Kediri, Tempat Sempurna buat Perantau yang Ingin Kualitas Hidupnya Membaik

Kediri, Kota Paling Bahagia yang Kini Berubah Mulai Tak Aman bagi Mahasiswa Perantauan

Kediri, Kota Paling Bahagia yang Kini Berubah Mulai Tak Aman bagi Mahasiswa Perantauan (Unsplash.com)

Menghabiskan tujuh tahun merantau di Banyuwangi membuat saya memutuskan untuk memilih kota lain sebagai tujuan perantauan saya. Maklum, selama tujuh tahun di Banyuwangi ada beragam hal yang membuat saya harus meninggalkan kota itu. Setelah menimbang-nimbang, akhirnya Kediri menjadi kota lanjutan untuk tempat saya merantau.

Bukan tanpa alasan tentunya pilihan jatuh di Kediri. Selain peluang kerja yang lebih baik dari Banyuwangi, kota ini memiliki ikatan sentimental buat saya yang di masa lalu.

Setelah tiga bulan di Kediri, saya akhirnya berani menuliskan ini. Sebab jika dibandingkan dengan Banyuwangi, saya lebih merasakan hidup yang lebih slow dan manusiawi tentunya. Mesti di kedua kota ini tetap saya tidak menemukan kemacetan yang berarti tapi tetap saja ada perbedaan antar dua kota ini yang cukup signifikan membuat saya merasa jika Kediri lebih baik dari Banyuwangi, Semarang bahkan Kendal. Dua kota terakhir yang juga pernah saya singgahi dalam waktu yang lama.

Pengalaman merantau saya di Kediri, meski masih beberapa bulan, membuka cakrawala baru mengenai kota yang nyaman untuk para perantauan. Bukan hanya sekedar kaitannya dengan nilai ekonomi saja. Tapi di Kediri saya merasa tidak terlalu ngoyo seperti di kota kota lain yang pernah saya singgahi.

Selain biaya hidup, masih banyak culture shock lain yang membuat saya merasa merantau di Kediri jauh lebih baik dan manusiawi.

Di Kediri masih ada nasi pecel harga Rp6000

Culture shock pertama yang saya alami di Kediri berkaitan murahnya makanan yang dijajakan pedagang. Di sekitaran Jalan Semeru Kota Kediri, pecel tumpang, kudapan khas Kediri hanya dibanderol Rp6000 per porsi. Ini tidak hanya di satu pedagang saja, saya mencoba di beberapa tempat pedagang Pecel Tumpang membandrol harga yang sama. Sesuatu yang tentunya jarang jika dibandingkan di Banyuwangi, Kendal maupun Semarang.

Saya masih ingat betul hari pertama tiba di Kediri. Oleh karena penasaran dengan pecel tumpang, saya langsung meluncur di salah satu penjual di Jalan Semeru, Tamanan, Mojoroto Kota Kediri. Dan alangkah kagetnya ketika makan pecel tumpang hanya diminta membayar Rp6000. Awalnya terkejut tapi setelah saya tanya ke penjualnya memang begitu pasaran harga Pecel Tumpang di Kediri.

Jadi ketika saya memberikan uang Rp10.000 ke penjual dan masih ada kembalian, serasa Kota Kediri ini memang sahabat sejati bagi perantau macam kaya saya ini. Saya bisa bayangkan jika dalam sebulan, entah berapa rupiah yang bisa saya hemat dengan harga pecel semurah itu.

Kos Rp300 ribuan dengan fasilitas yang tidak mengecewakan

Saya ingat betul saat tinggal di Jajag, Gambiran, Banyuwangi, ketika akan mencari kos, pasaran harga di sana di kisaran angka Rp600 ribuan. Alih-alih memilih untuk indekos, saya justru memilih laju dari Glenmore ke tempat kerja saya di Jajag Gambiran. Lumayanlah jauhnya, 32 km sekali berangkat. Tapi ketika tiba di Kediri yang mewajibkan saya harus kos, saya justru kaget karena menemukan kos seharga Rp300 ribuan dengan fasilitas menyenangkan cukup mudah ditemui.

Saya mendapat tempat kos di Jalan Tamansari, Tamanan, Mojoroto, Kota Kediri. Bangunan baru dua lantai dengan 10 kamar yang disewakan. Saya dapat satu kamar dengan harga Kos Rp300 per bulan. Tentu saja dengan fasilitas dapur bersama yang juga disediakan pemilik kos. Ketika saya bandingkan dengan Semarang dan Kendal pun, saya tidak bisa mencari kos layak dengan besaran harga segitu. Ini jadi parameter kenapa saya menilai Kediri lebih baik dari kota-kota lain yang pernah saya singgahi.

Tukang parkir Kota Kediri tidak seliar kota-kota lain

Tiga bulan tinggal di Kota Kediri, saya hampir tidak pernah menemui tukang parkir yang seliar di kota lain. Dibanding Banyuwangi dan Semarang, Kediri jauh lebih bersahabat. Bahkan ATM saja disikat tukang parkir di Semarang.

Nah, hal-hal itu yang tidak saya temui di Kediri. Indomaret, Alfamart, atau ATM yang ada di sepanjang wilayah Mojoroto, jarang ada tukang parkirnya. Kalaupun ada, dia tidak  seliar seperti di kota-kota lain. Dulu waktu di Surabaya saya ingat betul bagaimana tukang parkir marah karena di kasih uang Rp2 ribu. Bayangkan kita ngasih saja masih marah, gimana mau tenang jika hidup seperti itu. 

Mungkin tulisan ini seakan mengglorifikasi Kota Kediri. Tapi percayalah, di balik karut marut yang mungkin masih jadi PR di Kota ini, saya pikir Kota ini layak betul untuk disanjung setinggi-tingginya. Yah, asal kita tetap menapak tanah dan tak abai terhadap masalah-masalah yang ada.

Sepertinya, saya ingin menghabiskan waktu tua di sini. Semoga…

Penulis: Fareh Hariyanto
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bertahun-tahun Merantau di Kediri Bikin Saya Sadar, Nggak Semua Orang Bisa Cocok Hidup di Daerah Ini

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version