Joshua Oh Joshua: Ternyata Sebuah Film Satire

Joshua Oh Joshua: Ternyata Sebuah Film Satire terminal mojok.co

Joshua Oh Joshua: Ternyata Sebuah Film Satire terminal mojok.co

Tak ada yang mau dilempar nasi panas sembari dihukum berdiri tanpa makan. Tak ada yang ingin hidup di tengah kemiskinan dan kerap dipukuli oleh orang tuanya. Bahkan, disiram air saat tidur di kursi depan rumah tetangga. Tapi, si anak ajaib idola bocah lawas pernah mengalaminya. Dialah Joshua Suherman, yang memerankan tokoh menderita bernama Jojo temannya Jejen. Mereka miskin, bapaknya miskin, ibunya miskin, teman-teman juga miskin. Itulah nasib mereka.

Sebuah film, layaknya film lain yang menceritakan kemiskinan, pernah merajai bioskop dan persewaan DVD di Indonesia. Joshua Oh Joshua, legendaris dan teruji sebagai masterpiece seorang Joshua Suherman. Film yang mengandung bawang untuk sebagian orang. Meski harus saya akui, Mega Utami lebih layak jadi tokoh utamanya. Secara akting dan olah vokal, ia lebih unggul. Seandainya bisa, ganti saja jadi Mega Oh Mega.

Film ini menghibur masa kecil saya yang polos. Lewat DVD punya teman, saya menonton film ini untuk pertama kali. Sebuah film yang menceritakan kemiskinan dengan standar. Standarnya film tangis-tangisan yang jauh dari realita, meski beradegan di pasar dan jalanan beneran, bukan set punya Bajaj Bajuri.

Pemaparan penderitaan dan kemiskinan yang mudah kita temui, atau kalau boleh kita sebut saja monoton. Miskin, pintar, berprestasi, menerima, sabar, tabah, bermental baja, di-bully, punya banyak teman, dan disiksa oleh orang tua yang kejam. Formula yang sudah digunakan sejak era 70-an, lawas, dan kekal.

Dia pekerja keras dan ranking satu terus. Bahkan, ia lebih pintar dari si anak orang kaya. Yang lagi-lagi, merupakan majikan dari ibunya si tokoh utama. Seolah, ini memang sedang menyajikan ironi. Tak punya waktu luang, hanya sekolah dan kerja, kerja, kerja. Tapi, nilainya bagus. Mungkin dia miskin dan jenius.

Ia menabung untuk beli banyak gitar, lalu disewakan ke pengamen. Sungguh cita-cita yang aneh dan absurd. Sudah begitu, tabungannya hilang disamber preman. Pokoknya kita diberi sajian penderitaan bertubi-tubi tiada henti.

Pada kenyataanya, tak mudah bagi anak yang kerja di jalan seperti Jojo untuk tetap bersekolah dan konsentrasi belajar. Bukan saya tak percaya dengan kemampuan anak-anak yang hidup seperti Jojo. Hanya saja, kemiskinan di film ini cuma dibicarakan sebatas bagaimana orang hebat tetap bertahan dan menerima.

Tak pernah ada yang membicarakan bagaimana kemiskinan itu tercipta, siapa yang ikut serta melanggengkan hal ini. Tak ada pembahasan soal keadaan kemiskinan yang sebenarnya, semua serupa romantisasi saja pada orang tabah yang miskin. Hak siapa yang direnggut, siapa yang merenggut, tak ditampilkan. Tak salah, tapi monoton.

Setelah kita terus diminta kagum pada kehebatan seorang Jojo sepanjang film, kita juga diminta marah pada Cecep Reza. Yang entah kenapa, hampir selalu dapat peran preman dalam kariernya sebagai aktor. Padahal, dia nggak bisa disalahkan seratus persen.

Hidup di lingkungan keras, tak jelas sosok orang tuanya, orang di sekitarnya mungkin toksik. Dia juga masih anak-anak. Tak ada keadilan di film ini. Terutama keadilan memandang tokoh-tokohnya. Para preman cilik itu juga butuh bantuan. Mereka bukan penjahat. Penjahat sebenarnya adalah pihak-pihak yang membiarkan dan membuat kesenjangan makin menjadi.

Anak seperti Cecep, Joshua, dan Jejen harus hidup dalam kesemrawutan kota. Begitu juga si penculik yang mengidap gangguan jiwa. Harusnya, ia tak dimasukan penjara. Meski yang dilakukannya salah, ia bukan orang yang sehat akalnya.

Justru yang lalai itu emaknya: kenapa menitipkan anak ke orang yang tidak dia kenal? Ini menunjukkan jika hukum belum memihak pada kebenaran. Tak disangka, film ini rupanya satire. Atau anggap saja begitu. Menyindir dengan halus, meski harus kita cari-cari sendiri.

Setelah semua itu, ada kejutan besar di penghujung cerita. Ternyata, Joshua adalah anak angkat. Dia sebenarnya anak orang kaya raya. Dia keluar dari lingkungan yang buruk dan kemiskinan. Lihat! kemiskinan yang semacam itu (kerap disebut kemiskinan struktural) tak bisa dikalahkan dengan mudah. Bahkan, harus punya privilese, semacam punya ortu sultan.

Tentu ini akhir yang menjengkelkan. Meski bisa saya anggap sebagai kemungkinan terbaik, selagi pihak yang bertanggung jawab untuk keadaan semacam ini tak mau bekerja dan makin memperburuk keadaan. Sungguh membagongkan!

Sumber Gambar: YouTube Aghnan Pramudihasan

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Exit mobile version