Saya percaya bahwa setiap orang punya caranya masing-masing dalam menjemput rezeki. Ada yang nyaman menjadi karyawan dan bekerja di suatu perusahaan, ada yang lebih memilih menjadi wirausahawan—termasuk juga freelancer, tidak sedikit pula mereka yang berstatus karyawan sekaligus memiliki usaha sampingan. Semuanya akan kembali kepada pilihan masing-masing. Tidak ada salah atau benar.
Namun, di luar dari pilihan tersebut, ada suatu hal yang rasanya membikin saya mangkel dan kepikiran sampai dengan saat ini. Yakni, template karyawan shaming yang hampir selalu diselipkan dalam materi pada seminar wirausaha, bisnis, seminar motivasi MLM, dan sebangsanya.
Kalimat “kerja atau dikerjain?”, “masih aja jadi karyawan, yang kerjanya hanya disuruh-suruh oleh atasan”, ”nggak apa-apa penghasilan lebih kecil dibanding saat jadi karyawan, yang penting jadi bos di perusahaan sendiri” selalu disuarakan pada saat seminar tersebut. Seakan berwirausaha adalah segalanya dan menjadi tujuan akhir dalam berkarir. Dan yang menjadi sasaran shaming tersebut bukan hanya pada level karyawan saja, tapi juga manajer, direktur, dan lain sebagainya.
Jika template karyawan shaming selalu sama, hanya begitu-begitu saja tanpa perubahan yang berarti, lantas apa bedanya dengan motivator yang dalam tiap seminarnya selalu mengganti kata “Selamat pagi” menjadi “Semangat pagi”?
Beberapa kali saya ikut seminar serupa, beberapa kali juga saya mendengar ucapan template yang sama. Alih-alih mendapatkan informasi, inspirasi, tips dan cara memulai usaha, atau relasi terkait wirausaha, yang ada isinya malah menyepelekan status atau jabatan seseorang sebagai karyawan kantoran.
Maksud saya, memangnya apa yang salah dari menjadi karyawan, bekerja di suatu kantor dengan durasi delapan jam kerja, entah di waktu reguler maupun shifting—yang penting sesuai dengan peraturan pemerintah? Selama merasa nyaman, bisa hidup mapan menjadi seorang karyawan, dan mengisi jabatan tertentu, apa salahnya gitu?
Barangkali, banyak orang yang ingin belajar tentang dunia wirausaha, bagaimana cara kerja juga alurnya, bagaimana harus memulai, dan lain sebangsanya. Namun, nggak semua orang punya keinginan atau tujuan akhir menjadi wirausahawan.
Pikir saya, seminar tentang wirausaha dan sebangsanya akan menjadi lebih baik dan bermanfaat jika materinya berisikan tentang tips memulai bisnis, perhitungan mengenai modal awal, proses pengembangan bisnis, bagaimana agar neraca keuangan seimbang, sampai bagaimana mengantisipasi kemungkinan terburuk jika usaha yang dibangun gulung tikar.
Mau bagaimana pun, beberapa poin tersebut patut dipertimbangkan secara matang. Lantaran, mesti dipikirkan juga, berapa nominal yang harus disisihkan sebagai tabungan jika bisnis tidak berlangsung sesuai yang dibayangkan.
Sebagai karyawan yang juga sudah tiga kali mencoba nyambi berwirausaha, saya sangat paham bahwa, merintis usaha itu tidak semudah teori atau bacotan para pemateri seminar yang sering kali mengglorifikasi kalimat, “Ngapain kerja kantoran? Berangkat pagi, pulang malam. Mending usaha, bisa atur waktu secara fleksibel!”
Tunggu dulu, tunggu dulu. Ngomong kok sembarang was-wes-wos. Boro-boro fleksibel. Dalam prosesnya, saya merasakan betul bahwa, menjadi karyawan atau pun berwirausaha, harus sama-sama disiplin. Nggak bisa sembarangan, apalagi semaunya. Nggak perlu merasa siapa yang “paling”. Semua orang punya cara dan jalannya masing-masing dalam memperjuangkan cita-citanya.
Lagipula, di luar sana, ada yang pengin banget dan sudah berusaha keras berwirausaha, tapi ternyata rezekinya malah jadi karyawan dengan posisi yang menyenangkan. Pun sebaliknya, ada yang pengin merasakan jadi karyawan kantoran, tapi malah merasa nyaman dan rezekinya justru terbilang cukup sebagai wirausahawan. Malah, ada yang sanggup bekerja sebagai karyawan sambil menjalankan bisnis usahanya dengan baik.
Kalau sudah begitu, artinya jualan tentang mau sampai kapan kerja atau dikerjain, ngikut kerja bareng orang lain, jadi bawahan, bisa atur secara fleksibel, dan lain sebagainya, nggak bisa dipaksakan kepada semua orang, kan?
Jadi, memang sudah sebaiknya karyawan shaming dan shaming-shaming lainnya disudahi. Temukan cara yang lebih membikin orang tertarik untuk berwirausaha karena mereka memang yakin dan ingin. Kemudian, ada bimbingan atau sesi sharing tambahan jika usahanya sudah mulai berjalan, sampai akhirnya berkembang. Lebih asyik dan menantang, kan? Dibanding memandang sinis profesi yang orang lain jalani, lebih baik menyadari bahwa semuanya akan saling bersinergi satu sama lain.
Toh, pada akhirnya, semua akan saling membutuhkan. Karyawan butuh tempat untuk bekerja. Seseorang yang memutuskan berwirausaha pun—saat bisnisnya berkembang—pada akhirnya butuh karyawan untuk menjalankan unit usahanya.
BACA JUGA Lucunya Bekerja di Perusahaan yang Pimpinannya Adalah Teman Sendiri dan artikel Seto Wicaksono lainnya.