Karena Jalan Raya Bukanlah Ruang Tamu

jalan raya

jalan raya

Dalam menjalani hidup yang sungguh Nano-Nano ini, bertemu dengan berbagai macam tingkah dan karakter manusia adalah suatu hal yang pasti akan kita dapatkan ketika sedang berada di ruang terbuka—termasuk di jalan raya. Tidak bisa dimungkiri terkadang ada saja tingkah orang-orang yang bikin kesal sampai gemas sendiri. Misalnya—seperti yang sudah dikeluhkan banyak orang—emak-emak yang sein ke kanan tapi belok kiri (dan sebaliknya), terus ada juga yang suka klakson-klakson padahal traffic light berubah warna dari merah ke hijau baru sepersekian detik. Selain dua hal tersebut, ada satu lagi nih yang tidak kalah ‘menggemaskannya’ yaitu pengendara motor yang menjadikan jalan raya seperti ruang tamu. Ngobrol teroosss~

Dari pengalaman saya pribadi—sebagai orang yang selalu dibonceng karena tidak bisa mengendarai sepeda motor— kejadian semacam ini jujur saja bukan sekali dua kali saya temui tapi sering—sering banget malah. Jadi, di jalan raya itu ada dua orang—atau lebih—yang masing-masing mengendarai sepeda motor. Nah mereka ini mengendarai sepeda motor dengan posisi berjejer, terus motornya sengaja jalan pelan-pelan—soalnya orang yang mengendarai sepeda motor lagi asyik ngobrol sampai haha-hihi. Seolah jalan raya itu memang cuma milik mereka saja. Kita yang ada di sekitar mereka entahlah dianggap apa. Huh, dasar! Ditilang POLANTAS baru tahu rasa ngana.

Dalam situasi seperti ini, saya—dan orang yang membonceng saya—yang ada di belakang mereka kadang sampai kesal sekali. Apalagi kalau ngobrolnya lama banget. Mungkin mereka berpikir, kami bisa ikut ngakak dengar mereka saling tertawa satu sama lain. Padahal kami yang ada di belakang mereka yah sebenarnya tidak punya waktu luang lah untuk menikmati pemandangan orang-orang yang berkendara sambil ngobrol. Dih, ngapain lihat hal begituan? Buang-buang waktu saja.

Mau mendahului juga susah, karena jalanan sudah dikuasai sama mereka. Nanti kalau diklakson-klakson terus, dikiranya kita cari gara-gara lagi. Ditegur langsung juga kadang malah lebih galak mereka—hadeuuhh, serba salah jadinya. Sekalinya punya kesempatan untuk mendahului, pas saya nengok ke belakang, eh..ternyata mereka masih ngobrol dong. Buseettttt…itu ngobrol apa sidang sengketa Pilpres—lama bener deh.

Disadari atau tidak, mengendarai sepeda motor sambil ngobrol dengan pengendara motor lain itu bukan cuma bikin kesal pengendara yang ada di belakang, tapi juga berbahaya. Bukan hanya bagi mereka—yang ngobrol di jalan raya—tapi juga bagi pengendara yang lainnya. Orang yang mengendarai motor sambil ngobrol itu kan fokusnya jadi terbagi, akhirnya jadi tidak konsentrasi berkendara. Nah, hal ini lah yang bukan tidak mungkin bisa menyebabkan kecelakaan. Duh, amit-amit deh yah.

Hal yang juga masih menjadi pertanyaan saya adalah, kok bisa yah ngobrol panjang lebar begitu di tengah jalan raya? Apa tidak bisa minggir dulu?—kasih dong kesempatan orang-orang yang ada di belakang untuk lewat. Kalau memang penting dan sayang untuk dilewatkan saat itu juga, ngobrolnya bisa dilanjut di kafe atau nggak di warkop gitu lah. Kalau kebetulan lagi tidak punya duit, yah mending ajak ngobrol di rumah saja—di ruang tamu—sambil minum teh atau kopi, ditemani pisang goreng. Kalau begitu kan enak, ngobrol lancar, perut pun senang. Mau ngobrol selama apa pun, selama tuan rumah mengizinkan dan masing-masing punya waktu, ya silakan saja. Tidak akan ada yang ngedumel apa lagi klakson-klakson. Iya toh?

Sebenarnya, aturan untuk tidak ngobrol dengan pengendara lain saat sedang berkendara  itu sudah diketahui oleh masyarakat luas. Yang menulis tentang hal ini juga saya yakin sudah banyak. Jika pada kenyataannya masih banyak yang mengabaikan, saya rasa hal tersebut kembali lagi pada kesadaran masing-masing.

Saya juga tahu, kadang memang ada hal dalam hidup ini yang asyik banget untuk terus-terusan jadi bahan obrolan—misalnya tentang siapa kandidat capres tahun 2024—tapi ngobrolnya tidak sambil berkendara di tengah jalan juga keleuss. Jalan raya itu kan fasilitas umum, harusnya jangan egois lah—pikirkan juga dong hak orang lain.

Namanya setiap tempat kan pasti ada aturannya. Aturan yang ada di rumah tentu beda dong dengan aturan yang ada di jalan raya. Kadang memang  ada aturan yang sebenarnya sangat berbahaya jika dilanggar, tapi karena sudah telanjur banyak yang melanggar, jadinya malah seperti tidak apa-apa kalau dilanggar. Contohnya yah berkendara di jalan raya sambil ngobrol itu tadi. Seperti yang sudah saya tuliskan di atas, hal tersebut kembali lagi pada kesadaran masing-masing. Mau membiasakan yang benar atau membenarkan yang biasa? Perlu pemikiran yang bijak sih untuk menentukan mau pilih yang mana.

Exit mobile version