Sebagai penduduk sipil yang taat berpajak, saya mempunyai hak untuk menggunakan fasilitas publik yang tersedia di seluruh Indonesia. Meskipun begitu sayangnya saya belum berkesempatan untuk keliling Indonesia. Tapi untungnya saya masih berkesempatan untuk menggunakan layanan dan fasilitas publik yang disediakan oleh Pemkab.
Salah satunya adalah layanan program parkir berlangganan yang diprogramkan oleh pemerintah kabupaten untuk masyarakat. Fyi aja nih, program yang diimplikasikan dengan menerbitkan kartu parkir berlangganan untuk semua pengguna kendaraan ini bertujuan agar para pengguna bebas tarif parkir. Dengan menunjukkan kartu parkir berlangganan ke juru parkir, maka sebagai pengendara motor yang akan memarkirkan motornya, kita akan bebas parkir.
Fasilitas ini berlaku dengan membayar retribusi parkir secara rutin bersamaan dengan pembayaran pajak kendaraan setiap tahun. Tapi nahas, program ini belum bisa benar-benar terlaksana bahkan bisa dibilang nggak ada gunanya. Lha gimana? Meskipun sudah bayar retribusi parkir berlangganan Rp. 25.000 untuk motor dan Rp. 50.000 untuk mobil, saat memarkirkan motor tetap saja ada para manusia-manusia ajaib yang tiba-tiba muncul.
Siapa lagi kalau bukan juru parkir? Beberapa dari kita bahkan mungkin pernah mengalami kejadian yang lumayan menyebalkan ketika berhadapan dengan mereka? Ingin rasanya hati ini protes. Tapi apa daya, nurani ini berbisik ‘Masa urusan bayar parkir saja bisa berujung ke perdebatan panjang?’. Hanya saja yang saya herankan adalah, mengapa kartu parkir berlangganan yang sudah saya bayarkan retribusi parkirnya, begitu saja tidak ‘berdaya’?
Maksud saya begini. Saya rutin membayar retribusi parkir tapi ketika di lapangan tetap ada penarikan tarif parkir? Adanya kartu parkir berlangganan pun juga saya pikir sia-sia belaka karena tidak setiap hari saya berpergian menggunakan kendaraan pribadi. Betapa mubazirnya retribusi parkir saya beberapa waktu yang lalu saya bayarkan.
Seperti beberapa kali pengalaman saya ketika pergi ke pasar. Mulanya saya pikir dengan membawa kartu parkir berlangganan maka saya akan bebas parkir. Ternyata dugaan saya salah besar. Setiap kali pergi ke pasar dan ketika saya akan mengambil motor di parkiran, saya tetap dikenai tarif parkir. Meskipun kalau diingat-ingat saya hanya membeli tempe di toko yang tidak jauh dari tempat parkir dan terbilang sebentar.
Tidak hanya pengalaman saat di pasar. Bersamaan dengan malfungsinya kartu parkir berlangganan, saya menemukan jenis-jenis juru parkir yang berbeda. Mulai dari yang masih terbilang wajar bahkan sampai tidak wajar sama sekali. Semuanya pernah saya temui.
1. A poor juru parkir
Sebutan poor sengaja saya sematkan karena wajahnya memangbenar-benar menandakan kemelasan dan kenelangsaan hakiki. Benar-benar membuat saya tidak tega dan mau tidak mau ikhlas melepas sisa uang terakhir untuk juru parkir jenis ini. Pokoknya juru parkir jenis ini berwajah lelah, berbaju lusuh, dan bermuka memelas. Benar-benar poor.
“Terus mbak, terus… agak kekiri sedikit.” Sambil sesekali mengelap keringat di dahi. Saya kok sekoyong-konyong ingat ayah saya yang yang di luar sana sedang banting tulang untuk menghidupi keluarga. Niat hati ingin menyela tadahan tangannya dengan kartu parkir berlangganan, tapi saya justru menyerahkan selembar uang 2.000.
2. Juru Parkir ‘RX King’
Ngomong-ngomong kenapa saya memberi julukan ‘RX King’? Karena juru parkir jenis ini hobinya ngegas dan saya jadi teringat lagu dangdut koplo yang dibawakan oleh Sodiq Monata berjudul ‘numpak RX King’.
Numpak… numpak… numpak RX King. Reng teng teng teng teng… reng teng teng teng teng! Suara gas motor RX King dinyanyikan dalam lagu ini karena ditengarai sebagai kegagahan motor RX King di era 90’an. Persis seperti juru parkir yang berusia bapak-bapak tapi berhobi ngegas dan menggerutu tidak jelas yang sering saya temui.
Ketika itu saya pernah menolak untuk membayar tarif parkir karena saya merasa saya sudah membayar retribusi parkir langganan beberapa hari yang lalu. Tapi juru parkir jenis ini tidak terima dan tetap meminta tarif parkir. Bahkan juru parkir ini menggerutu sambil sesekali membentak pengendara yang menyenggol suasana hatinya. Persis cewek sedang PMS.
3. Juru parkir ajaib
Dari sekian banyak jenis juru parkir yang pernah saya temui, juru parkir jenis inilah yang paling sering muncul—juru parkir ajaib. Kejaiban itu dimulai saat saya yang sedang anteng dan merasa tenang karena saya berada di kawasan bebas parkir. Akhirnya dengan rasa percaya diri yang tinggi, saya memarkirkan motor saya.
Selang beberapa menit setelah saya menyelesaikan urusan saya dan mengambil motor saya di parkiran, saat motor saya hendak meninggalkan area parkir juru parkir ajaib ini muncul. “3.000, Mbak.”, praktis saya menoleh kaget dan menunjukkan kartu parkir berlangganan saya sekaligus menunjuk tulisan ‘bebas parkir’ yang terpampang jelas.
Lalu apa jawabnya? “Di sini rawan motor hilang mbak, jadi harus ada juru parkir buat jaga parkiran. Biaya 3.000 ini nggak seberapa dibanding saya yang dari tadi panas-panasan?”. Tunggu, kok saya tadi tidak melihat keberadaan bapak juru parkir ini? Ajaib sekali!
Tulisan ini tidak diperlihatkan sebagai bentuk ketidak ikhlasan saya atau kepelitan saya soal tarif parkir yang tidak seberapa besar itu, melainkan sebagai bentuk kegumunan saya yang tidak habis pikir. Jika ada kartu parkir berlangganan, mengapa jenis-jenis juru parkir ini masih bebas berkeliaran?
Bagaimana kalau mulai sekarang pemkab sebaiknya memasang meteran parkir elektronik, supaya adil? Juru parkir tidak perlu beraksi liar, pengguna motor membayar tarif parkir sesuai kebutuhan, dan pemerintah mengelola pemasukan dari tarif parkir meter elektronik yang sudah terpasang. Cukup adil kan? (*)
BACA JUGA Tidak Penasaran dengan Cerita Horor KKN Desa Penari Indikasi Seseorang Ber-IQ Tinggi: Benarkah? atau tulisan Ade Vika Nanda Yuniwan lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.