Malam itu, saya mendengarkan lagu via YouTube, awalnya saya pilih playlist yang berisi lagu lagu lawas kesukaan. Entah kenapa lama kelamaan, lagu-lagu lawas kesukaan saya itu mulai menghilang dan digantikan dengan lagu-lagu baru yang sebenarnya saya tidak tahu. Tapi, karena saya sedang asyik membaca buku, jadi saya biarkan saja lagu tersebut mengalun. Tanpa sengaja terdengar petikan gitar yang kalem dan sangat masuk dengan selera musik saya. Saat itu saya masih menikmati alunan gitar itu, hingga detik ke 26, “Astaghfirullah, lagu apa ini, Cuk!?” Sontak kata “bajingan” bikin saya kaget. Alamak lagu “Bertaut” seindah ini kenapa dibuka dengan kata kata kasar. Masih saja saya lanjutkan lagu itu sambil beristighfar, mengingat dosa dosa akan toksik yang pernah saya perbuat di masa lampau.
Akhirnya, dengan sengaja dan tidak berat hati, saya pencet tombol like di laman YouTube lagu “Bertaut” milik Nadin Amizah itu. Ya gimana lagi, lirik lagunya tertata dengan baik. Mungkin hanya kata “bajingan” yang saya tidak suka, tapi akan sangat tidak adil bila saya membenci lagu itu hanya karena mengandung kata-kata umpatan. Tidak dapat dimungkiri, lagu “Bertaut” sangat indah, saya nggak tau lagi mau berkomentar apa tentang keindahan aransemen lagu ini.
Tapi, saya kira, ini lagu tidak cocok dengan kehidupan saya . Memang maknanya sangat mendalam dan membuat orang orang terharu mendengar kisah kedekatan anak dengan ibunya ini. Namun, bagi saya ini tetaplah tidak cocok dengan kenyataan dalam hidup saya. Bukan karena saya tidak dekat dengan kedua orang tua, bukan juga karena orang tua saya sibuk hingga tidak sempat mendengar cerita saya.
Kalau tiba-tiba saya bilang, “Buk, dalem urip kok saestu keraos bajingan nggih?” Wo ya langsung automarah ibu saya, “Omong apa, Le? Jal dibaleni neh! Bocah kok omongane koyo ngono!” (Bilang apa kamu, Nak? Coba diulangi. Anak kok omongannya begitu!)
“Kula boten gadhah kanca Buk, kaya landak.” Langsung saja dijawab “Lha wong perilakumu ngono kuwi ya pantes raduwe kanca!” (Lha wong perilakumu saja begitu ya pantas nggak punya teman!)
“Buk, menawi dalem remuk, tetep wonten ingkang tresna.” Dengan tegas dijawabnya, “Sopo sing arep gemati karo bocah kaya kowe kuwi!” (Siapa orang yang bakal ngurusin orang kayak kamu ini!)
“Buk, sehat-sehat nggih, ampun kesel. Ibuk lak pingin nggendhong wayah ta?” (Buk, sehat-sehat ya, jangan lelah. Ibuk kan pengin nggendong cucu kan?)
Seketika emosinya menurun “Duh anakku sing bagus dhewe, dadi cah sing sholeh ya, Le, mbangun miturut marang wong tuwa, sekolah sing tenanan, gek ndang lulus, ngambut gawe,…” (Duh, anakku yang paling ganteng, jadi anak yang sholeh ya, Nak, nurut sama orang tua, sekolah yang bener, buruan lulus, kerja,…) dan berlanjut nasihatnya sampai panjang. Mungkin bagian ini adalah satu satunya yang terasa uwu meski tidak akan dibahas dalam lagu “Bertaut”.
Bagaimanapun dengan mendengarkan lagu “Bertaut” Nadin Amizah ini, saya merasakan sebuah kehangatan yang hadir di antara kedekatan seorang anak dan ibunya. Menurut saya pribadi, wadul atau sambat kepada orang tua bukan merupakan hal yang memalukan. Mengingat seorang anak yang baru beranjak dewasa seperti saya ini memerlukan nasihat dan petuah dari orang tua yang sudah memiliki banyak pengalaman semasa hidupnya.
Ya walaupun kadang saya sebal juga sih saat orang tua saya melontarkan kalimat, “Wis manut wae! Awakmu ki hurung tau tuo, saya wis tau enom!” (Udah nurut aja! Kamu ini belum pernah tua, saya sudah pernah muda.) Hahahaha. Meskipun demikian, seorang anak tetap harus berbakti kepada orang tua yang masih ada dengannya.
Saya pernah membayangkan bagaimana bila saya menjadi seorang bapak, kerja dari pagi sampai siang, belum lagi kalau ada urusan kantor yang mendadak, ditambah teman-teman kantor yang suka nyinyir sekaligus gibah. Belum lagi di rumah, melihat rumah berserakan karena anak kecilnya tidak membereskan mainan, beuhhh pasti kudu ekstra shobirin.
Buat teman teman pembaca semua, khususnya kawula muda yang masih mencari jati dirinya, jangan pernah lupa untuk sering berdiskusi dengan orang tua. Tidak harus bapak atau ibu, yang penting nyaman saja sih diajak diskusi. Jangan lupa juga berbakti, ingatlah perjuangannya dalam memperjuangkan dirimu. Setidaknya lagu “Bertaut” telah menghadirkan pemikiran-pemikiran ini dalam diri saya. Memaknai kembali bagaimana hubungan saya dengan orang tua.
BACA JUGA Nadin Amizah dan Twit-nya yang Sok Bela Kesenian dalam Negeri