Pekan lalu, saya berkunjung ke salah satu kedai kopi ternama yang ada di daerah pegunungan di kota tempat saya kuliah. Suasananya enak; nggak begitu dingin meskipun ada kabut-kabut kecil. Tempat duduknya ala-ala rooftop pun mendukung saya untuk menikmati “ngopi with view” bukit-bukit dan tata letak perkotaan. Saya yakin, bagi yang hobi ke kedai kopi ataupun penikmat kopi, suasana semacam itu adalah salah satu syurga dunia yang dicari-cari.
Sayangnya, tak lama semua kenikmatan itu sirna. Masalah datang ketika segerombol manusia merasa nggak berdosa ngasih surprise ulang tahun pada temannya. Perasaan nggak berdosa itu terlihat saat mereka ujug-ujug berteriak, “Yeay, selamat ulang tahun,” sementara di situ ada saya dan banyak sekali pengunjung lain yang bukan sedang ulang tahun, melainkan sedang menikmati suasana.
Saya pribadi sebenarnya masih memaklumi teriakan berisik mereka. Tapi sesaat setelahnya, masalah semakin menjadi-jadi ketika perayaan ulang tahun itu beralih ke sesi lempar kue, foto-foto, kemudian berkelakar dengan berisik seakan-akan kedai kopi itu adalah rumahnya sendiri. Ini bukan saya sinis atau iri, melainkan jengkel melihat kelakuan mereka yang mengganggu keadilan sosial bagi seluruh rakyat kedai kopi.
Daftar Isi
Mending cabut ketimbang makin nggak mood
Mendapati musibah tersebut, saya akhirnya memutuskan untuk membayar pesanan dan pergi dari kedai kopi yang sudah tercemar itu. Saat saya membayar, saya sempat bertanya pada petugas kasir soal apakah mereka sebelumnya sudah izin kalau mau merayakan ulang tahun di sana. Ajaibnya, petugas kasir menjawab “tidak”, dan katanya pun beberapa orang dari mereka itu hanya dua orang yang memesan. Sontak saya membatin, memang sudah sepatutnya mereka ini bernasib sama seperti Malin Kundang.
Sebenarnya kejadian merayakan ulang tahun di kedai kopi yang akhirnya berubah jadi akar masalah sosial bukan masalah baru. Di Terminal Mojok, Mas Riyanto sudah membahasnya. Tapi, setelah saya yang bukan barista ini masih terkena musibah dari perayaan ulang tahun mereka, saya akhirnya merasa perlu menegaskan kembali ke mereka soal perayaan ulang tahun di kedai kopi dari sisi pengunjung. Biar apa? Biar akhlaknya nggak terkutuk jadi buruk seperti Malin Kundang.
Kedai kopi bukan tempat bebas dari etika sosial
Pertama-tama, mereka itu kayaknya masih buta huruf dengan etika di kedai kopi. Dikira, kedai kopi itu tempat yang bebas untuk berekspresi dan berperilaku secara pribadi. Padahal, sebebas-bebasnya berekspresi dan berperilaku di sana, selalu ada keterkaitan dengan urusan orang banyak. Artinya, kedai kopi manapun, aturan nggak tertulis bernama etika sosial itu selalu ada di sana.
Tentu saja bukan berarti kita kemudian membatasi diri untuk nggak ngobrol dengan teman atau urusan-urusan pribadi lainnya yang bisa dilakukan di kedai kopi. Tapi maksudnya, etika sosial itu musti dipahami sebagai batasan atau teguran sebelum melakukan tindakan berakhlak rendah seperti merayakan ultah tadi.
Setidaknya, izin ke pihak kedai kopi kalau mau merayakan ultah. Supaya pihak PEMILIK tenang dan percaya kalau nanti apa pun yang terjadi saat perayaan ultah, itu tanggung jawab yang merayakannya. Termasuk ketika misalnya terjadi lempar kue, maka urusan bersih-bersih ditanggung oleh yang merayakannya.
Baca halaman selanjutnya
Minimal nggak berisik, dan minimal pesen!
Minimal nggak berisik dan nggak rusuh
Yang kedua, kalaupun terpaksa nggak izin karena ribet dan takut nggak disetujui, minimal perayaan ulang tahun di kedai kopi itu nggak kayak anak kecil, yang berisik nggak jelas dan rusuh.
Terus terang saja, perayaan ulang tahun bagi orang yang nggak dikenal itu blas nggak ada gunanya. Sekalipun di situ ada wejangan-wejangan bijak alih-alih doa, saya pribadi menganggap itu sampah. Sederhana saja alasannya, hampir dipastikan ucapan doa saat merayakan ulang tahun ramai-ramai itu formalitas semata, biar dikira peduli dan sayang. Iya, kan!
Demikian juga dengan kelakukan rusuh seperti lempar kue; kejar-kejaran saling balas lemparan. Hal itu benar-benar tak membuat kami sebagai penonton yang nggak dikenal akan kagum dan ikut mendoakan yang baik-baik. Justru jijik dan bisa jadi spontan kami berdoa buruk lewat nama-nama binatang. “Wah, ini orang anjing emang”, misalnya.
Lagi pula, nggak buruk-buruk amat, kok, merayakan ulang tahun di kedai kopi itu dengan ngasih surprise kecil-kecilan tanpa menuai keonaran. Percayalah, kehidupan sehabis merayakan ulang tahun itu bukan lantas akan berubah jadi terpuruk tanpa surprise dengan cara berisik dan lempar kue.
“Lho, ya, nggak asyik, dong?
Iya, betul. Kalian memang akan asyik, tapi kami terusik, bodoh! Kalau tetap mau merayakan ulang tahun seperti anak kecil tadi, ya rayakan di rumah atau tempat lainnya yang sekiranya miliki pribadi.
Minimal pesen, bolo! Ini kedai kopi, bukan omahe mbahmu!
Satu lagi, selain ngasih surprise kecil-kecilan tanpa membuat keonaran, semua yang ikut merayakan ulang tahun di kedai kopi tanpa izin juga harus memesan.
Coba bayangkan, betapa nggak adilnya ketika semua pengunjung menikmati tempat kedai kopi dengan cara membayar pesanan, sementara ada segerombol orang yang membayar cuma sebagian. Ini bukan hanya untuk yang merayakan ultah tanpa izin, melainkan semua orang yang hendak merasakan segala kenikmatan di kedai kopi.
Okelah, kalau misalnya masih sulit bersikap adil dengan pengunjung lainnya. Tapi setidaknya, hargailah eksistensi para karyawan dan owner kedai kopi itu sendiri. Kedai kopi itu ada bukan semata-mata untuk dinikmati merayakan ulang tahun secara gratis. Sedikit banyak, keberlanjutan hidup orang-orang di balik nyamannya kedai kopi itu berasal dari uang pembayaran pesanan.
Saya pikir, memahami etika sosial-kemanusian yang nggak tertulis semacam itu amat sangat sederhana kalau akalnya masih sehat.
Jangan sampai ulang tahun malah jadi ajang merendahkan akhlak
Walaupun secara sejarah ulang tahun itu memang bukan budaya kita, setidaknya jangan sampai yang awalnya budaya itu dimaksudkan untuk momen membangkitkan semangat tumbuh dan berkembang, tapi malah jadi momen merendahkan akhlak secara seremonial. Tentu nggak lucu, bukan?
Tetap rayakanlah ulang tahun. Mojok tempat saya menulis ini pun dalam waktu dekat juga akan merayakannya. Tapi, kalau ulang tahun itu dirayakan tanpa etika sosial, khususnya di kedai kopi, maka sudah sepatutnya doa semoga bernasib sama seperti Malin Kundang itu diucapkan.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 7 Dosa Coffee Shop yang Sebaiknya Dihentikan