Kita Tidak Takut dengan Grup Pencak Silat, Kita Hanya Takut pada Jumlah

Kita Tidak Takut dengan Grup Pencak Silat, Kita Hanya Takut pada Jumlah

Kita Tidak Takut dengan Grup Pencak Silat, Kita Hanya Takut pada Jumlah (Pixabay.com)

Meski geger perguruan pencak silat sudah menyusut dan berangsur menghilang, tapi saya belum menemukan poin penting yang harusnya dibicarakan banyak orang: ketakutan terhadap jumlah.

Sebenarnya banyak yang sudah ngomong perkara ini. Entah dalam bentuk “mereka beraninya keroyokan”, atau “pendekar kok ora by one”, dan semacamnya. Tapi pembicaraannya masih menyasar pada satu entitas, belum menyentuh poin pentingnya.

Saya tidak sedang membela grup pencak silat, saya juga tidak menjelek-jelekkan mereka. Nggak ada untungnya juga buat saya. Tapi saya perlu bilang ini: grup pencak silat itu nggak ada bedanya dengan ormas yang kerap bermasalah, grup, atau bahkan geng sekolah, semuanya gemar tawuran. Kenapa mereka gemar tawuran, karena kita semua takut dengan jumlah.

Menang karena jumlah

Kita, bahkan pihak yang berwenang pun, memilih untuk mengalah dan tak memperjuangkan hal-hal yang benar hanya karena terintimidasi oleh jumlah. Dan orang-orang brengsek yang kebetulan masuk grup mana pun yang mengandalkan jumlah, memanfaatkan itu dengan begitu “baik”.

Orang tersebut bisa saja petantang-petenteng, mengintimidasi sipil lainnya, untuk kepentingan mereka. Mereka tahu bahwa tak akan ada konsekuensi dari aksi mereka, sebab mereka menakuti dengan jumlah. Diperparah pada saat-saat tertentu, grup-grup itu menunjukkan kekuatan mereka. Saya tak bicara spesifik grup pencak silat, semua yang mengandalkan jumlah, suka betul showing off their force. Lagi pula, tidak ada perguruan pencak silat yang mengajarkan muridnya petantang-petenteng. 

Masalahnya sebenarnya terlihat simpel, tapi di saat yang bersamaan, juga kompleks. Tentu saja pihak yang berwenang bisa saja memberikan hukuman sesuai aturan yang berlaku. Tapi efeknya tak sesederhana itu.

Alih-alih teratur, justru mereka melawan balik dengan menekan lewat jumlah. Dan yang terjadi selanjutnya, musyawarah. Saya tak bilang itu buruk, tapi akhirnya hal tersebut di-abuse. Jadinya lingkaran setan seperti ini:

Bikin masalah-diingatkan-diserang lewat jumlah-dibiarkan, berulang-ulang terus.

Baca halaman selanjutnya

Akar ketakutan yang sebenarnya

Akar ketakutan

Kita tahu akar masalahnya di mana: ketakutan. Ketakutan, bikin kita enggan berurusan. Dan ketakutan, bikin kita memilih untuk melewati banyak urusan-urusan yang harusnya dijalankan agar kebenaran tegak. Orang-orang yang oportunis, melihat ini sebagai alat yang sakti untuk mewujudkan keinginan mereka.

Kekuatan dalam bentuk jumlah, pada momen tertentu, mengubah dunia ini ke arah yang baik. Sejarah pengorganisasian buruh membuat upah kita meningkat ke arah yang jauh lebih baik. Massa yang menuntut keadilan berhasil menumbangkan diktator di belahan dunia lain. Kita paham betul, massa yang satu suara akan pergantian kekuasaan jadi salah satu andil terjadinya Reformasi 98.

Tapi yang kita lihat sekarang, justru sebaliknya. Kekuatan jumlah dipakai untuk menindas. Ada yang memakainya untuk membungkam suara, ada yang memakainya untuk memperkaya diri. Jadi ketika kita memaki grup pencak silat, ada baiknya kita mentas sebentar dari kolam.

Benar memang grup pencak silat yang trending tersebut kerap jadi headline berita karena tawuran. Tapi, apakah hanya mereka yang punya jejak kelam seperti itu? Jawabannya tentu saja tidak.

Grup pencak silat atau bukan, kita takut terhadap jumlah

Jadi kita bisa sepakat akan satu hal ini, bahwa yang kita takuti adalah jumlah. Jika hal ini tetap dibiarkan, akan ada konflik baru yang diciptakan oleh grup-grup yang tahu jumlah mereka akan bikin mereka tak perlu mendapat konsekuensi. Bisa jadi grup pencak silat, bisa jadi ormas, geng sekolah, atau malah kumpulan bapak-bapak RT gabut. Selama jumlah menang, hukum tak akan sudi menyentuh mereka.

Tapi, jangan tanya bagaimana cara agar ini berakhir. Saya sendiri pun masuk golongan yang ketakutan dengan mereka-mereka. Yang harusnya tak takut dan tak boleh takut adalah pemerintah. Merekalah yang harusnya segera menyelesaikan ini.

Sayangnya, matahari masih belum terlihat menampakkan sinarnya. Sepertinya, masa kelam ini masih akan menggelayut manja di langit kita.

Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Jago Silat Kagak, Jago Cari Musuh Iya. Kayak Gitu Pendekar?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version