Keratabasa, Perkedel, dan Pentingnya Tidak Buru-buru Share Tanpa Memeriksa Ulang

Keratabasa, Perkedel, dan Pentingnya Tidak Buru-buru Share Tanpa Memeriksa Ulang

Keratabasa, Perkedel, dan Pentingnya Tidak Buru-buru Share Tanpa Memeriksa Ulang (Pixabay.com)

Keratabasa makanan yang beredar ini mulai jadi hal lucu sekaligus ironis: bagaimana bisa orang membagikan sesuatu tanpa dicek terlebih dahulu?

Gara-gara ramai perkara kemiri adalah hazelnut yang tempo hari sempat mencuat—seperti yang sempat saya tulis di sini—ingatan kemudian membawa saya balik ke broadcast guyonan beberapa tahun lalu tentang kepanjangan-kepanjangan dari nama-nama makanan.

Celakanya, entah bagaimana bercandaan itu kemudian diperlakukan bak informasi sahih dan terus disebarluaskan. Hingga kini, kadang ada saja cuitan di Twitter, atau konten-konten di media sosial lain, yang menyerukan keterkejutan bahwa, waw, ternyata perkedel adalah singkatan dari persatuan kentang dan telur!

Keratabasa

Perkedel tentu hanya satu dari sekian banyak makanan, atau frasa secara umum, yang menjadi korban keratabasa. Keratabasa, atau dalam bahasa Inggris disebut backronym. Mengutip Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), diartikan sebagai “perihal menerangkan arti kata dengan memperlakukannya sebagai singkatan, biasanya untuk lelucon”.

Pada pengertian kedua, KBBI merekam bahwa secara singkat, keratabasa adalah “etimologi rakyat”, atau dengan kata lain, cocoklogi.

Tidak hanya dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, bahasa daerah seperti bahasa Jawa dan Sunda juga mengenal istilah yang sepadan dengan keratabasa. Masing-masing menyebutnya jarwa dhosok dan kiratabasa. Sehingga, akronim lucu-lucuan ini sebenarnya bukan sesuatu yang baru dan asing di tiap kebudayaan.

Hanya saja, entah bagaimana, antara informasi terkait terdengar sangat meyakinkan atau sang pendengar lupa untuk skeptis. Jadilah sesuatu yang mulanya guyonan ini justru dibagikan dan dipercaya sebagai sesuatu yang benar.

Baca halaman selanjutnya

Asal usul perkedel

Asal usul perkedel

Keberadaan perkedel diyakini merupakan adaptasi dari frikandel, panganan asal Belanda yang merupakan turunan dari frikadelle, olahan daging dari Jerman dan/atau negara-negara Skandinavia.

Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda membawa pengaruh kuliner mereka. Termasuk hidangan frikandel yang terbuat dari daging giling yang dicampur dengan berbagai bahan kemudian digoreng. Seiring berjalannya waktu, konsep tadi diadaptasi menggunakan bahan-bahan yang lebih mudah ditemukan, seperti kentang. Kentang sendiri juga diperkenalkan ke Indonesia oleh Belanda pada masa penjajahan, sekitar tahun 1795.

Dari situlah, kemudian menu ini berevolusi menjadi perkedel yang umum dikenal. Jauh berbeda dengan frikandel yang kini ada di Belanda karena sekitar pascaperang dunia kedua, frikandel berevolusi menjadi bentuknya terkini yang memanjang seperti sosis, tidak lagi mirip seperti patty selayaknya frikadelle dan perkedel.

Pengucapan dan ejaan “frikadel” kemudian dilokalisasi dan menghasilkan nama “perkedel” atau beberapa juga menyebut “bergedel”. Perkedel sendiri kemudian yang dicatat sebagai bentuk baku penyebutan makanan ini oleh KBBI.

Akan tetapi, apa yang saya tulis di atas pun juga merupakan konklusi sementara saya sendiri dari merangkai berbagai literatur nonpopuler yang ada sejauh ini. Sebab, seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, catatan resmi sejarahnya sukar atau bahkan mungkin memang belum dilakukan pencatatan.

Makanan yang resepnya telah diturunkan dari generasi ke generasi seperti perkedel ini umumnya memang sulit untuk dilakukan pelacakan. Berbeda dengan makanan yang jauh lebih baru, seperti ayam geprek.

Sejarah suatu kuliner dapat memiliki variasi interpretasi. Banyak perspektif yang perlu dipertimbangkan, di samping keterbatasan bukti yang tersedia. Namun satu yang pasti, namanya tidak lahir dari singkatan persatuan kentang dan telur. Justru, kepanjangan tersebut ada setelah nama perkedel lama dikenal.

Bagaimana dengan cuanki, putu, dan makanan lainnya?

Saya yakin, begitu pula terhadap informasi kepanjangan nama-nama makanan lain—terutama yang telah diturunkan dari generasi ke generasi—seyogianya, tidak buru-buru diyakini sebagai kebenaran. Benarkah etimologinya demikian?

***

Tentu sebagai bercandaan sudah cukup lucu—eh, mungkin? Yah lumayan, lah, untuk membuka percakapan dengan orang. Akan tetapi untuk dianggap sebagai hal yang benar dan disebarkan ulang tanpa keterangan kalau itu guyonan, saya rasa sudah memenuhi definisi misinformasi. Ya, biarpun mungkin terasa sepele karena hanya nama makanan.

Penulis: Annisa Rakhmadini
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Google Translate Bisa Menerjemahkan Teks hingga Foto, Begini Caranya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version