Menurut berita yang beredar, sebentar lagi pembukaan seleksi CPNS dan P3K akan segera dibuka. Dapat ditebak, pendaftarnya akan membludak sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Meskipun sebenarnya kesusahan dan keruwetan menjadi pegawai pemerintah telah diungkap di banyak media, termasuk artikel ini, saya yakin hal ini tidak mengurangi pendaftar seleksi ASN dalam jumlah yang signifikan.
Satu kemajuan besar yang telah dicapai oleh pemerintah kita adalah dapat melaksanakan seleksi CPNS dengan bersih. Sejak menggunakan sistem CAT, keterbukaan informasi semakin meningkat. Akibatnya setiap orang akan bisa mengakses informasi terkait pendaftaran, formasi, data pesaing, hasil administrasi, hingga skor hasil tes.
Ini adalah hal yang luar biasa. Entah bagaimana kerasnya perjuangan orang-orang dalam instansi pemerintah itu yang berani menyuarakan transparansi dan perubahan yang telah diwariskan turun temurun.
Salah satu efeknya adalah semakin banyaknya peserta yang mendaftar pada seleksi ASN. Para peserta belajar dengan giat, mempersiapkan administrasi, dan memilih lokasi serta formasi yang mereka inginkan.
Sebelumnya, marilah bersepakat bahwa sesuatu yang belum menjadi milik kita itu akan terlihat amat sangat menarik di mata, hati dan pikiran. Itu berlaku dalam hal apa pun. Gelar akademik, suatu target diri, diterima kerja, kelulusan kuliah, status diri, hingga diterima sebagai ASN.
Sayangnya tidak banyak orang yang pandai menjaga ketertarikan dan kesetiaanya pada aspek yang telah dicapainya mati-matian. Demikian juga pada seleksi ASN. Menjadi ASN tampak sangat menarik, menantang, menggiurkan, memiliki prestise bagi yang belum mencapainya—bagi mereka yang kepengin jadi ASN.
Namun, saat mereka telah mencapai hal yang mereka idamkan, masihkah semangat mereka sama dengan pada saat mengejarnya dulu? Itu tidak dapat dipastikan.
Menjadi ASN itu mengubah status seseorang yang sebelumnya menjadi insan “free will” menjadi terikat kepada janji pengabdian kepada negara. Dan itu berlaku hingga masa pensiun (teman saya menyebutnya jaminan pekerjaan hingga pensiun).
Peserta yang berlomba-lomba mengikuti seleksi CPNS sering mengerahkan segala daya upaya terbaiknya agar bisa lolos. Mereka belajar keras siang malam, bahkan hingga mengikuti bimbel. Sebagian lain mulai berdoa dan meminta restu orang tua. Bahkan hingga memilih lokasi yang minim pesaing, di pelosok daerah misalnya.
Semuanya tentu halal dilakukan. Yang penting bagi saya adalah kesiapan peserta untuk menjalani apa yang telah dipilihnya.
Masalahnya, pendaftar seleksi ASN sering kali lupa bahwa ia akan terikat kepada negara. Sebagian dari mereka berpikir yang penting lolos dulu, entah itu bagaimana di mana. Urusan mutasi belakangan, nanti pasti ada jalan.
Mereka terjebak pada euforia tes seleksi CPNS itu. Tak sedikit teman-teman saya yang memutuskan mencari lokasi yang cukup pelosok hanya untuk mengejar kemungkinan “yang penting diterima dulu”.
Banyak dari mereka yang akhirnya diterima di lokasi yang mereka pilih. Saat mereka mendapat berita kelulusan itulah, tiba-tiba euforia tes seleksi CPNS ambyar sudah. Pikiran mereka berputar 180 derajat. Sebuah pertanyaan besar menghantam kepala mereka. “Waduh, bagaimana ini? Jadi saya ambil apa tidak, ya?”
Hal ini tidak saya simpulkan secara sembarangan. Banyak kawan-kawan saya yang memilih lokasi yang amat jauh dengan rumahnya. Padahal ia telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Maka, ia akan menjalani hari-hari sebagai pasangan yang LDM.
Ada juga yang memilih lokasi di beda provinsi, beda pulau lagi. Ya Tuhan. Padahal yang bersangkutan juga telah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Bisa dibayangkan betapa nelongsonya kawan saya ini.
Jika kawan saya yang hanya selisih beberapa kabupaten, ia bisa pulang seminggu sekali. Nah, beda dengan kawan saya yang beda pulau. Sudah bagus bila bisa pulang setahun tiga kali.
Di sisi lain, saya juga punya kawan yang memilih penempatan di luar daerah asal. Ia sudah berkeluarga dan memiliki seorang anak. Sisi baiknya, keduanya -suami istri tersebut- memilih lokasi yang sama dan mukjizatnya keduanya lolos. Tentu keadaan ini jauh lebih baik.
Kadang kalau mendengarkan sambatan kawan saya -yang terpisah jauh dari keluarga dan anak- itu sedih juga. Tak jarang kita malah jadinya curhat bareng dan tiba pada satu pertanyaan.
“Apa yang dulu aku kejar ya?”
Ah, itu sudah sangat menyedihkan. Mau lepas jabatan, sekarang sudah ada kebutuhan besar. Mau mengurus mutasi susahnya minta ampun. Bahkan di lembaga tertentu salah satu syarat mutasi adalah sudah mencapai masa kerja sepuluh tahun. Itu masih salah satu lo, ya. Salah-salah yang lain masih banyak.
Kadang-kadang saya menguatkan hati kawan-kawan saya—dan juga saya—adalah dengan membandingkan dengan para TKI yang merantau di luar negeri bertahun-tahun. Sungguh mereka merasakan lebih dari yang kita rasakan.
Kalau ada yang bilang, “Yang penting diterima dulu. Nanti lama-lama pasti bisa pindah.” Percayalah, proses perpindahan itu bagaikan kalimat, “Jika bisa dipersulit, kenapa harus dipermudah?”
Baiklah, beberapa orang memang bisa pindah dalam kurun waktu kurang dari sepuluh tahun. Empat tahun, lima tahun, tujuh tahun misalnya. Tapi, itu kasus yang amat jarang. Lagipula, bertahan dalam kurun waktu empat, lima, tujuh tahun itu sama sekali bukan perkara yang mudah bagi mereka yang tidak betah dan tertekan. Ingat hukum relativitasnya Einstein, kan?
Jadi, buat kalian yang mau mendaftar sebagai peserta seleksi ASN, mendaftarlah dengan sepenuh logika. Bukan sepenuh jiwa yang menggebu pengen lolos lalu mengerahkan segala upaya.
Pilihlah formasi dan lokasi yang benar-benar bisa membuat kalian ikhlas mengabdi dan melayani masyarakat. Sebab, bagaimana mungkin kita bisa maksimal dalam bekerja jika belum beres dengan diri kita sendiri? Ingat juga satu pesan ini, status ASN itu bukan segalanya, yang harus kita kejar hingga harus mengorbankan banyak hal.
BACA JUGA ASN yang Rajin Itu Bukan Prestasi, tapi Bunuh Diri atau tulisan Rezha Rizqy Novitasary lainnya.