Sebagai pemuda yang sangat penasaran akan masa lalu, saya sangat suka berbincang dan bertanya banyak hal kepada tetua di kampung. Tuo tengganai kalau bahasa adatnya. Dari bincang-bincang itu saya dapat mengetahui banyak sekali cerita yang tidak mungkin saya temukan di dalam buku-buku Sejarah.
Nah, salah satu yang paling menarik adalah kampung saya memercayai adanya reinkarnasi dalam kehidupan layaknya kepercayaan Hindu dan Buddha. Padahal, kampung saya berada di tengah-tengah komunitas Melayu yang tentu saja Islam.
Nama kampung saya adalah Mersam, sebuah kecamatan yang berada di Kabupaten Batang Hari, Jambi. Kecamatan Mersam adalah gabungan dari wilayah adat Mersam, Sekati, dan Rantau Gedang.
Akan tetapi, yang saya ceritakan kali ini adalah Mersam sebagai sebuah wilayah adat, yaitu adat Mersam yang terdiri dari Desa Kembang Paseban, Kembang Tanjung, Mersam, Benteng, dan Pematang Gadung.
Mayoritas penduduknya beragama Islam dengan pandangan hidup seperti masyarakat Melayu Jambi pada umumnya, yaitu adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabullah. Maka tidak heran ada banyak sekali kebudayaan Mersam yang sudah bertransformasi menjadi lebih Islami seiring dengan berkembangnya pemahaman agama Islam masyarakat.
Menariknya, ada satu kepercayaan yang sebenarnya jauh dari ajaran Islam, tapi masih dipercayai mayoritas masyarakat Mersam karena saking nyatanya. Kepercayaan itu adalah percaya adanya reinkarnasi. Aneh bukan?
Saya sudah mencoba berselancar di internet untuk mencari kasus serupa di Indonesia. Namun tidak ada kecuali kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Hindu atau Buddha yang memang mengajarkan itu. Oleh karena itu, saya jadi curiga jangan-jangan kampung saya satu-satunya yang memiliki kepercayaan seperti itu.
Satu, reinkarnasi di kampung saya disebut ngundu
Reinkarnasi bukanlah suatu pemahaman baru bagi penduduk kampung saya. Tahap keterkejutan orang kampung saya terhadap reinkarnasi berada di level “oh” bukan “waw”. Dengan kata lain jika ada orang yang mengaku pernah hidup di masa lalu, respons yang muncul tidak terlalu berlebihan.
Untuk menyebut seseorang yang bereinkarnasi orang kampung saya menyebutnya “ngundu”, dengan cara pelafalan menyamarkan suara “d”. Entah dari mana muncul istilah ini. Mungkin berasal dari kata Hindu yang dikata kerjakan menjadi menjadi menghindu atau ngindu. Lantas lambat laun kata ngindu berubah menjadi ngundu. Tapi, entah, lah.
Hal yang pasti, dengan adanya istilah itu membuktikan bahwa reinkarnasi bukanlah hal asing di tengah masyarakat kampung saya.
Dua, kasus orang yang mengalami ngundu
Yang membedakan kepercayaan ngundu dengan reinkarnasi ala agama Hindu dan Buddha adalah universalitas. Jika orang Hindu dan Buddha percaya setiap manusia itu bereinkarnasi, tidak demikian dengan orang kampung saya. Orang kampung saya menggunakan istilah ngundu hanya untuk kasus seseorang yang mengaku pernah hidup di masa lalu saja.
Ada banyak sekali kasus di kampung saya di mana seseorang mengaku pernah hidup di masa lalu. Biasanya pengakuan itu terjadi ketika mereka masih anak-anak yang baru belajar ngomong. Anak yang dipercayai ngundu biasanya sangat lancar menceritakan kehidupannya di masa lalu secara detil dan tepat. Mereka bahkan masih merasa terikat dengan kehidupan masa lalunya.
Tetangga saya misalnya, ketika dia masih kecil, setiap pekan pasar tiba dia selalu menunggu ibunya di masa lalu lewat ke pasar. Setiap kali ibunya itu lewat dia selalu berteriak-teriak memanggil ibunya. Padahal anak itu tidak pernah bertemu dengan orang yang dipanggil ibu itu sebelumnya.
Masih ada banyak kasus serupa yang tidak mungkin saya ceritakan satu persatu. Namun, poin saya adalah meskipun pemahaman Islam sudah sangat kental di kampung saya, masyarakat tidak dapat untuk tidak percaya karena terjadi banyak kasus dan ceritanya yang disampaikan anak yang ngundu sangat detil dan tepat.
Bahkan tokoh agama pun banyak yang percaya karena fenomena ini terjadi di sekeliling mereka. Bagi mereka, fenomena ini meskipun sulit dijelaskan secara agama tetap merupakan kuasa Allah SWT. Mereka menjadikan ngundu sebagai penambah iman kepada Allah yang Maha Kuasa melakukan segalanya.
Tiga, kemiripan dengan ajaran Hindu dan Buddha
Meskipun berbeda secara kepercayaan, ngundu juga memiliki kemiripan dengan ajaran reinkarnasi Hindu dan Buddha. Baik itu Hindu dan Buddha maupun ngundu sama-sama memiliki tahap menjadi hewan sebelum terlahir kembali menjadi manusia.
Hanya saja tahapan dalam ngundu bukan sebuah tahapan yang harus dipercayai oleh orang kampung saya. Tahapan itu hanya berupa kisah yang diceritakan seorang anak yang ngundu. Hewan yang paling sering menjadi wadah ruhnya adalah ikan dan rusa.
Kata mereka setelah mereka mati, mereka berubah menjadi hewan seperti ikan, rusa, atau hewan lainnya. Kemudian mereka ditangkap dan dimakan oleh orang tuanya. Terkadang mereka masih dapat menunjukkan bekas lukanya dulu sewaktu masih menjadi hewan seperti bekas tertembak atau terkapak.
Empat, cara menghilangkan ingatan masa lalu
Biasanya orang kampung saya yang mengetahui anaknya ngundu akan berupaya menghilangkan ingatannya. Upaya itu dilakukan karena banyak kasus yang memprihatinkan, seperti seorang anak yang tiap hari mendatangi rumah seorang perempuan yang diyakini adalah istrinya di masa lalu. Ada pula seorang anak yang selalu merajuk jika dimarahi ibu kandungnya. Katanya lebih baik dia pulang ke rumah ibunya di masa lalu saja yang menurutnya lebih enak.
Kalau terjadi kasus seperti itu biasanya keluarganya akan berupaya menghilangkan ingatan tersebut dengan cara memberi makanan sisa ibunya. Sejauh ini cara tersebut selalu berhasil menghilangkan ingatan masa lalu anak yang ngundu.
Namun, tidak semua orang tua menghilangkan ingatan anaknya. Sampai sekarang masih ada orang ngundu dewasa yang masih dapat mengingat kehidupannya di masa lalu.
Saya tidak tahu apakah dengan memercayai hal tersebut akan menggoyahkan keimanan saya atau tidak. Yang pasti fenomena ngundu bukanlah seperti legenda cindaku yang masih “katanya-katanya”. Ngundu hadir dalam kehidupan masa sekarang dan orangnya pun masih banyak yang hidup. Boleh percaya boleh tidak.
BACA JUGA Membedah Kekuatan Dapunta Hyang, Sang Raja Pertama Kedatuan Sriwijaya dan tulisan Ubaidillah lainnya.