Kalau Punya Gaya Hidup Minimalis Terasa Susah, Jangan-jangan Konsepmu Salah Kaprah

Kalau Punya Gaya Hidup Minimalis Terasa Susah, Jangan-jangan Konsepmu Salah Kaprah terminl mojok.co

Kalau Punya Gaya Hidup Minimalis Terasa Susah, Jangan-jangan Konsepmu Salah Kaprah terminl mojok.co

Beberapa hari yang lalu, saya membaca tulisan di Terminal Mojok yang membahas tentang susahnya menjadi orang yang menerapkan gaya hidup minimalis. Setelah membaca tulisan tersebut, respons saya adalah, “Lah, kok gitu?” Dan membuat saya lantas membaca ulang buku-buku tentang konsep minimalisme.

Saya adalah salah satu orang yang juga tertarik dengan gaya hidup minimalis. Kira-kira setengah tahun belakangan saya membaca beberapa buku dan menonton film yang membahas tentang gaya hidup minimalis, serta menonton video para praktisi minimalisme di YouTube. Dan kini, nilai-nilai yang ada di dalam konsep minimalisme sudah mulai merasuki jiwa raga saya.

Semenjak menerapkan gaya hidup minimalis, saya mendapatkan beberapa perubahan kecil dalam hidup. Iya, kecil. Dan mungkin tidak terlalu signifikan. Tetapi, saya puas dengan perubahan yang terjadi. Kamar saya menjadi lebih rapi, saya jadi lebih rajin untuk membersihkan kamar, serta menekan jiwa konsumtif saya.

Ada dua poin utama yang saya tangkap dari konsep minimalisme yakni, mengenali diri sendiri dan merasa cukup (dengan sedikit barang). Berikut akan saya coba jelaskan satu per satu.

Pertama, mengenali diri berarti mengetahui apa-apa yang penting dan tidak penting bagi kita. Poin ini cukup menarik karena dari kalimat tersebut kita sudah bisa menyimpulkan kalau definisi minimalis itu tidak seragam dan sangat personal. Hal inilah yang juga membuat para praktisi minimalis menjadi orang yang percaya diri dan tidak lagi membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain, bahkan dengan sesama penganut minimalisme.

Sebagai contoh, Matt D’Avella, praktisi minimalis yang juga seorang film director dan YouTuber. Ia memiliki 24 potong kaus. Kelihatannya terlalu banyak untuk seseorang yang menyebut dirinya praktisi minimalis, tapi Matt D’Avella tahu persis bahwa 24 adalah jumlah yang pas untuknya. Sehingga, dia tidak peduli dengan pendapat orang yang mengatakan bahwa dirinya tidak layak disebut praktisi minimalis karena jumlah kausnya terlalu banyak. “Bodo amat kata orang.” mungkin begitu batinnya.

Kasus di atas memberikan pemahaman kepada saya bahwa minimalisme itu bukanlah perlombaan untuk menunjukkan siapa yang punya paling sedikit barang. Minimalisme mengajak kita untuk mengenali diri sendiri sembari mengurangi barang-barang yang tidak kita butuhkan atau tidak kita sukai. Kalau kita adalah seorang pecinta buku, mungkin 50 atau bahkan seratus buku bukanlah jumlah yang berlebihan untuk kita.

Kedua, merasa cukup berarti tidak menginginkan lebih, ya iya lah wkwkwk. Maksudnya, kita harus memahami bahwa kebahagiaan tidak datang dari barang. Barang baru mungkin akan memberikan kesenangan di awal, tapi seiring berjalannya waktu, kesenangan yang diberikan akan menjadi sama saja dengan barang lainnya. Jika kita mengetahui siklus tersebut, kita tidak akan mudah tergiur dengan penawaran produk-produk baru yang lebih bagus atau canggih. Toh, barang baru akan jadi usang juga.

Selain dua poin tersebut, ada satu hal yang juga perlu diperhatikan ketika kita ingin memulai menerapkan gaya hidup minimalis. Di dalam bukunya, Francine Jay mengatakan bahwa sekarang ini banyak orang yang memandang minimalis sebagai gaya hidup yang elite. Lantaran sering kali dikaitkan dengan hunian berkelas dan ruangan berisi furnitur-furnitur mewah, padahal konsep aslinya bukan seperti itu.

Memang, para minimalis sepakat dengan kalimat “quality over quantity” dan kebanyakan dari mereka menyukai warna-warna yang tidak mencolok. Namun, kita juga harus mengingat kembali prinsip mengenali diri sendiri. Kalau tidak mampu membeli MacBook, laptop Asus atau Lenovo masih punya fungsi utama yang sama, kok. Dan kalau memang warna favorit kita adalah kuning atau hijau, ya tidak masalah juga punya baju dengan warna-warna tersebut.

Terakhir, menjadi minimalis bukan berarti harus punya perabotan-perabotan mahal dengan desain estetik. Pun, bukan berarti hanya boleh punya kaus dengan warna hitam dan abu-abu. Bukan. Menjadi minimalis berarti mengenali apa yang penting bagi kita dan merasa cukup serta bersyukur atas hal-hal yang sudah kita miliki.

BACA JUGA Sulitnya Menerapkan Gaya Hidup Minimalis dan tulisan Muhammad Ramadhani Suryolaksono lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version