Dulu saya belanja tuh simple banget. Liat baju lucu? Beli. Nemu sepatu diskon? Gas. Lapar? Ya makan di restoran yang lagi hits. Tidak ada beban, tidak ada pikiran macam-macam. Hidup santuy, dompet senang (eh, maksudnya yang senang toko). Tapi semenjak kuliah di jurusan Ekonomi Pembangunan, semuanya berubah.
Sekarang saya tidak bisa belanja dengan tenang lagi. Setiap kali ingin beli sesuatu, otak saya langsung auto-analisis seperti mengerjakan tugas kuliah. “Ini produknya dari mana? Dampak lingkungannya bagaimana? Ini konsumsi produktif atau konsumtif? Multiplier effect-nya apa?”
Serius, kuliah ini membuat saya jadi orang yang overthinking level dewa kalau urusan belanja.
Dulu kalau ke mall, saya bisa masuk toko baju dan keluar dengan kantong belanjaan penuh sambil senyum-senyum. Sekarang? Saya masuk toko, pegang baju, terus tiba-tiba otak saya kayak loading. “Tunggu, ini harganya murah banget. Pasti fast fashion. Berarti produksinya massal, kemungkinan besar pekerja pabriknya dibayar murah. Terus dampak lingkungannya gimana? Limbahnya dibuang ke mana?”
Gitu-gitu doang langsung bikin saya males beli. Padahal bajunya memang lucu.
Kuliah di Ekonomi Pembangunan mengajarkan saya mengenai rantai produksi, eksploitasi tenaga kerja, dan dampak industri tekstil terhadap lingkungan. Mata kuliah Ekonomi Sumber Daya dan Lingkungan bikin saya sadar kalau industri fashion itu salah satu kontributor polusi terbesar di dunia. Ada juga mata kuliah Ekonomi Ketenagakerjaan bikin saya mikir dua kali mengenai bagaimana nasib pekerja yang bikin baju seharga 50 ribu ini.
Alhasil, sekarang saya lebih sering beli baju di thrift shop atau tunggu sampai benar-benar butuh. Conscious consumption katanya. Tapi jujur kadang saya kangen masa-masa belanja tanpa beban pikiran kayak gini.
Makan di Restoran: “Multiplier Effect ke Ekonomi Lokal Berapa Ya?”
Tidak cuma belanja baju, makan di luar pun sekarang jadi ribet. Dulu saya memilih restoran cuma based on “makanannya enak tidak” dan “instagramable tidak.” Sekarang ada pertimbangan lain yang bikin saya seperti lagi evaluasi program pembangunan daerah.
Misalnya nih, teman saya mengajak makan di restoran franchise terkenal. Otomatis otak saya langsung mikir, “Ini franchise asing ya? Berarti keuntungannya sebagian besar balik ke luar negeri dong. Multiplier effect ke ekonomi lokal pasti lebih kecil dibanding makan di warung makan lokal.”
Terus saya jadi orang yang menyarankan, “Eh, mending kita makan di warteg sebelah aja deh. Uang kita langsung ke pemilik lokal, mereka beli bahan baku dari pasar tradisional, dampaknya ke ekonomi lokal lebih besar.”
Temen-teman saya cuma menatap saya dengan tatapan “ih sok pinter.” Tapi serius, ini efek dari kebanyakan belajar tentang multiplier effect dan local economic development. Saya jadi berpikir kemana uang saya mengalir dan dampaknya ke ekonomi sekitar.
Kadang saya merasa jadi orang yang lebay. Tapi disisi lain, saya juga merasa ini penting. Karena kalau semua orang berpikir seperti ini, ekonomi lokal bisa lebih berkembang. Kan lumayan, uang kita beredar di komunitas sendiri, bukan lari ke korporasi besar yang pemiliknya entah di mana.
Belanja Online: Antara Efisien dan Mematikan Toko Fisik
Belanja online sekarang makin gampang. Tinggal scroll, klik, bayar, tunggu. Praktis banget. Tapi sejak kuliah Ekonomi Pembangunan, saya jadi tidak bisa belanja online dengan perasaan damai. Setiap kali buka marketplace, saya langsung kepikiran, “Kalau saya terus-terusan belanja online, gimana nasib toko-toko di sekitar rumah? Pedagang kecil yang udah jualan puluhan tahun di pasar tradisional gimana?”
Mata kuliah Ekonomi Regional dan Perkotaan bikin saya paham kalau pergeseran dari toko fisik ke online itu punya dampak sosial ekonomi yang kompleks. Iya sih, e-commerce bisa efisien dan kasih harga murah. Tapi di sisi lain, ini juga menggerus lapangan kerja di sektor ritel tradisional dan mengubah lanskap ekonomi kota.
Saya jadi lebih sering mikir dua kali sebelum checkout “Ini bener-bener butuh atau cuma impulse buying? Apa bisa beli barang serupa di toko dekat rumah biar mereka tetap survive?”
Kadang saya kalau sering overthinking. Tapi kadang saya juga bersyukur karena kuliah ini bikin saya lebih aware. At least sekarang saya belanja dengan lebih mindful, tidak asal beli aja.
Kuliah Jurusan Ekonomi Pembangunan bikin saya dilema saat beli kopi kekinian
Ini yang paling sering bikin saya dilema. Saya suka banget kopi. Apalagi kopi kekinian yang ada di setiap sudut kota. Tapi sejak belajar tentang rantai nilai dan distribusi pendapatan dalam mata kuliah Ekonomi Pertanian, saya jadi tidak bisa minum kopi dengan tenang lagi.
Setiap kali beli kopi seharga 40-50 ribu, otak saya langsung protes, “Ini harga kopi segini, tapi petani kopinya dapat berapa sih? Kok rasanya mereka cuma dapat seuprit dari harga akhir?”
Terus saya mulai riset (dasar mahasiswa ekonomi, semua harus pake data). Ternyata memang bener, petani kopi kita sering dapet harga yang tidak adil. Middleman-nya banyak, margin keuntungan terbesar dinikmati sama retailer, sementara petani yang kerja keras cuma kebagian sedikit.
Sekarang saya lebih sering beli kopi dari brand yang transparan soal rantai pasokan mereka atau yang klaim pakai sistem fair trade. Meskipun saya juga skeptis, karena mata kuliah Ekonomi Pembangunan juga mengajarkan saya buat kritis sama label-label marketing seperti ini. Kadang itu cuma greenwashing atau social washing doang.
Ujung-ujungnya saya jadi orang yang ribet sendiri. Kadang mikir, “Ya udah lah, saya minum aja. Tidak usah dipikirin.” Tapi begitu udah minum, pikiran itu balik lagi. Lingkaran setan namanya.
Smartphone baru: ini butuh atau gengsi doang?
Yang paling parah adalah kalau saya mau ganti gadget. Dulu mah simple, “HP saya udah lemot, beli yang baru aja.” Sekarang prosesnya kayak bikin skripsi.
“Tunggu, HP saya masih bisa dipakai. Kalau saya beli HP baru, HP lama saya jadi e-waste. Limbah elektroniknya ngendap di tanah puluhan tahun. Terus produksi HP baru butuh rare earth materials yang pengolahannya merusak lingkungan.”
“Tapi kan ekonomi juga butuh konsumsi biar roda ekonomi tetep jalan. Aggregate demand harus terjaga biar tidak resesi.”
“Iya, tapi konsumsi berlebihan itu kan juga masalah. Sustainable development itu harus balance antara ekonomi, sosial, dan lingkungan.”
Gitu-gitu dalam kepala saya setiap kali mau beli barang elektronik. Ujung-ujungnya saya beli HP second atau refurbished aja biar tidak terlalu bersalah. Atau tahan sampai HP lama bener-bener tidak bisa dipakai lagi.
Dilema Mahasiswa Ekonomi Pembangunan: overthinking tapi aware
Jujur, kadang saya capek jadi orang yang overthinking seperti ini. Pengen rasanya balik ke zaman dulu yang belanja itu happy-happy aja tanpa mikirin dampak makroekonomi atau keberlanjutan lingkungan.
Tapi di sisi lain, saya juga bersyukur. Kuliah Ekonomi Pembangunan bikin saya lebih sadar soal pilihan konsumsi saya. Saya jadi paham kalau setiap rupiah yang saya keluarkan itu adalah “voting” buat jenis ekonomi yang saya dukung.
Mau ekonomi yang eksploitatif terhadap pekerja dan lingkungan? Atau ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan? Pilihan ada di tangan konsumen, termasuk saya.
Sekarang saya lebih sering nanya ke diri sendiri sebelum beli sesuatu: “Ini saya butuh atau cuma pengen? Kalau beli ini, dampaknya kemana? Ada alternatif yang lebih etis tidak?”
Mungkin buat orang lain ini kedengarannya ribet dan lebay. Tapi buat saya, ini cara saya berkontribusi meskipun kecil ke ekonomi yang lebih baik. Conscious consumption bukan cuma jargon, tapi praktik sehari-hari yang bisa dimulai dari hal sederhana kayak milih mau belanja di mana dan beli produk apa.
Jadi ya, kuliah Ekonomi Pembangunan emang bikin saya tidak bisa enjoy shopping lagi. Tapi setidaknya, sekarang saya belanja dengan lebih bertanggung jawab. Dan siapa tahu, kalau makin banyak orang yang aware kayak gini, perubahan sistemik yang lebih besar bisa terjadi.
Penulis: Alifia Putri Nur Rochmah
Editor: Rizky Prasetya
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
