Sebelum berangkat ke kota pelajar, selain mengingatkan untuk menjaga salat dan berhati-hati pada tipu daya wanita, orang tua saya juga nggak henti-hentinya mengingatkan agar waspada di Terminal Purabaya, atau yang lebih dikenal sebagai Terminal Bungurasih oleh orang Madura. Tak hanya orang tua yang mengingatkan agar selalu waspada di Terminal Purabaya, kerabat saya yang sudah punya pengalaman keluar Pulau Madura juga tak absen mengingatkan.
Waktu itu sebagai orang yang belum berpengalaman, saya cukup penasaran dan waswas. Segala kemungkinan terlintas di kepala saya. Maklum, kala itu perjalanan Madura-Jogja adalah perjalanan terjauh pertama saya.
Dalam tulisan saya bulan lalu di Terminal Mojok, saya sempat menyinggung bagaimana kerja calo dan porter di Terminal Purabaya yang benar-benar membuat kesabaran saya diuji. Bukan karena kesabaran saya yang setipis tisu, melainkan karena tingkah mereka yang kayak asu.
Makanya dengan sepenuh hati saya mencoba menuliskan pengalaman pahit saya. Berharap hal serupa nggak terjadi juga pada kalian yang mungkin suatu saat nanti ditakdirkan singgah di sana.
Daftar Isi
Bersikap bodo amat di Terminal Purabaya itu perlu
Kalau di tulisan sebelumnya saya harus mempraktikkan gerakan mohon maaf lahir batin untuk menghargai penjual asongan ketika di dalam bus, maka pengecualian untuk calo dan porter yang ada di Terminal Purabaya. Saya malah lebih memilih bodo amat. Dan seharusnya kalian juga seperti itu.
Lha, katanya setiap manusia mempunyai perasaan dan harus dihargai? Iya, saya tahu, tapi khusus untuk calo dan porter di terminal, menurut saya nggak perlu. Karena kalau kalian sampai menanggapi mereka, besar kemungkinan kalian akan teperdaya.
Soalnya saya perhatikan—setelah agak sering ke sana— calo dan porter di Terminal Purabaya cukup pintar membaca gerak-gerik calon korbannya. Jadi, kalau nanti kalian bersikap bodo amat, mereka biasanya nggak terlalu memaksa karena menganggap kalian sudah tahu cara main mereka. Tapi kalau kalian memasang tampang polos, celingak-celinguk kebingungan, siap-siap jadi sasaran empuk mereka. Ya kayak saya ini! Ingat, jangan pernah peduli dengan basa-basi mereka karena itu hanyalah perangkap!
Baca halaman selanjutnya
Jangan baper, pokoknya jangan!
Jangan baper dulu
Jika boleh memperkenalkan secuil tentang sifat saya, saya ini termasuk orang yang nggak tegaan, gampang terenyuh, selalu baper ketika melihat orang yang memelas seperti porter di Terminal Purabya. Meski saya sudah menyetel diri untuk bersikap bodo amat, yang namanya hari apes siapa yang tahu. Saya lupa untuk menonaktifkan mode baper dalam diri saya.
Benar saja saya mulai terkecoh dan merasa kasihan dengan seorang porter yang sejak saya menginjakkan kaki pertama di lantai ruang tunggu terminal, dia sudah melancarkan tipu muslihatnya. Lantaran saya terus-terusan diikuti dan dicecar dengan pertanyaan yang sama—tentu dengan tampangnya yang memelas dan seakan peduli dengan saya—akhirnya saya luluh juga. Bayangkan, hampir sejam dia mencecar saya di ruang tunggu. Ibarat setan, dia sudah sukses menggoyahkan keimanan. Dasar setan!
Jangan pernah percaya siapa pun
Kalian tahu kelanjutannya? Ya, pada akhirnya saya pun menyerahkan barang yang sebenarnya mampu saya bawa sendiri. Apalagi saat itu jarak ke tempat bus sudah sangat dekat. Mau bagaimana lagi, saya sudah telanjur luluh.
Sebentar saja saya sudah sampai di tempat bus karena jaraknya memang sangat dekat. Sialnya, saya langsung terkejut ketika si porter minta upah Rp20 ribu yang sejujurnya bagi saya itu kemahalan. Lha, wong jaraknya memang dekat banget, ditambah barang saya nggak terlalu berat. Agak lama kami bersitegang, saya merasa kena tipu dan dia merasa sudah dirugikan. Pada akhirnya saya juga yang harus mengalah.
Nggak cukup di situ, belum usai rasa kesal saya, saya kembali kena tipu sama orang yang saya kira kondektur karena pakaiannya sama persis dan meyakinkan, yang sebelumnya dengan lugas menawarkan diri untuk mengantarkan saya ke bus tarif biasa atau ekonomi. Saya tersadar kalau sudah kena tipu saat sampai di dalam bus. Sebab, bus yang saya tumpangi lebih bagus ketimbang bus ekonomi lainnya. Dan betul saja, saya bertanya kepada penumpang lain dan ternyata bus yang saya naiki adalah bus patas.
Sekuat tenaga saya menahan kesumat, namun saya sadar bukan saatnya melayani amarah ini. Saya harus cepat-cepat turun karena kalau busnya keburu berangkat, hidup saya malam itu bakal kacau. Memang sama-sama bus, tapi kan kalau bus patas tarifnya lebih mahal. Sementara saat itu, saya cuma bawa uang pas-pasan.
Sejak saat itu kisah orang-orang yang kena tipu di Terminal Purabaya saya ketahui kebenarannya, dan bahkan saya jadi korban. Tapi semoga saja hal apes yang terjadi pada saya nggak menimpa kalian ya. Sejujurnya, Terminal Purabaya sudah sukses menciptakan memori buruk dalam kepala saya.
Penulis: Faris Al Farisi
Editor: Intan Ekapratiwi