Jual Beli Kredit Bukan Berarti Riba Lalu Haram

kredit

kredit

Seorang teman mengirim sebuah pesan WhatsApp kepada saya. Berisi gambar simulasi kredit motor Nmax. Yang ternyata ̶j̶a̶d̶i̶ ̶b̶a̶h̶a̶n̶ ̶s̶h̶i̶t̶p̶o̶s̶t̶i̶n̶g̶ ̶ viral di dunia maya. Bahkan Kepala Suku Mojok, Mas Puthut mengunggah di akun Facebook pribadinya.

Setelah dicermati ternyata ada yang cukup menarik perhatian. Bukan perkara uang muka, setoran perbulan, dan jumlah uang total yang harus dibayarkan seperti kebanyakan brosur kredit motor. Namun gambar tersebut juga mencantumkan simulasi hitung-hitungan dosa bagi pelaku kredit.

Usut punya usut ternyata gambar tersebut berasal dari cuitan Twitter seorang warganet yang juga seorang sales. Beli Nmax dengan kredit bisa membuat seseorang masuk neraka, begitulah caption dalam cuitannya. Nah loh, udah total bayarnya lebih mahal, dihukumi dosa, dan masih terancam masuk neraka lagi. Ada-ada saja.

Ditambah lagi, biasanya narasi-narasi tersebut dibumbui ajakan untuk meninggalkan segala sesuatu berbau bid’ah dan haram. Kembali ke Alquran dan Sunah. Lah, memang selama ini kita kemana?

Beragama di zaman kiwari kian ruwet. Ini gak boleh itu gak boleh. Sedikit-sedikit riba. Sedikit-sedikit masuk neraka.

Yassir wala tu’assir, permudahlah dan jangan persulit. Begitu Maha Pengertiannya Allah kepada kita semua. Lalu, apa alasan kita menjadikannya sulit? Atas nama kekaffahan? Atau kekakuan dan kebekuan yang berlebihan hingga menjadi paranoid?

Maksud saya mari kita segarkan mindset komposisi hukum Islam di kepala kita. Jumhur (mayoritas) ulama terdahulu bersepakat bahwa tujuan hukum Islam pada konteks kehidupan kita ialah untuk menegakkan lima hal: (1) menjaga agama (hifzh al-din), (2) menjaga akal (hifzh al-aql), (3) menjaga jiwa (hifzh al-nafs), (4) menjaga keturunan (hifzh al-nasl), dan (5) menjaga harta (hifzh al-mal).

Esensi dari hukum Islam tersebut lalu secara teknis dikerucutkan dalam formulasi: wajib, sunnah, haram, makruh, dan mubah.

Riba itu haram. Begitu hukumnya. Mengambil untung banyak itu makruh hukumnya. Jual beli itu mubah. Tapi ia bisa menjadi wajib jika transaksi itu sangat suatu kondisi seseorang atau kelompok.

Ia bisa menjadi sunah bila didalamnya mengedepankan asas pertolongan (ta’awun). Ia juga bisa menjadi haram jika kebutuhan seseorang atau kelompok kepada barang yang Anda miliki Anda manfaatkan untuk mengeduk untung. Ia bisa menjadi makruh jika ada unsur merepotkan atau mempersulit.

Sederhananya begini. Tempe mendoan itu halal. Anda makan tempe mendoan status hukumnya mubah. Boleh. Bebas. Tapi jika tempe mendoan itu hasil mencuri, akan menjadi haram. Jika Anda makan tempe mendoan sampai melampaui batas, misal membuat Anda sulit bergerak untuk menunaikan salat, ia menjadi makruh.

Jual beli itu halal. Riba itu haram. Riba menjadi batas bagi status hukum suatu transaksi. Bukan menyamakannya dengan sistem kredit.

Keserupaan keuntungan yang didapat lewat jual beli secara kredit ini yang seringkali diwacanakan secara keliru oleh sekelompok masyarakat. Banyak orang yang kemudian ikut-ikutan beranggapan bahwa jual beli kredit sama dengan nganakne duit—riba. Padahal jelas beda.

Jual beli kredit dikenal dengan istilah ba’i taqsith hukumnya mubah (boleh) berdasarkan kitab Raudlatu al Thalibin karya Imam Nawawi. Sedangkan riba hanya meliputi tiga aspek transaksi jual beli yaitu emas, perak, dan bahan makanan. Paham?

Sudah saatnya pemahaman keagamaan terutama dalam bidang fiqh perlu senantiasa dikembangkan agar tidak terjebak pada kejumudan berpikir. Kebaruan adalah keniscayaan sesuai dinamika zaman dan ekspresi rohani umat Islam. Tengoklah sekarang ditengah maraknya dunia digital, muncul fenomena transaksi onilne yang tentunya tidak memungkinkan bagi kedua belah pihak—penjual-pembeli—untuk bertemu. Bagaimana status transaksi demikian? Apalagi barang yang diperjualbelikan tidak bisa dilihat atau dipegang langsung oleh calon pembeli.

Nah untuk menjawabnya kita perlu tahu kaidah Ushul Fiqh. Sangat populer dalam asas suatu hukum pada dasarnya adalah mubah (boleh, bebas) sepanjang tidak ada dalil yang menyebutkannya haram. Maka ketika tidak ada dalil keharaman tentang jual beli online. Berarti ia mubah. Boleh, bebas. Hanya saja, kesahihan sebuah jual beli pada hakikatnya ditentukan oleh kerelaan penjual-pembeli dan kesesuaian barang yang diperjualbelikan. Begitu prinsipnya.

Maka menfasirkan ayat Alquran dan hadis jangan hanya bermodalkan terjemahan dan mengambil rujukan medsos daripada kitab klasik dan modern. Keblinger. Jangan sok benar sendiri. Rasulullah Saw tidak pernah mengajarkan seperti itu.

Jadi semisal Mas Agus dan Mbak Kalis setelah menikah mau menyicil (kredit) rumah atau mobil. Tenang saja, hukumnya mubah kok.

Exit mobile version