Iseng Ikut Kelas Menulis Terminal Mojok, TernyataLebih Berbobot daripada Mata Kuliah di Kampus

Iseng Ikut Kelas Menulis Terminal Mojok, TernyataLebih Berbobot daripada Mata Kuliah di Kampus Mojok.co

Iseng Ikut Kelas Menulis Terminal Mojok, TernyataLebih Berbobot daripada Mata Kuliah di Kampus (Dok: UNAIR)

Minggu lalu saya berkesempatan ikut acara yang digelar Terminal Mojok. Acara yang berlangsung secara luring di FIB UNAIR itu berjudul Parkir di Terminal: Buka-bukaan Dapur Redaksi Mojok dan Strategi Tembus Media Nasional. Bayangkan, di saat beberapa influencer jualan kelas, Mojok malah memberi kesempatan mahasiswa buat ikut acaranya secara gratis. Coba nikmat mana yang kau dustakan.

Awalnya, saya dapat info ini dari grup sisa-sisa jamaah yang sempat ikutan kelas Terminal Mojok secara daring. Mumpung nggak ada jadwal kuliah dan kerja, jadi ikutan aja. Selain ingin tahu mewahnya kampus tetangga, motivasi saya datang ke sini juga didasari pada minat yang sama. Lumayanlah buat menambah ilmu kepenulisan.

Singkat cerita, para redaktur Mojok memberi materi layaknya seminar umumnya. Tapi, di tengah kegiatan, saya menyadari satu hal. Ternyata, acara ini jauh lebih berbobot daripada mata kuliah penulisan kreatif yang pernah saya dapatkan di kampus. Mengapa bisa begitu?

Materi kelas menulis Terminal Mojok “daging” semua

Materi yang disampaikan redaktur Mojok “daging” semua alias bermanfaat semua. Bahkan, kalau ada kata yang menggambarkan lebih dari “daging”, saya akan menggunakannya. Para redaktur menjelaskan konten-konten yang cocok untuk Terminal mojok, alasan paling umum tulisan bisa ditolak, struktur tulisan, hingga menyusun tema menarik. Semua dibahas.
Peserta yang hadir bak diberi kata sandi untuk menembus ketatnya redaksi Terminal Mojok. Intinya, para redaktur menjelaskan bahwa tulisan yang baik adalah yang sesuai dengan karepe atau keinginan redaksi. 

Lantas, apa aja sih karepe redaksi? Selain poin-poin teknis yang sudah tertuang di ketentuan pengiriman artikel Terminal, pengirim perlu memperhatikan karakter media. Tulisan yang serius dan berat mungkin lebih cocok untuk kolom opini Kompas atau Tempo. Sementara di Terminal, redaktur lebih mencari tulisan-tulisan yang unik dan dekat keseharian. Itu sesuai dengan tagline Mojok sekarang ini “Suara Orang Biasa”.  

Ironisnya, materi dasar seperti itu tidak saya dapatkan di perkuliahan. Di mata kuliah penulisan kreatif, saya justru mendapat ceramah filsafat tentang teori-teori sastra. Bagaimana kita harus menciptakan sebuah tulisan yang sesuai dengan teori tertentu dan dikaitkan dengan SDGs. Ini akan masuk akal apabila nama mata kuliahnya penulisan ilmiah. Masalahnya, penulisan kreatif tidak seharusnya sekaku itu.

Saya jadi teringat wejangan dari salah satu redaktur Terminal Mojok, Mas Rizky Prasetya.Dia mengatakan, untuk menulis, kita perlu keluar dari kamar, bersosialisasi dengan orang lain, dan menapak tanah. Maksudnya, tulisan akan lebih bermakna ketika dekat dengan masalah sekitar. Bukan yang mendaki-daki membicarakan topik yang sebenarnya tidak kita kuasai.

Tugasnya nggak berat, tapi berbobot

Setelah mendengarkan “tausiyah” dari para redaktur, kami diminta untuk menyusun kerangka tulisan. Simpel saja, tentukan tema lalu breakdown jadi beberapa bagian. Mirip seperti menyusun PPT, tapi ini lebih simpel.

Tugas seperti ini tampak sederhana, tapi ampuh buat kita yang suka menulis. Setiap pembahasan yang kita susun bakal terjaga arahnya, nggak lari kemana-mana. Strategi ini juga ramah bagi teman-teman yang belum pernah menulis. Mereka nggak dituntut untuk menghasilkan tulisan sempurna. Yang penting, mereka paham mau nulis apa.

Nah, tugas ringan, tapi berdampak ini tidak saya temui di perkuliahan. Saya tidak akan membandingkan tugas akhir mata kuliah penulisan kreatif dengan yang dikasih Mojok karena nggak apple to apple. Saya ambil ukuran tugas di satu atau dua pertemuan saja supaya adil.

Membandingkan dengan mata kuliah di kampus

Ada satu waktu ketika dosen saya berhalangan hadir. Kami sekelas diminta untuk membuat naskah copywriting dan laporan tentang promosi karya sastra ke sekolah per kelompok. Tidak berhenti sampai di situ, tugas video promosi berdurasi 6 menit pun juga dibebankan. Semua harus selesai dalam waktu dua pekan. Di samping mengerjakan tugas-tugas lain dan skripsi yang tak kalah ganasnya.

Menggerutu? Sudah jelas. Apalagi, kami tidak diberi arahan terkait dengan mekanisme pengerjaan. Tidak ada materi tentang menulis copywriting atau video promosi sebelumnya. Mahasiswa asal ditinggal dan dibiarkan sak karepe dewe. Bukannya mandiri malah latihan kerja formalitas.

Pengalaman itu jauh berbeda ketika mengikuti Parkir di Terminal: Buka-bukaan Dapur Redaksi Mojok dan Strategi Tembus Media Nasional. Pokoknya, saya cukup bersyukur kemarin iseng dan bisa datang ke acara tersebut. Bukan hiperbola atau menjilat redaksi ya, tapi pengalaman yang saya dapatkan betul-betul berharga di acara kemarin. 

Terima kasih, Mojok karena sudah menambah khazanah kepenulisan saya. Semoga kedepannya bisa ekspansi ilmu ke kampus atau instansi lain. Dan, yang baca tulisan ini, semoga diberi kesempatan untuk ikutan acara Mojok yang lain. 

Penulis: Aji Permadi
Editor: Kenia Intan 

BACA JUGA 5 Tips supaya Tulisan Kalian Bisa Tembus Terminal Mojok.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version