Mengkritisi relevansi organisasi mahasiswa ormawa sepertinya sudah menjadi keharusan bagi mahasiswa yang melabeli dirinya progresif. Mereka berkoar kemana-mana mendakwahkan kegagalan ormawa yang tidak mampu menjadi relevan sesuai kebutuhan mahasiswa sekarang.
Padahal, bagi saya mereka punya opsi lain yang jauh lebih terhormat daripada hanya sekadar berkoar-koar. Misalnya, maju sebagai ketua ormawa dan mengubahnya dari dalam sistem. Masalahnya, tidak banyak yang rela mengorbankan waktu dan tenaganya untuk mengambil jalan ini.
Oh, kalian masih bilang mengubah dari dalam itu nggak efektif? Ya nggak apa-apa, wong ga nyoba juga kan klean.
Dengan mengisi pos kepemimpinan di ormawa, perubahan yang dikehendaki akan lebih mungkin terjadi. Namun menjadi ketua saja belum cukup. Ada beberapa kiat-kiat yang bisa dilakukan untuk memuluskan jalan perubahan di dalam tubuh ormawa. Mungkin banyak hal yang tidak bisa diseragamkan di semua kampus, tapi setidaknya tiga hal ini cukup universal untuk diterapkan.
Daftar Isi
Jangan terlalu mendengarkan senior
Bukan, saya bukan mengajarkan Anda untuk mengajak berkelahi atau meludahi muka senior. Namun, kadang ada beberapa permasalahan yang hanya bisa dijawab oleh mereka yang sedang menjabat. Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Kurang lebih mirip-mirip lah dengan slogan itu.
Kalau memang Anda merasa perlu ada perubahan atau penyesuaian demi mempertahankan eksistensi organisasi, kenapa tidak dilakukan? Dapat restu senior memang penting, tapi bukankah menjaga organisasi tetap hidup jauh lebih penting? Sekadar konsultasi dan meminta saran senior tidak ada salahnya, tetapi ingatlah bahwa pengambil keputusan terakhir tetap lah pengurus yang sedang menjabat sekarang.
Buat proker yang gak bosenin
Menyerahkan donasi ke panti asuhan dan mengadakan seminar barangkali menjadi program kerja (proker) ormawa yang paling umum. Tidak ada yang salah dari keduanya, karena memang itu tugas ormawa untuk menjalankannya. Yang bisa diubah adalah cara pengemasannya.
Daripada hanya sekadar menyerahkan donasi, ormawa bisa mengenalkan latar belakang keilmuannya dengan cara yang sederhana ke anak-anak panti asuhan. Misalnya, mahasiswa Sastra Inggris mengajarkan Bahasa Inggris, mahasiswa Pertanian mengajarkan penanaman hidroponik, atau mahasiswa Komunikasi mengajarkan public speaking.
Proker seminar yang monoton dan satu arah juga sebenarnya bisa diganti dengan workshop yang langsung mengajarkan keterampilan praktikal yang tentunya berguna bagi mahasiswa. Jadi bukan cuma dapat capeknya, tapi mahasiswa juga bisa post kegiatan ini di LinkedIn-nya.
Ormawa harus mulai membangun kemandirian finansial
Barangkali tantangan terbesar ormawa untuk tetap relevan adalah karena adanya problem finansial. Alih-alih mendapatkan benefit, banyak mahasiswa yang justru habis ratusan ribu untuk menjalankan suatu proker.
Ormawa harus bisa lebih kreatif dalam mengatur finansialnya. Tidak melulu dengan cara meningkatkan pendapatan. Bisa juga dengan meminimalkan pengeluaran. Misal, menjalin kolaborasi dengan brand untuk menjalankan workshop. Atau meminjam gedung milik pemerintah daerah untuk menggelar acara, sehingga bisa memangkas biaya sewa gedung.
Kalau berjalan dengan ideal, sebetulnya ormawa punya segudang manfaat. Anda bisa meningkatkan kompetensi diri tanpa harus punya pengalaman apa pun sebelumnya. Cocok untuk Anda yang baru mau mulai aktif menyusun portofolio karir. Tidak hanya soal karier, ormawa juga menyediakan ruang untuk aktif mengadvokasikan isu-isu sosial politik. Melalui demonstrasi atau memberikan rekomendasi kebijakan misalnya.
Saya tidak bisa menjamin kiat-kiat ini akan sepenuhnya berhasil. Tentu Anda akan bertemu dengan banyak tantangan di lapangan. Tapi, tidak ada salahnya untuk mencoba mengubah dari dalam sistem, bukan? Karena problem ini perlu diselesaikan dengan langkah yang konkret, bukan hanya dengan tulisan kritik yang ndakik-ndakik di LPM saja.
Penulis: Muhammad Naufal Majid
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Ormawa Itu Memang Bukan Keluarga, Ngapain Ngebet Dibikin kayak Keluarga sih