Terus terang saja, saya sudah resah dengan banyaknya jasa joki skripsi yang beredar. Walaupun keberadaan mereka ini sudah lama muncul memaksiati dunia akademis, tapi baru kali ini saya menemui kelakuan mereka yang kepalang biadab.
Kelakuan biadab itu baru-baru ini saya temui di TikTok. Mereka membikin konten yang awalnya adalah mengedukasi tentang pengerjaan skripsi, tapi di ujung durasinya pejelasan mereka seolah-olah memberitahu bahwa skripsi itu susah dan rumit. Jadi, edukasinya itu dibuat sebagai pengantar agar yang nonton merasa, kalau skripsi itu bisa diselesaikan dengan cara yang mudah, yaitu pakai jasa joki.
Yang lebih bengisnya lagi, belakangan ini saya menemui promosinya dalam bentuk pamflet menempel di gapura kampus tempat saya kuliah. Saya betul-betul nggak habis pikir, kok bisa-bisanya mereka ini mempromosikan jasa memaksiati mutu akademis, justru di tempat mutu akademis itu ditumbuhkan. Otaknya di mana coba?
Daftar Isi
Padahal pintar lho, tapi kenapa malah goblok
Kalau dipikir-pikir, mereka ini sebenarnya pintar lho. Walaupun saya sama sekali belum pernah merasakan jasa joki skripsi, tapi saya berani bilang, mereka ini lebih kompeten sebagai pendidik ketimbang beberapa dosen di luar sana.
Seperti misalnya di TikTok. Konten-kontennya tentang skripsi, seperti bagaimana menentukan variabel penelitian, bagaimana menentukan grand theory, bagaimana menjawab pertanyaan dosen penguji, itu mereka jelaskan dengan sangat, sangat sederhana.
Tapi yang saya heran, kenapa mereka jatuhnya kok malah goblok. Maksud saya, kenapa kepintarannya itu justru digunakan untuk melakoni pekerjaan yang haram secara akademis. Apa ya nggak lebih baik, jika misalnya kepintarannya itu dibuat untuk membantu orang lain.
Kalau alasannya atas dasar realistis; lebih gampang cuan daripada cuma mengedukasi, nggak sedikit juga kok, para content creator yang mendapat cuan lewat TikTok, tapi tetap mengedukasi tanpa ada niat untuk mengajak mahasiswa buat joki. Lihat aja dosen seperti Pak Ginanjar Rahmawan, yang kerap mengedukasi tentang skripsi di TikTok, tapi tetap bercuan karena lewat jualan bukunya.
Pikir saya, orang seperti Pak Ginanjar Rahmawan ini meskipun ujung-ujungnya jualan, itu lebih baik ketimbang mereka yang mengedukasi tapi malah nyuruh orang buat joki. Saya bukan sedang meng-endorse beliau atau gimana. Harusnya, para penjoki ini bisa seperti beliau, yang mencari cuan di sosial media, tapi tetap mendidik.
Bahkan, menurut saya, orang seperti beliau itu secara nggak langsung juga membantu para dosen dan kampus di luar sana—yang kebanyakan terhambat punya mahasiswa berkualitas gara-gara mental ngajarnya yang masih feodal.
Baca halaman selanjutnya
Penjoki skripsi: Potret manusia yang pintar, tapi nggak punya adab
Saya itu sempat terpikir, selain para politisi yang korup, apa para penjoki skripsi ini, ya, yang dimaksud oleh dalil agama yang biasanya berbunyi, “Al adabu Fauqol ‘Ilmi,” atau terjemahan bahasa Indonesianya, “Adab itu lebih tinggi daripada ilmu.”
Walaupun saya kurang tahu pasti apakah ungkapan itu shahih atau nggak. Tapi saya pikir secara moral, ungkapan tersebut amat sangat relevan jika ditujukan ke mereka yang kelakuannya biadab itu.
Ya, gimana nggak biadab? Pertama, promosi mereka, baik di sosial media maupun di dunia nyata, itu seolah-olah nggak peduli dengan mutu akademis. Mereka betul-betul lantang mempersuasi mahasiswa agar nggak punya kepintaran sekaligus moral. Celakanya lagi, promosi dalam bentuk pamflet ditempel di gapura kampus itu apa namanya kalau bukan bajingan yang menentang adab?
Yang kedua, kelakuan mereka itu juga secara nggak langsung menentang kemanusiaan. Sebab, ketika seorang anak itu dikuliahkan, orang tuanya pasti punya banyak harapan. Minimal, mereka berharap agar anaknya bisa mempunyai kompetensi pengetahuan. Mereka juga berharap anaknya mempunyai cara berpikir yang tepat, agar hidupnya di kemudian hari bisa lebih baik.
Lah kalau ternyata anaknya dirusak oleh para penjoki, dan nggak punya kompetensi pengetahuan apapun. Akhirnya bukan tak mungkin mereka akan kesusahan, misalnya, dalam mencari pekerjaan atau ketika sudah masuk di dunia pekerjaan.
Nggak akan ada generasi masa depan selama jasa joki skripsi masih menjamur
Tentu saja yang nggak beradab ini bukan hanya para penjoki skripsi saja. Mahasiswa yang seharusnya sudah bisa berpikir mana yang baik dan mana yang buruk, patut dicap biadab kalau nggak bisa berpikir sesederhana itu.
Tapi, namanya mahasiswa, masih terbuai sama yang praktis-praktis. Terlebih lagi masih belum tahu kehidupan masa depannya yang tentunya lebih rumit daripada nyelesein skripsi, itu masih sangat butuh dituntun. Orang tuanya sendiri pun nggak sanggup menuntunnya. Makanya kenapa anaknya disuruh kuliah.
Semoga saja, sesegera mungkin ada kebijakan hukum,. Nggak hanya ditujukan untuk mahasiswa yang pakai jasa joki skripsi, tapi juga untuk para penjoki skripsi itu sendiri. Saya pikir, selama para penjoki skripsi ini masih menjamur, nggak akan ada yang namanya generasi masa depan. Yang ada justru generasi masa mundur.
Penulis: Achmad Fauzan Syaikhoni
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pengalaman Saya Menjadi Joki Skripsi yang Penghasilannya Nggak Main-main