah mengusung sistem dual channel. SSD pun ditopang dengan Intel Optane berkapasitas 32GB sehingga performa lebih gegas.

Kedua, HP ProBook 440 G7. Ya, tidak ada kartu grafis diskrit, masih mengandalkan lisensi Windows 10 Home, dan harganya menembus batas Rp20 juta. Akan tetapi, kebandelan performanya tidak perlu diragukan lagi. Jika tidak masalah berpindah ke AMD dan tidak butuh performa grafis unggul, ProBook 435 G7 dengan Ryzen 3 4300U juga sudah cukup bersaing dan bonus layar bisa dilipat sampai touch screen. Untuk penggunaan aplikasi multithread seperti Excel, skor UserBenchmark dan PassMark-nya sangat bersaing dengan deviasi yang lebih kecil alias performa stabil! Ketiga, jika tetap harus Lenovo, turun ke E14 dengan prosesor Core i5 atau pindah ke ThinkBook, sekalian IdeaPad deh. Setidaknya mereka tidak mengalami banyak masalah.

Terakhir, pandangan ekstrem. MacBook Air jika memungkinkan, itu kata rekan saya. Saya sendiri tidak terlalu setuju dengan adaptasi dan kebutuhan aksesoris tambahan untuk Mac, tetapi teman saya bilang bahwa meskipun spesifikasinya lebih buruk, kan optimasi performa mantap sehingga bisa dipakai sampai sepuluh tahun tanpa penurunan performa secara signifikan. Kata pembaca Terminal Mojok, bisa Boot Camp Windows 10, kan? Saya anti ribet sih, langsung Windows saja.

Ya, itulah kesan saya bersama si Lenovo ThinkPad E14. Pandangan pertama yang buruk dan ternyata juga terjadi di kakaknya yaitu E490. Andaikan profesional mulai terbuka untuk memakai laptop gaming dalam bekerja dan Zephyrus G14 (Ryzen 5) punya webcam, fix goodbye ThinkPad! ThinkPad dulu andalan, kok sekarang jadi begini?

BACA JUGA Mercedes-Benz C250 (W205) yang Paling Saya Benci: Sedan Mewah Rasa Toyota Soluna dan tulisan Christian Evan Chandra lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version