Benang Kusut Kompetisi Hibah Riset dari Pemerintah: Proses Seleksi Kurang Transparan hingga Tanggung Jawab Pemenang yang Terlalu Ribet

Benang Kusut Kompetisi Hibah Riset dari Pemerintah: Proses Seleksi Kurang Transparan hingga Tanggung Jawab Pemenang yang Terlalu Ribet Mojok.co

Benang Kusut Kompetisi Hibah Riset dari Pemerintah: Proses Seleksi Kurang Transparan hingga Tanggung Jawab Pemenang yang Terlalu Ribet (unsplash.com)

Dosen didorong melahirkan penelitian berkualitas, tapi kompetisi hibah riset dari pemerintah kurang transparan dan ribet.

Menjadi dosen di Indonesia harus punya segudang akal. Bukan hanya soal keilmuannya, tapi juga harus punya banyak siasat untuk memutar roda kehidupannya. Riset Tempo menunjukkan rata-rata gaji pokok dosen di Indonesia di angka Rp4,23 juta, terendah se-Asia Pasifik. Penghasilan segitu, bikin dosen mau nggak mau harus cari alternatif lain di luar gaji pokok. Itu mengapa, lumrah kita lihat dosen merambah pekerjaan sampingan. Dari konten kreator hingga narik ojek online (ojol) semua dilibas yang penting dapurnya tetap ngebul.

Sebenarnya, di luar gaji pokok masih terdapat komponen take home pay lainnya. Kalau dosen ASN, bisa mendapat tambahan dari tunjangan kinerja. Untuk dosen Perguruan Tinggi Swasta (PTS), tunjangan sangat tergantung pada kebijakan kampus masing-masing. Bagi dosen PTS di kampus bonafide, pendapatannya bisa mengalahkan dosen ASN. Sayangnya, jumlah PTS yang bonafide hanya segelintir saja. Selain itu, bagi dosen yang sudah lulus sertifikasi, juga berhak dapat tunjangan sertifikasi. Pun demikian, dari berbagai komponen pendapatan tersebut, tetap aja jumlahnya masih kalah dibanding negara-negara tetangga.

Lho, emang kerjaan dosen cuma ngajar? Kan harusnya juga penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (PkM)? Bahkan Wamen Kemdiktisaintek  Prof. Stella bilang, kalau aktivitas utama dosen ya harusnya riset, baru lain-lainnya. Tiap tahunnya juga ada kompetisi hibah riset dari pemerintah kan? Iya sih, namun bersamaan itu pula timbul persoalan lain mulai dari mekanisme, anggaran, sampai persoalan paradigma pengelolaan riset. Tapi, terlepas dari seluruh problemnya, tetap aja peminat hibah ini buanyak banget tiap tahunnya. 

Data dari DPPM Kemdiktisaintek memperkirakan, di tahun ini ada lebih dari 50 ribu usulan hanya untuk skema hibah penelitian dan PkM saja, itu belum termasuk jenis hibah lainnya. Padahal, anggaran riset Indonesia hanya 0,2 persen dari PDB, kalah besar dibandingkan Malaysia (1,15 persen), Singapura (1,98 persen), apalagi Tiongkok (2,08 persen). Jadilah para dosen Indonesia ini berebut remah-remah potongan kue yang sudah terlanjur kecil itu.

Tanggung jawab periset terlalu ribet, dari jurnal ilmiah hingga nasi padang 

Perasaan harap-harap cemas seketika berubah menjadi gembira manakala nama si dosen pengusul muncul dalam daftar penerima hibah riset. Namun, dalam hitungan bulan rasa gembira tadi sering kali memudar dan berubah menjadi pusing, mumet, syukur-syukur nggak kena mental. Setelah dana riset diterima oleh dosen, maka dia pun mulai dibebani tanggung jawab. Celakanya, tanggung jawab yang harus ditunaikan nggak tanggung-tanggung. 

Asal tahu saja, periset (dalam hal ini dosen) diwajibkan memenuhi luaran hasil penelitian yang telah ditetapkan, umumnya sih publikasi artikel di jurnal ilmiah, meskipun ada variasi lain kayak buku, prototipe, sampai produk. Nggak cuma itu, si dosen juga wajib bikin catatan harian, plus laporan ditambah menghadiri proses monitoring dan evaluasi (Monev). 

Eits, belum cukup sampai disitu, gongnya adalah tanggung jawab aliran dana. Benar-benar seperti pejabat yang sedang diincar KPK. Agak hiperbola sih perbandingan saya ini, tapi jujur saja, para dosen cukup deg-degan terkait ini sebab bisa berdampak pada reputasi akademiknya kelak. 

Itu mengapa, semakin berjubel tugas dosen. Tanggung jawab periset tidak hanya sebatas melakukan penelitian, tapi juga bikin laporan hingga ngumpulin faktur mulai dari BBM, tinta printer, hingga nasi padang. Dan, ingat, itu semua belum tanggung jawab mengajar dan administrasi lainnya. Memang sih, hibah ini dirancang dalam bentuk tim sehingga dosen bisa berbagi tugas. Tapi tetap aja, dengan volume pekerjaan dan tenggat waktu yang ada, dosen harus berjibaku menjalankan perannya.

Urusan kualitas riset? Tanpa mengerdilkan kemampuan dosen kita, dengan kondisi yang seperti di atas, secara intuitif bisa diperkirakan kualitasnya sulit bersaing di kancah global. Ini tercermin dari data kok. Scimago Lab mencatat, Indonesia berada di urutan ke-61 dari 239 negara dengan jumlah publikasi karya ilmiah terbanyak. Ini masih kalah jauh dari negara tetangga kayak Malaysia yang menempati urutan ke-37 dan Thailand di peringkat ke-43. Nobel Prize? Kayaknya masih jadi mimpi di siang bolong.

Meningkatkan kualitas riset Indonesia melalui manajemen kompetisi hibah yang berkualitas

Tentu para dosen mengapresiasi niat dan effort yang sudah dilakukan pemerintah selama ini. Tapi tidak dimungkiri, perlu ada perbaikan dan peningkatan yang nyata dalam manajemen kompetisi hibah riset pemerintah. Dari proses seleksi usulan misalnya, perlu akuntabilitas yang benar-benar diejawantahkan. Saat ini, para dosen pengusul masih banyak yang kebingungan, “Kenapa ya usulanku ditolak?” Tidak ada feedback layak yang bisa jadi bahan refleksi untuk dosen memperbaiki kualitas proposalnya. 

Feedback yang layak diperlukan sebab sering terjadi, pengusul merasa kualitas usulan yang menang lebih buruk daripada yang kalah. Ini perlu perbaikan sistem segera, supaya kompetisi yang tercipta jadi lebih keren. Jangan ragu-ragu juga menggunakan teknologi kayak AI untuk mengasistensi seleksi usulan, dalam rangka mengurangi subjektivitas dan human error. Seperti quote andalannya Mas Wapres, “Manusia yang gak menggunakan AI akan tergantikan oleh bla.. bla.. bla..” ya gitu lah pokoknya.

Sebetulnya kalau mau digali lebih mendasar, problem riset di negara ini terletak pada cara pandang terhadap riset itu sendiri. Di Indonesia, riset masih diperlakukan mirip kayak orang jualan: harus menghasilkan sesuatu dalam waktu segera. Padahal riset sejatinya adalah upaya untuk menembus batas-batas keilmuan yang telah eksis. 

Jadi, untuk mendorong riset yang berkualitas, singkirkan dahulu batas-batas di luar keilmuan: batas pendanaan (mungkin agak utopis tapi perlu dipikirin), batas waktu (ini masih cukup realistis), dan batas administratif (harus!). Tidak tepat memperlakukan riset dalam kerangka annual report. Salah kaprah jika menjustifikasi keberhasilan riset hanya berdasarkan waktu, output, dan biaya semata. Ini justru langkah awal memadamkan hulu ledak intelektualitas para periset untuk mengeksplorasi ilmu yang mungkin belum pernah dicapai sebelumnya. Karena diskursus ini dalam level paradigmatik. maka perlu kesadaran dan komitmen pimpinan tertinggi untuk mewujudkannya.

Saya yang nggak ikutan kompetisi hibah riset karena lagi studi lanjut cuma bisa cengar-cengir melihat teman-teman lain. Tapi, pengalaman sembilan tahun jadi dosen, dan secara de facto pernah terlibat jadi tim hibah riset, menjadikan benak saya penuh sesak unek-unek seperti yang saya utarakan tadi. Semoga para dosen di Indonesia tetap setia menekuni riset yang diharapkan juga bermuara pada kesejahteraannya.

Penulis: Puja Rizqy Ramadhan
Editor: Kenia Intan

BACA JUGA UNNES Kampus 1000 Ospek, Maba Bersiaplah Menghadapi Ospek yang Banyak dan Nggak Ada Isinya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version