Jokowi, Tolong Dengarkan Suara Rakyat, Batalkan Kebijakan Ekspor Benih Lobster

Jokowi, Tolong Dengarkan Suara Rakyat, Batalkan Kebijakan Ekspor Benih Lobster MOJOK.CO

Jokowi, Tolong Dengarkan Suara Rakyat, Batalkan Kebijakan Ekspor Benih Lobster MOJOK.CO

Rasanya sudah berbulan-bulan sejak kritikan awal Bu Susi mengenai rencana kebijakan ekspor benih lobster diwacanakan oleh Kementrian Kelautan dan Perikanan RI (KKP). Begitu pula kritikan lain oleh berbagai elemen masyarakat yang ikut menyuarakan sikap menolak wacana kebijakan tersebut tetapi tidak didengar Jokowi.

Respons Jokowi tak seperti yang diharapkan publik. Melalui diterbitkannya Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No.12/2020 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan, kebijakan ekspor benih lobster menjadi legal. Meski diklaim oleh KKP bahwa pengaturan ekspor benih lobster diatur secara ketat. Akan tetapi, apakah klaim tersebut cukup untuk meyakinkan masyarakat mengenai antisipasi dampak sosial dan lingkungan kedepan?

Beberapa organisasi masyarakat menolak secara tegas kebijakan tersebut. Mulai dari PBNU hingga PP Muhammadiyah kompak menolak dan meminta Jokowi untuk membatalkan kebijakan tersebut. Hal yang sama dilontarkan oleh Prof. Emil Salim, seorang ekonom senior sekaligus tokoh lingkungan hidup internasional menyatakan hal yang sama. Bahwa kebijakan nggak selaras dengan agenda pembangunan berkelanjutan.

Belum lagi jika mengutip pernyataan Bu Susi. Beliau hampir saban hari menyuarakan sikapnya menolak secara tegas terbitnya kebijakan ini. Mulai dari memberikan alasan logis mengapa kebijakan ini justru berpotensi merugikan nelayan kecil dan lingkungan. Hingga secara terbuka ingin berdiskusi dengan pemerintah terkait persoalan ini.

Entah perasaan ini hanya saya yang rasakan atau nggak, dalam pikiran saya. Akhir-akhir ini, Jokowi dan jajarannya serasa bodo amat dengan aspirasi yang disampaikan publik. Memang aspirasi tersebut tetap ditampung, akan tetapi nggak dijadikan bahan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara.

Ambil saja contoh disahkannya Undang-Undang Minerba, yang mendapat sorotan banyak pihak karena dinilai secara formal pembahasannya secepat kilat. Secara substansial juga bermasalah karena UU ini dinilai sangat sentralistik. Kemudian ada Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang dihapuskan dari Prolegnas karena terlalu sulit dibahas. Hingga RUU Cipta Kerja (omnibus law) yang masih saja akan dilanjutkan padahal publik menolak keras keberadaan RUU tersebut.

Jokowi dan jajarannya (dan DPR) selalu berdalih apabila suatu produk hukum yang mereka keluarkan nggak memenuhi keinginan publik, baik itu bentuknya undang-undang atau kebijakan pemerintah melalui peraturan kementerian, silakan saja untuk diuji melalui judicial review, baik di Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi.

Secara hukum, memang pernyataan tersebut nggak ada salahnya. Ya memang kalau suatu produk hukum dinilai nggak memenuhi rasa keadilan, kemanfaatan, dan keadilan, kita bisa mengujinya di MA atau MK. Akan tetapi, logika semacam itu saat ini sering disalahgunakan untuk tetap memberlakukan berbagai produk hukum yang “cacat” dan nggak berdasarkan kepentingan publik.

Misal dalam konteks ini, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tersebut di judicial review-kan di MA. Bukan hal mudah mengujikan suatu produk hukum, ada tenaga yang harus dikorbankan karena harus memenuhi panggilan sidang di Jakarta. Apalagi jika yang mengajukan permohonan berasal dari daerah yang jauh. Ada biaya yang harus dikeluarkan, memang untuk sidangnya biaya yang dikeluarkan nggak besar. Untuk akomodasi hingga menghadirkan ahli, memangnya nggak pakai uang?

Yang menjadi pertanyaan, apakah semua elemen mampu dengan mudah memenuhi hal dasar mulai dari tenaga hingga biaya untuk men judicial review kan peraturan ekspor benih lobster tersebut? Memang bisa dikuasakan ke LSM tertentu. Tetapi kembali lagi, tetap ada proses panjang yang harus ditempuh. Padahal di lain sisi, kebijakan tersebut sudah aktif dan diterapkan di lapangan.

Katakanlah hasil judicial review-nya memenangkan bahwa substansi pengaturan ekspor benih lobster dianggap bertentangan dengan undang-undang yang berlaku. Akan tetapi, sebagaimana banyak terjadi saat ini. Apakah Jokowi dan jajarannya berkomitmen untuk langsung merevisi peraturan menteri tersebut? Banyak pasal UU atau peraturan yang dinyatakan batal atau nggak berlaku lagi oleh MA dan MK, tetapi nyatanya nggak direvisi juga oleh pihak yang berwenang.

Makanya, menyerap suara publik sebagai alas kepentingan dalam menyusun suatu UU atau kebijakan tertentu sangat penting. Intinya supaya nggak kerja dua kali, kalau misal suatu UU atau kebijakan disusun murni berdasarkan kepentingan publik. Ketika pembahasan, semua lancar karena nggak ada yang demo. Saat diberlakukan, pasti akan minim pelanggaran karena sesuai kebutuhan masyarakat. Masyarakat maupun pemerintah (dan DPR) nggak perlu susah payah menghadiri sidang judicial review atau  mungkin sidang di PTUN.

Maka dari itu, saya yang juga bagian dari masyarakat memohon kepada Jokowi, setidaknya, untuk membaca dengan hati lapang dan seksama laporan kajian PBNU, PP Muhammadiyah, lembaga penelitian di bidang lingkungan hidup, hingga mempertimbangankan pernyataan Prof. Emil Salim dan Bu Susi soal dampak kebijakan ekspor benih lobster ini.

Indonesia kan sudah berkomitmen untuk melakukan pembangunan berkelanjutan. Yang salah satu prinsip pentingnya adalah keadilan intragenerasi dan antargenerasi. Sehingga apakah benar kebijakan ekspor benih lobster ini bermanfaat bagi nelayan kecil? Atau justru bermanfaat bagi perusahaan eksportirnya?

Apakah sudah siap untuk menindak secara tegas jika terjadi pelanggaran dari pihak internal pemerintah? Sudah siapkah untuk merilis secara terbuka jika memang terjadi pelanggaran penerapan kebijakan ini?

Hingga sudahkah siap jika suatu hari nanti kita malah akan menjadi importir lobster karena kurang memperhatikan nilai lingkungan dan mengedepankan nilai ekonomis sesaat yang tercermin dalam kebijakan ini?

Jika tujuan hukum adalah keadilan, kemanfaatan dan kepastian. Inilah saatnya Jokowi meninjau ulang kebijakan ini didasarkan pada keadilan dan kemanfaatan. Saya mohon Pak Presiden, dengarkanlah suara kami melalui hati terdalam Anda.

BACA JUGA Susi Pudjiastuti Kesal pada Kebijakan-Kebijakan “Konyol” Kementerian Kelautan dan Perikanan dan tulisan Daffa Prangsi Rakisa Wijaya Kusuma lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version