War KRS adalah bukti kampus gagal dalam perkara menyediakan akses yang kelewat sederhana. Kalau memang nggak mampu, nggak usah dipaksa deh, serius.
Apa yang lebih menyedihkan ketimbang begadang hingga jam 4 pagi? Tentu saja jawabannya adalah begadang hingga jam 4 pagi, mata merah, kopi ketiga sudah tandas, mi rebus tinggal kuahnya, dan website SIAM (Sistem Informasi Akademik Mahasiswa) masih “Server Error 504”.
Jancuk!
Betul. Saya sedang war KRS, hal yang mahasiswa alami sebelum memulai semester. Hal yang kadang seru, sekaligus bikin mulut tak berhenti menggerutu. Kenapa? Ya karena saat masa-masa KRS, website kampus selalu down.
Ealah Gusti, sungguh lucu ketika institusi pendidikan tinggi yang katanya “world class university” dan baru saja meresmikan pusat studi AI, masih kalah canggih sama website jual beli online. Lha wong toko online aja bisa nampung jutaan pengunjung pas flash sale, masak website akademik yang cuma diakses mahasiswa satu universitas saja bisa-bisanya down? Sebenernya IT kampus itu ngapain aja sih?
Daftar Isi
Stop Romantisasi War KRS!
Bayangkan, kita membayar UKT yang nominalnya bikin kantong jebol, tapi dapat layanan yang bikin kepala cenut-cenut. Uang UKT semahal itu dan mahasiswa sebanyak itu, apa iya nggak mampu beli server yang proper?
Kadang saya juga mikir kenapa problem tahunan seperti war KRS ini seakan tidak ada penyelesaiannya. Yang bikin tambah nyesek, universitas kita ini kan katanya sudah terakreditasi internasional. Tapi kok ya sistemnya masih kayak warung kelontong yang internetnya nebeng wifi tetangga? Padahal kalau dipikir-pikir, ini kan sistem yang dipakai tiap semester. Bukan sistem dadakan yang dibikin seminggu sebelum KRS. Masak ya nggak bisa diperbaiki?
Jangan lupakan drama tambahan yang selalu menyertai war KRS ini. Grup Line dan WhatsApp yang mendadak rame dengan ratapan dan keluhan. Status Instagram yang isinya screenshot “500 Internal Server Error” dengan caption “Bismillah war KRS”. Padahal saya yakin, dalam hati mereka mengutuk. Ada pula Base kampus di X yang penuh dengan cuitan galau mahasiswa yang nasibnya sama-sama ngenes.
Semuanya berakhir pada satu plot twist yang sama: ketika akhirnya berhasil login (setelah berjuang selama 6 jam), eh ternyata mata kuliah yang kita incar sudah penuh. Padahal kita udah nyiapin rencana A sampai Z buat jadwalnya. Udah kayak main catur 4D, mikirin SKS, jadwal, dosen, dan ruangan yang nggak bentrok. Tapi apa daya, server tak seindah rencana.
Mari berhenti meromantisasi “perjuangan war KRS” ini sebagai ritual sakral mahasiswa. Ini bukan perjuangan heroik, bukan cerita epik tentang “siapa cepat dia dapat”. Ini murni kegagalan sistem pendidikan kita yang masih stuck di jaman dinosaurus—kampus-kampus yang katanya “institusi pendidikan tinggi” ini masih saja memakai sistem yang lebih lemah dari warnet kampung tahun 2010.
Sudah saatnya kita berhenti menganggap ini lucu. Ini adalah masalah serius tentang bagaimana institusi pendidikan tinggi gagal memberikan layanan dasar kepada mahasiswanya.
Ketika Kampus Sok AI Padahal Website Basic Aja Masih Error
Kalau kata orang Jawa: nek ora mampu, ojo dipekso. Kalau tidak mampu, ya jangan sok-sokan. Jika memang servernya tidak mampu menampung banyak akses, ya bikin sistem antrian yang proper kek, atau tambah bandwidth-nya, atau sekalian outsource ke AWS atau GCP. Masa iya universitas sekelas UB masih pake server yang spesifikasinya setara komputer warnet jaman SMP?
Ini yang bikin saya geli. Kampus saya ini hobi banget nyebut-nyebut “Artificial Intelligence”, “Machine Learning”, “Big Data Analytics” di setiap pidato dan presentasi. Bahkan universitas saya aja sekarang dikasih embel-embel “Artificial Intelligence University. Lah wong website KRS yang basic aja masih lemot kayak keong hamil, AI AI opo?
Para petinggi kampus dengan bangganya bilang “Kita sudah siap menghadapi revolusi industri 4.0!” sambil pamer slide PowerPoint yang isinya buzzword semua: “blockchain”, “Industri 5.0” “internet of things”, dan sederet. Tapi coba tanya berapa bandwidth server SIAM? Berapa RAM-nya? Jangan-jangan masih pake Windows XP?
Ironisnya, ketika ditanya soal masalah ini, pihak kampus dengan entengnya bilang “Sistem sedang maintenance” atau “Sedang ada gangguan teknis”. Lah terus, kenapa ada mahasiswa yang bisa akses dan ada yang nggak? Apa ini yang dinamakan “Kampus Merdeka”? Merdeka buat siapa? Atau minimal, kalau memang mau pake istilah keren “transformasi digital” dan “revolusi industri 4.0”, pastikan dulu dong website basic untuk layanan akademik bisa berfungsi sebagaimana mestinya.
Kegagalan Sistemik yang Harus Diubah
Di ujung tulisan ini, sambil masih menatap layar laptop yang menampilkan “Error 504” untuk kesekian kalinya, saya jadi berpikir: Mungkin ini semua ada hikmahnya. Mungkin war KRS ini cara kampus mengajarkan kita tentang “resiliensi” dan “ketahanan mental” yang sering mereka gembar-gemborkan dalam setiap pidato wisuda.
Tapi sampai kapan? Sampai kapan kita harus meromantisasi penderitaan ini sebagai “pengalaman kampus yang tak terlupakan”? Sampai kapan kita harus pura-pura bahwa begadang demi war KRS itu “hal yang wajar”?
Buat para petinggi kampus yang mungkin (atau mungkin tidak) membaca tulisan ini, coba sekali-sekali rasakan jadi mahasiswa. Duduk di depan laptop jam 2 pagi, modal nekat dan kopi sachet, berdoa dalam hati supaya server ajaib bisa diakses. Rasakan gimana rasanya lihat mata kuliah yang kamu incar diambil orang lain gara-gara server down pas giliranmu.
Ini bukan cuma masalah teknis. Ini adalah bukti nyata kegagalan sistemik sebuah institusi pendidikan dalam memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada mahasiswanya. Kalau memang tidak mampu mengelola sistem sendiri, ya sudah, outsource saja ke perusahaan yang lebih kompeten. Daripada bikin stres mahasiswa tiap semester.
Mungkin sudah saatnya sistem pendidikan tinggi kita berbenah. Bukan cuma sibuk kejar ranking webometrics atau akreditasi internasional, tapi juga memperhatikan hal-hal basic yang langsung berpengaruh ke mahasiswa. Toh kita sudah bayar UKT mahal-mahal. Masa iya uang sebanyak itu tidak cukup untuk beli server yang proper? Atau jangan-jangan… ah sudahlah, nanti saya dicap mahasiswa kritis dan dipanggil rektorat.
Penulis: Muhammad Haidar Sabid A
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA KRS Itu Fana, yang Abadi Adalah Dosen yang Seenak Jidat Mengubah Jadwal