Kalau ada yang bertanya asal saya dari mana, biasanya saya akan menjawab “Bekasi”. Nggak bisa dimungkiri, meski saya lahir dan sempat tinggal di Jakarta, sebagian besar hidup saya telah saya habiskan di Kota Patriot itu. Namun biasanya ketika ditanya lebih rinci “Bekasinya di mana?” saya akan menjawab “Jatiwarna”. Sebab, nama kelurahan satu ini lebih familier di telinga banyak orang ketimbang kampung asli saya, Kampung Sawah.
Kalian tentu cukup sering mendengar nama-nama daerah di Bekasi seperti Pondok Gede, Jatiasih, Bekasi Barat, Bekasi Utara, Bantargebang, Rawalumbu, Jatisampurna, dll., tapi gimana dengan Kampung Sawah yang saya katakan di atas? Mungkin masih banyak orang yang nggak tahu. Bahkan, mungkin akan ada juga yang bertanya-tanya, memangnya ada ya nama daerah kayak gitu di Bekasi?
Padahal Kampung Sawah adalah nama sebuah daerah yang terletak di Kelurahan Jatimelati, Kecamatan Pondok Melati, Kota Bekasi. Maaf, maaf aja nih, meski namanya ada embel-embel “kampung”, secara administratif daerah asal saya ini masuknya ke Kota Bekasi, lho. Anak (((kota))) kan gue. Wqwqwq.
Sayangnya tak seperti namanya, di sana kini kita sudah nggak bisa menemukan area persawahan. Jangan harap bisa melihat hamparan sawah hijau dengan petani dan kerbau yang tengah membajak sawah di sana. Alih-alih hamparan sawah hijau, daerah ini justru sudah dipadati dengan bangunan-bangunan beton.
Meski begitu, kampung satu ini memiliki beberapa hal unik untuk diceritakan seperti segitiga emasnya dan tradisi marga orang Betawi Kristen. Kalau boleh saya rangkumkan, kampung halaman saya ini merupakan gambaran sesungguhnya dari Indonesia mini. Penasaran nggak? Sini saya ceritain lebih lanjut mengenai Kampung Sawah.
Daftar Isi
Segitiga emas di Kampung Sawah
Kalau kalian berkunjung ke Kampung Sawah, jangan kaget apabila melihat keragaman suku dan agama dalam sebuah keluarga di sini. Keragaman suku dan agama dalam satu keluarga inilah yang membuat kampung ini kerap disebut-sebut sebagai Indonesia kecil atau Indonesia mini yang saya sebutkan pada judul di atas.
Contoh Indonesia mini itu begini. Ibu saya adalah warga asli Kampung Sawah. Blio mewariskan nama marga orang Betawi Nasrani di sini. Ibu saya kemudian menikah dengan bapak saya, seorang Jawa. Saudara ibu saya yang lain ada juga yang menikah dengan orang Betawi, orang Manado, orang NTT, orang Ciamis, orang Batak, dll. Makanya kalau keluarga besar kami berkumpul, udah kayak dari Sabang sampai Merauke.
Pakde, bude, om, tante, dan saudara saya yang lain itu pun nggak semuanya beragama Kristen Protestan. Ada yang Islam, Katolik, Buddha, pokoknya campur-campur. Dan nggak cuma keluarga kami yang seperti itu, kebanyakan keluarga di Kampung Sawah begitu.
Di Kampung Sawah bahkan ada yang dinamakan daerah segitiga emas. Di daerah itu berdiri tiga rumah ibadah: Masjid Agung Al Jauhar Yasfi, Gereja Katolik Santo Servatius, dan Gereja Kristen Pasundan (GKP). Letak ketiga rumah ibadah tersebut berada di satu jalan besar, Jalan Raya Kampung Sawah, dan berdekatan membentuk bidang seperti segitiga. Makanya dinamakan segitiga emas.
Harus saya akui, kehidupan di kampung ini cukup beragam dan semua berjalan harmonis. Nggak ada tuh yang namanya ribut-ribut meski dalam satu keluarga ada yang berbeda suku dan agama. Begitu pula soal ibadah. Saat hari raya Natal atau Lebaran tiba, keluarga di sini saling mengunjungi dan mengirimkan makanan.
Konon, sedari dulu kakek dan nenek saya tinggal di sini, kehidupan harmonis ini memang sudah ada. Dan kehidupan yang penuh toleransi itu diwariskan turun temurun hingga sekarang.
Ibu saya orang Betawi, tapi punya marga
Seperti yang sudah saya jelaskan di atas, ibu saya adalah orang Kampung Sawah. Blio mewariskan marga Betawi Nasrani dari kakek saya. Seperti orang suku Batak, orang Betawi yang beragama Nasrani (baik Katolik maupun Protestan) di Kampung Sawah akan membawa nama belakang dari ayahnya.
Setidaknya ada lebih dari 20 marga Betawi Nasrani di Kampung Sawah ini. Marga-marga tersebut di antaranya Baiin, Dantjie, Djimin, Djioen, Koeli, Napiun, Niman, Rikin, Sanglir, dll. Kalau disuruh menyebutkan satu persatu, wah, saya sendiri nggak hafal saking banyaknya. Kakek saya sendiri membawa nama belakang Koeli, sementara nenek saya membawa nama belakang Rikin. Dan ibu saya tentu saja menyandang marga Koeli di belakang namanya seperti nama bapaknya.
Mengutip dari website Seni Budaya Betawi, Aloisus Eko Praptanto dalam bukunya yang berjudul Sepangkeng Kisah Gereja Katolik Kampung Sawah Bekasi mengatakan, tradisi marga di Kampung Sawah berhubungan dengan sejarah masuknya agama Kristen sekitar 1851. Perkumpulan pengabaran Injil di Batavia (Belanda) Mr. Anthing merupakan pendiri gereja Kristen di daerah ini. Bahkan, di Gereja Kristen Pasundan (GKP) Kampung Sawah tradisi marga hadir sekaligus sebagai pola hubungan kekerabatan keluarga antarjemaat.
Ibadah di gereja pakai peci dan kebaya encim
Peci memang umumnya dipakai kaum muslim. Namun jangan kaget kalau kalian main ke Kampung Sawah dan menemukan bapak-bapak memakai peci pergi ke gereja. Sebab, peci ini juga menjadi identitas masyarakat Betawi, tak terkecuali para warga Betawi di Kampung Sawah.
Konon, peci ini digunakan para jawara dan jagoan Betawi zaman dulu. Biasanya peci yang digunakan adalah peci berwarna hitam polos yang terbuat dari bahan beludru. Ada juga sih yang memakai peci berwarna merah. Katanya dulu peci ini semacam identitas para jawara dan jagoan Betawi.
Kini, peci nggak cuma dipakai para jawara dan jagoan Betawi. Peci juga digunakan warga Betawi Nasrani di Kampung Sawah untuk beribadah. Penggunaan peci ini merupakan simbol dari kebudayaan Betawi. Dan memakai atribut Betawi saat ibadah sudah dilakukan gereja di Kampung Sawah secara turun temurun.
Jadi, saya sudah nggak heran melihat bapak atau pakde saya berangkat ke gereja memakai peci dan baju koko, atau melihat ibu dan bude saya pergi ibadah menggunakan kebaya encim dengan motif Betawi. Karena ya memang begitu budayanya. Namun, nggak tiap hari Minggu kok memakai pakaian adat seperti ini, biasanya saat ada momen khusus di gereja aja.
Begitulah Kampung Sawah dengan segala keunikannya. Meski warga di sini berbeda keyakinan dan suku, kami tetap menjunjung tinggi kebersamaan. Rasanya nggak berlebihan kalau saya merasa bangga menjadi bagian dari warga di sana. “Indonesia mini” ini akan terus menjadi rumah saya tempat saya pulang.
Penulis: Intan Ekapratiwi
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Kota Bekasi dan Kab Bekasi yang Bikin Bingung, Apalagi Soal Sepak Bola.