K-Popers Militan, Golongan Pemuda yang Tersakiti Bangsa Sendiri

K-Popers Militan, Golongan Pemuda yang Tersakiti Bangsa Sendiri Terminal Mojok

Bagi pengguna aktif Twitter, nampaknya tagar menyangkut dunia hiburan Korea Selatan tak pernah absen setiap harinya. Entah berupa pujian dari para fans pada setiap nama yang disebutkan, atau bahkan saling melontarkan peluru antar fans militan.

Bagi kalangan awam, mungkin sebal melihat perilaku semacam ini. Ibarat kata, memangnya nggak ada hal lain yang bisa ditrendingkan selain idola mereka yang entah tahu kita hidup atau nggak? Sekadar memuji, hingga membuat thread keren berisi prestasi atau sekadar sesuatu yang biasa dilakukan orang lain, namun terlihat keren bagi kalangan para idol.

K-Wavers atau pecinta budaya Korea, hadir seiring budaya Hallyu dari Korea Selatan pecah ke berbagai penjuru dunia termasuk Indonesia. Namun, golongan di dalamnya yang paling dikenal adalah K-Popers alias pencinta musik Korea, khususnya musik para grup idola.

Dulu, K-Pop terkenal sejak generasi kedua seperti Super Junior yang membawakan lagu “Sorry, Sorry” muncul dan semakin meledak era “Gangnam Style” yang dinyanyikan Psy. Kini, bahkan dua idol group asal YG Entertainment dan Bighit Entertainment, BTS dan Blackpink, telah sampai di panggung hiburan Eropa dan Amerika.

Sejak budaya musik Korea populer, kabar di balik kehebatan industri hiburan negara tersebut khususnya dalam pembentukan grup idola bermunculan. Perjuangan yang tak mudah dengan kemampuan yang diasah bertahun lamanya memunculkan inspirasi dan alasan mengapa idola mereka dicintai penggemar.

Militan, begitu orang-orang mengenal penggemar K-Pop. Aksi perang penggemar alias fanwar demi nama baik grup idola mewarnai sepanjang sejarah dunia K-Pop tiada henti. Mengatasnamakan perjuangan masing-masing grup idola yang sebenarnya memiliki cerita sendiri.

Sebenarnya, sikap seperti ini wajar saja. Siapa juga yang tak tersentuh mengetahui perjuangan idola mereka yang berhasil mencapai titik kesuksesan dengan hasil kemampuan yang beragam. Bertahun-tahun berlatih, rela disayat tubuhnya demi memenuhi ekspektasi, dan ratusan audisi yang tak berhenti dicoba. Bukan lagi bicara soal fisik, namun juga kualitas dari karya yang dihasilkan industri hiburan Korea memang telah menarik mata dunia.

Negara kita sebenarnya tidak kekurangan hiburan. Mulai dari film-film berkualitas yang hadir setahun segelintir, hingga konten ala kadarnya sebagai bahan tertawaan, justru dinilai mudah untuk masuk dan populer di kalangan pencinta hiburan tanah air.

Para penggemar K-Pop yang disebut militan dan dianggap menyebalkan, barangkali justru merupakan orang-orang yang paling mengerti kebutuhan industri hiburan. Berada dalam industri hiburan paling ketat di dunia, para selebriti Korea Selatan harus tahan banting memenuhi keinginan khalayak dan terhindar dari skandal karena masih memegang teguh nilai-nilai norma. Bahkan, sekadar memberi tatapan sinis barang sedetik dua detik bisa jadi peluru bagi diri mereka sendiri.

Sebagai golongan yang memahami apa yang dikerjakan, didapatkan, hingga masa lalu yang menimpa para idola, saya rasa sikap ini yang harus dipertimbangkan mengapa K-Popers tak boleh diremehkan keberadaannya.

Mereka sudah punya bekal mencintai sampai titik darah penghabisan demi cita-cita sang idola. Kalau saja negara bisa mengarahkan dengan tepat, sebagai pemuda Indonesia, para K-Popers militan mungkin bisa menjelma jadi orang-orang semacam Bung Hatta, Sutan Sjahrir, bahkan Kapten Tendean yang diketahui mendermakan hidup dan matinya bagi negara ini.

Bukankah Bung Karno pernah berkata, sepuluh pemuda saja bisa mengguncang dunia? Bayangkan, jika para K-popers yang menjelma menjadi pemuda pembela tanah air diturunkan ke medan perang media digital yang semakin pesat, akan seperti apa kuatnya Indonesia?

Jadi menurut saya, baik pemerintah maupun pihak-pihak industri hiburan yang katanya kehilangan penontonnya, harus mau belajar mengenai letak kealpaan mereka. Barangkali para K-Popers bersikap demikian karena merasa dikhianati oleh negara yang berkorporasi dengan pengusaha. Mementingkan pundi materi dibanding konten berkualitas secara masif, yang sering ditampilkan justru hal absurd tak ada poin inti. Mungkin juga konten serupa yang hanya dikemas dengan sampul berbeda.

Belum lagi pengusaha yang demi keuntungan semata meninggalkan poin pendidikan pada dunia hiburan hanya demi keuntungan semata karena berhasil viral. Padahal, industri ini nyatanya memiliki pengaruh paling besar dalam tatanan kehidupan dan nilai sosial masyarakat.

Semoga saja sesegera mungkin pemerintah dan pengusaha mau lebih rendah hati sambil berpikir bagaimana caranya mengembalikan mata pemudanya. Agar para pemuda menjadi pilar bangsa besar yang mandiri dan mencintai harta yang dimiliki sendiri.

Dibandingkan sibuk mencemooh para K-Popers, pemerintah dan pegiat seni seharusnya mulai bahu-membahu mengambil kembali minat anak muda pada karya bangsanya sendiri.

BACA JUGA Sosok K-Popers Lebih Realistis dalam Drama-drama Ini Ketimbang Sinetron Indosiar.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version