Mau tidak mau, bermain bersama anak-anak mesti menjadi anak-anak. Kalau tidak, biasanya seseorang hanya akan melihat dari sudut pandangnya. Padahal sudut pandang anak-anak sering beraneka rupa.
Sedikit pengalaman bermain bersama anak-anak di Dolanan Anak Jogja—komunitas yang bergerak di bidang edukasi permainan tradisional—membuat saya terbiasa menjadi anak-anak. Setiap bertemu dengan anak-anak, rasanya ingin jadi teman mereka. Berkenalan dengan malu-malu, lantas bermain sampai lupa waktu. Bukan lupa waktu sih, cuma menyibukkan diri untuk mengisi waktu, agar segera melupakanmu.
Kemarin—di sebuah kereta—saya bertemu dengan Dek Nayla. Pipinya adalah impian para gadis, karena cubit-able. Matanya bening dan tatapannya menenangkan. Rambutnya lembut dan pendek. Senyumnya begitu manis dan tawanya gurih. Gadis yang menggemaskan.
Menyenangkannya lagi, Dek Nayla duduk di samping saya. Dia tepat di samping jendela. Meskipun begitu, dia lebih memilih bersandar di bahu saya. Kami memang baru kenal di kereta, tapi keakraban kami seperti kawan lama.
Jujur saya takut tergoda. Saya sudah punya kekasih dan inginnya setia. Untung, Dek Nayla masih berumur 1,5 tahun. Kalaupun saya tunggu, tentu masih lama. Jadi, saya putuskan untuk tetap setia. Syukurlah saya masih bisa amanah.
Saya naik kereta dari Surabaya sendirian. Sedangkan Dek Nayla tidak sendiri. Dia naik dari Stasiun Jombang dan hendak pergi ke Yogyakarta. Ibu dan kakaknya duduk di kursi lain. Sedangkan ayahnya duduk di samping Dek Nayla. Jadi Dek Nayla ada di tengah, tapi suka sekali polah. Inginnya pindah-pindah. Sebentar ikut ibu, sebentar kemudian ikut ayah.
Orangtuanya pun jengah. Dek Nayla dipaksa untuk tetap duduk di tengah. Tidak boleh ikut ibu, apalagi ikut yang lain. Nanti bikin orangtua pusing. Kalau sudah pusing, bisanya cuma muring-muring.
Dalam momen kepolahan Dek Nayla, saya mengamati sikap orangtuanya. Cara mereka menenangkan Dek Nayla, saya rasa kurang pas. Mereka memang cemas karena Dek Nayla terus-menerus seperti pegas, tuing sana tuing sini. Tapi kan tidak harus ditakut-takuti.
Saya perhatikan, Dek Nayla ketakutan dengan kecoa dan Nenek Grandong. Saya melihat, setiap kali Dek Nayla hendak beranjak, orangtuanya menakut-nakuti dengan mengatakan kalau di lantai ada kecoa. Dek Nayla pun akhirnya duduk kembali. Ekspresi wajahnya menampakkan rasa tidak percaya diri.
Begitu pula ketika Dek Nayla hendak pergi. Dia sudah berdiri dan bersiap lari. Tiba-tiba ibunya bilang, “Jangan ke sana. Ayo ke sini. Nanti diculik Nenek Grandong lho. Ayo! Ayo!” Dek Nayla pun segera mendekat ke ibunya. Mendekapnya seperti orang ketakutan. Kayaknya sama seperti ketakutan yang kamu rasakan ketika melihat mantan gandengan sama gebetan. Betapa menyeramkan!
Kejadian menakut-nakuti itu terjadi beberapa kali. Pokoknya setiap Dek Nayla mulai rewel dan hendak pergi. Saya prihatin. Mendidik anak seharusnya tidak seperti itu. Anak-anak yang dididik dengan ketakutan, hanya akan menjadi penakut dan bisa jadi mengganggu kesehatan—fisik maupun mental.
Akhirnya saya mencoba untuk berkomunikasi dengan Dek Nayla. Meski belum lancar berbicara, dia mampu merespon saya dengan senyum dan tawa. Kami pun bermain dengan gembira.
Dek Nayla mengambil tutup dot dan memfungsikannya sebagai gelas-gelasan. Tutup tersebut diberikan kepada saya untuk diisi minum-minuman. Saya memfungsikan sebuah earphone—yang ada di depan saya—sebagai alat pengisi minuman.
Dengan sebuah suara “Ces… Ces… Ces….”, saya mengisi penuh gelas-gelasan. Saya berikan minum-minuman itu kepada Dek Nayla. Dia pun langsung meminumnya dengan penuh dahaga. Setelah dirasa habis, diberikan lagi kepada saya.
“Neh!” katanya sambil tertawa.
Permainan ini kami lakukan sampai Dek Nayla kehilangan rasa haus. Dagangan saya pun ludes. Kami sama-sama bahagia, karena mendapatkan hal yang diharapkan bersama. Betapa menyenangkannya membiarkan imajinasi kami apa adanya.
Dek Nayla ternyata tidak habis akal. Setelah puas minum, langsung ganti permainan. Tutup yang semula jadi gelas-gelasan, kini jadi hewan-hewanan. Kebetulan sekali, tutup dot tersebut ada gambar muka kucing. Dek Nayla memainkannya sambil menirukan suara, “Meong… Meong… Meong….”
Saya meresponnya dengan kata “pus”, lalu Dek Nayla tertawa lepas—ngglegik. Orangtuanya yang sempat tertidur sampai terbangun. Mereka tidak menyangka anaknya bisa begitu gembira. Padahal baru saja kenal dengan saya.
Orangtuanya kemudian berterima kasih kepada saya. Begitupun dengan saya, betapa beruntungnya bertemu Dek Nayla. Sudah cantik, menyenangkan pula. Akhirnya, setelah permainan selesai, Dek Nayla istirahat. Dia ngedot sambil duduk di pangkuan ayah. Mereka berdua terlihat lelah.
Sampai di Solo, saya tak sempat pamit pada mereka. Semuanya sudah tertidur. Termasuk Dek Nayla yang membuat saya bersyukur. Sayang sekali, saya belum sempat minta nomor WhatsApp-nya. heu~