Pernyataan dari Presiden Amerika bahwa Jakarta (bakal) tenggelam seketika membuat heboh. Isu tersebut sebenarnya sudah lama disuarakan kalangan akademis maupun pemerhati lingkungan. Tetapi, karena sekarang keluar dari Presiden Amerika jelas dampaknya berbeda.
Beberapa diskusi di media juga menyebut bahwa ancaman bukan hanya terhadap Kota Jakarta saja, namun juga kepada kota-kota di sepanjang Pantura. Bahkan seorang peneliti menyimpulkan bahwa ancaman tersebut setidaknya juga mengancam 115 pulau sedang dan kecil di seluruh Indonesia.
Banyak alasan yang melatar belakangi kenapa pulau dan kota di Indonesia terancam tenggelam. Salah satunya adalah pengambilan air tanah secara masif dan sulit dikendalikan. Jadi masyarakat yang mengambil air tanah dituding ikut andil dalam penurunan muka tanah yang berimbas kepada tenggelamnya kota-kota. Waduh, apa iya? Saya sendiri berpendapat bahwa setidaknya ada lima alasan kenapa terjadi pengambilan air tanah oleh masyarakat.
Belum terlayani oleh PDAM
Gubernur DKI sendiri pada satu kesempatan di tahun 2019 menyampaikan bahwa ada 40 persen masyarakat di Jakarta yang belum terlayani oleh PDAM. Nah, kalau 40 persen itu bukan pelanggan PDAM terus sumber airnya pakai apa? Air tanah tentu saja yang dipilih. Alasannya dilihat dari segi kepraktisan, biaya, dan kualitas air. Jadi apakah 40 persen masyarakat tadi bersalah kalau mereka mencari alternatif sumber air karena Pemerintah belum sanggup untuk memberikan layanannya?
Air tangki mahal
Silakan googling berapa harga air tangki, lalu lihat dompet Anda. Setidaknya harga air dari truk tangki dengan kapasitas 8000 L atau 8m3 sejumlah Rp500.000. Dikutip dari statistik.jakarta.go.id, kebutuhan air pelanggan PDAM rata-rata sebesar 719 m3 selama satu tahun. Jadi silahkan menghitung sendiri berapa bajet yang harus dikeluarkan oleh konsumen jika harus membeli air tangki. Belum lagi untuk perkampungan padat penduduk, aksesibilitas truk tidak memungkinkan untuk menjangkau ke konsumen. Kalau truknya bisa meloncat langsung ke tengah perkampungan padat penduduk mungkin bisa.
Menampung air hujan (?)
Kalau pengin murah tetapi tidak boleh dari air tanah, air hujan bisa menjadi alternatif. Tetapi, siapa yang mau melakukannya? Dan siapa yang punya penampungan air hujan yang memadai? Air tanah jelas lebih unggul daripada air hujan. Belum lagi kalau atap warga memakai seng dan akan memanfaatkan air hujan sebagai sumber air bersih. Perlu dilakukan upaya teknologi tepat guna yang sesuai untuk dapat menampung dan memanfaatkan air hujan tersebut sebelum digunakan untuk keperluan sehari-hari.
Air sungai
Air sungai mungkin bisa menjadi alternatif sumber air bersih bagi masyarakat yang tinggal di sekitar daerah aliran sungai. Namun, bagi masyarakat perkotaan, misal Jakarta, apa kita tega memakai air dari sungai di Jakarta? Kita sudah tahu dan saya kira sepakat bahwa ini sangat tidak layak untuk menjadi solusi. Satu studi yang dilakukan oleh Universitas Indonesia terhadap Sungai Pesanggrahan menyimpulkan bahwa kandungan kimia dan biologis sungai sudah tercemar sehingga tidak direkomendasikan untuk dimanfaatkan oleh masyarakat.
Sumber air pegunungan
Jika salah satu produsen air terkenal dalam beriklan selalu menyampaikan bahwa produknya menggunakan air dari mata air tertentu, hal ini tentu saja tidak bisa menjadi rujukan bagi masyarakat umum. Hanya masyarakat yang tinggal di sekitar pegunungan yang memiliki sumber mata air itu bisa dilakukan. Nah, kalau tidak apa iya harus menunggu sampai bisa terjangkau oleh pelayanan PDAM?
Jadi, alih-alih menyalahkan masyarakat dalam pengambilan air tanah, perlunya segera dilakukan Gerakan Nasional Pelayanan Air Bersih Optimal. Tentu saja upaya ini bukan seperti membangun candi dalam semalam. Upaya intensif dan kolaborasi pusat daerah sangat penting untuk dilakukan segera dan hak masyarakat akan pemenuhan kebutuhan air bersih tetap terpenuhi tanpa mengabaikan dampak lingkungan yang ditimbulkan.
Ketimbang nyalahin rakyat karena pakai air tanah, mbok gerak gitu lho, sekali-kali.