Jangan Pernah Terjebak Lampu Merah di Rawamangun, Bisa-bisa Berangkat Masih SD, Pulang-pulang Sudah Sarjana

Jangan Pernah Terjebak Lampu Merah di Rawamangun, Bisa-bisa Berangkat Masih SD, Pulang-pulang Sudah Sarjana

Jangan Pernah Terjebak Lampu Merah di Rawamangun, Bisa-bisa Berangkat Masih SD, Pulang-pulang Sudah Sarjana

Saya sebetulnya nggak tahu kondisi daerah lain gimana. Mungkin ada daerah yang lampu merahnya ngelebih-lebihin Rawamangun. Entah dari jumlahnya atau bahkan ngeselinnya. Tapi, berdasarkan penilaian dan pengamatan saya sendiri, lampu merah yang ada di Rawamangun sudah tergolong banyak. Kelewat banyak malah.

Harus saya akui, sebetulnya lampu merah di Rawamangun nggak ngeselin banget. Tata kotanya juga memang mengharuskan Rawamangun punya banyak lampu merah. Jalan dikit, ketemu pertigaan. Jalan dikit, ketemu perempatan. Nggak mungkin kan tiap persimpangan ada orang yang ngatur. Jadi, satu-satunya yang bisa diandelin ya lampu merah. 

Tapi yang namanya manusia, ya selalu saja ada perasaan nggak terima. Terlebih Rawamangun ini memang lampu merahnya kelewat banyak. Ya gimana nggak sebel ya.

Mari kita hitung sama-sama

Memangnya, sebanyak apa lampu merah di Rawamangun, kok saya bilang kelewat banyak? Oke, mari kita hitung sama-sama.

Jarak dari kantor BPKP sampai dengan perempatan Tugas itu 4 kilometer. Tapi, sepanjang jalan itu, sepanjang jalan Pemuda, ada 5 lampu merah. Persimpangan Pramuka, perempatan Sunan Giri, pertigaan arah Balai Pustaka, perempatan Arion, sampai di perempatan Tugas. Menurut saya, ini sih bukan jumlah yang wajar. Dan ini baru sebagian kecil dari Rawamangun. 

Selain itu, masih ada lampu merah di depan terminal Rawamangun, perempatan HKBP, rumah sakit Persahabatan, sampai Utan Kayu. Di sekitaran Rawamangunnya juga masih banyak. Misalnya, waktu sudah masuk ke daerah Cipinang Baru, Cipinang Kebembem, atau Jatinegara Kaum, itu juga masih banyak lampu merah. 

Itu semua daerah yang berbatasan dengan Rawamangun. Seperti saya bilang, ini karena di Rawamangun dan sekitarnya kebanyakan persimpangan. Entah itu pertigaan atau perempatan. Saking banyaknya, ada beberapa persimpangan yang saya rasa seandainya nggak ada lampu merahnya juga nggak masalah. Salah satunya perempatan di Pasar Sunan Giri. 

Untungnya lampu merah di Rawamangun nggak ruwet

Maksud saya nggak ruwet, kebanyakan lampu merah di Rawamangun tergolong santai. Saya bisa nilai, masih banyak daerah lain dengan lampu merah yang jauh lebih chaos. Serobot-serobotan lampu merah jelas masih ada, tapi nggak seberapa kalau dibandingkan dengan daerah lain yang saya tahu. 

Suara klakson nggak sampai sebising itu. Dan perlu diingat, lampu merah di Rawamangun itu banyak. Durasinya sendiri juga sebetulnya nggak terlalu sebentar. Masih tergolong lama. Yang sering saya alami itu kena dua kali lampu merah dalam satu kali antre. Misalnya, kita nyampe di lampu merah di posisi lampu lalu lintasnya merah. Nah, karena posisi kita terlalu belakang, kita belum sempat lewat lampu lalu lintasnya, sudah keburu merah lagi. 

Mungkin karena saya sudah biasa, jadi nggak begitu emosi. Kalau buru-buru, jadi agak gelisah saja. Tapi ya bingung mau gimana lagi. Memang Rawamangun bukan buat orang yang buru-buru. Mau sengebut apa pun bawa kendaraannya, pasti nanti ketemu lampu merah dan mau nggak mau berhenti sebentar. 

Titik yang paling tinggi kemacetannya 

Sepengamatan saya, titik lampu merah dengan kemacetan paling parah di Rawamangun dan sekitarnya adalah lampu merah di perempatan Utan Kayu. Hampir tiap sore, macetnya bisa sampai kira-kira 800 meter. Dari perempatan Utan Kayu, sampai perempatan di Pasar Sunan Giri. Ya wajar sih, jalanan cuma muat dua mobil, di depan kampus UNJ, di depan TPU pula. 

Kalau lagi musim lebaran atau musim nyekar, makin-makin itu macetnya di sana. Banyak mobil parkir di pinggir TPU Kemiri. Sementara, jumlah kendaraan yang melintas nggak berkurang juga. Ya sudah, tinggal terima nasib. Apalagi yang bawa mobil. Yang bawa motor sih bisa selap-selip. 

Di titik lampu merah yang lain nggak semacet di perempatan Utan Kayu ini. Mungkin karena jalannya cukup besar. Tapi ya tetap saja, namanya lampu merah mah perlu berhenti. Paling nggak, kalau lagi apes, seminimal-minimalnya perlu nunggu 30 detik sampai satu menit. Mungkin nggak bisa dibilang apes juga. Ladang pahala boleh lah. Biar semakin banyak istigfar. 

Yah, begitulah Rawamangun. Tempat ini memang tidak cocok untuk orang yang buru-buru, dan hanya untuk orang yang kelewat sabar. Yang penting jangan sampai kejebak macet di lampu merah di Rawamangun sih. Bisa-bisa, berangkat SD, pulang udah kelar S2.

Penulis: Muhammad Fariz Akbar
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA 4 Hal yang Bikin Rawamangun Terlihat Superior ketimbang Daerah Lain di Jakarta Timur

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version