Gue coba searching di Google yang maha tahu dengan keyword ‘polisi tidur’. Lalu muncul sebuah pengertian bahwa polisi tidur adalah alat pembatas kecepatan atau markah kejut yang merupakan bagian jalan yang ditinggikan berupa tambahan aspal atau semen yang dipasang melintang di jalan untuk pertanda memperlambat laju/kecepatan kendaraan. Ada pun menurut kitab kebanggaan mahasiswa dan pelajar di Indonesia KBBI, arti dari polisi tidur adalah cakapan (tidak baku) bagian permukaan jalan yang ditinggikan secara melintang untuk menghambat laju kendaraan.
Adapun dari sisi sejarahnya, ternyata istilah ‘polisi tidur’ alias poldur ini berasal dari Inggris yaitu sleeping policeman. Ungkapan poldur sendiri sudah dikenal di Indonesia sejak tahun 1984 atau tepatnya 35 tahun silam. Kemudian idiom ‘polisi tidur’ ini dimasukkan dalam KBBI di tahun yang sama oleh Abdul Chaer dan baru diakui pada tahun 2001 dalam KBBI edisi ketiga.
Ide untuk menulis tentang ‘polisi tidur’ ini sebenarnya berangkat dari uneg-uneg gue yang dibikin kesal dengan adanya benda aneh itu. Paling tidak menurut gue polisi tidur itu unfaedah. Bagaimana nggak kesal? Gue pernah jatuh dari motor gara-gara melintasi poldur yang licin terkena air hujan. Bekas lukanya sampai sekarang masih ada di kaki gue. Sebel banget deh kalo ingat kejadiannya.
Gue yang nggak paham daerah menuju Margonda-Depok melewati jalanan yang bukan jalan raya, tapi cukup ramai kendaraan yang melintasinya. Gue pikir aman saja di sana. Layaknya jalanan umum biasa, gue pun ngegas agak cepat salip sana, salip sini. Berhubung dikejar waktu untuk mengajar privat pertama kalinya.
Malam itu gerimis, jadi jalanan basah. Saat motor matic gue melaju untuk mendahului motor di depan dengan ambil jalur kanan, tiba-tiba ban depan gue nabrak ‘gundukan misterius’ yang melintang di tengah jalan. Gue rem banting kiri dan ban terjadi slip. Gubraaaaaak! Jatuhlah gue di tengah jalan. Untungnya semua kendaraan segera melambat. Pas gue tengok ke belakang, ternyata si makhluk ‘polisi tidur’ itu penyebabnya.
Gue pun dibantu oleh beberapa warga yang peduli di sana. Celana gue bagian dengkulnya robek, dan kaki tangan gue lecet-lecet. Aduh perihnya, Gan—pake banget. Tapi malam itu gue masih bisa bangun, dan melanjutkan jalan. Meskipun harus menanggung beban malunya itu loh. hehehe
Sejak saat itulah otak kritis gue bertanya-tanya, kenapa sih mesti ada ‘polisi tidur’ di muka bumi ini? Tidak cukupkah hanya dengan ‘polisi bangun’ saja? Atau polisi lalu lintas (polantas) saja? Kan sama-sama mengejutkannya! hahaha—khususnya bagi yang suka pakai helm, hanya ketika ada polisi saja. Padahal kan helm buat keamanan, ya? Atau yang nggak punya SIM, kalau lihat rompi polisi dari jauh sudah deg-degan—padahal hanya tukang parkir. uwuwu~
Gue sih oke saja kalau poldur itu ada di zona sekolah, sebab banyak siswa-siswi yang lalu lalang di sana. Maka dari itu poldur sangat dibutuhkan untuk memudahkan penyebrangan atau menghambat laju kendaraan. Intinya demi keamanan dan mengurangi resiko kecelakaan di daerah tersebut.
Tapi, terkadang poldur itu dipasang oleh orang secara suka-suka. Seperti di komplek-komplek, di gang-gang kecil, bahkan di pengkolan jarak 1-2 meter. Pernah gue jumpai ada juga yang pertigaan atau perempatan semuanya dikasih si poldur ketjeh itu. Greget sekali.
Tipe poldur ini juga macam-macam, ada yang tingginya standar, ada yang menjulang sampai nyerempet bawahan motor matic yang mungil, ada juga yang berlapis-lapis sampai bikin perut siapa saja yang melintasinya dangdutan. Kadang ada juga yang pasang poldur di posisi yang tidak ada penerangan ketika malam. Minimal cat putih untuk penanda gitu loh!
Efeknya kan bahaya—bukannya tujuan polisi tidur itu untuk keamanan lingkungan? Tapi kok malah berpotensi mencelakai orang? Paling tidak contoh korbannya gue. Mungkin ada korban lain, selain gue. Gue nggak tahu, namun yang pasti sepertinya regulasi poldur ini perlu diperjelas oleh pemerintah terkait si poldur ini. Supaya penggunaannya benar-benar tepat guna dan tepat sasaran.
Sudah dulu ah! Gue berharap ada kebijakan yang benar-benar pas tentang ‘polisi tidur’ ini. Agar damai dan sentosa negeri jalanan kita. Salam satu aspal!