Nggak konsisten
Jalan Tunjungan Surabaya juga nggak konsisten soal apa yang sebetulnya mereka tawarkan ke wisatawan. Memang betul di sana lebih banyak makanannya, tapi juga ada beberapa hotel, bank, bahkan kantor yang nyempil di sana. Secara estetika aja sebetulnya sudah sangat mengganggu wisatawan. Wong ke sana mau refreshing, tapi kok yang dilihat malah kantor.
Belum lagi di sana ada banyak gedung-gedung kosong tak berpenghuni. Bikin pemandangan di sana kontras banget. Di satu tempat ada Wizzmie yang selalu ramai pembeli, tapi di seberangnya malah ada gedung gelap kosong. Selain itu, tulisan “Mlaku Mlaku Nang Tunjungan” yang seharusnya menjadi pemanis malah jadi nggak nyambung karena diletakkan tepat di sebelah kantor Bank CIMB Niaga.
Sebagai tempat wisata kuliner, wisatawan harus siap merogoh kantong agak dalam di Jalan Tunjungan Surabaya. Harga makanan di sana sangat nggak bersahabat. Jalan Tunjungan sepertinya memang nggak diperuntukan bagi golongan kaum menengah ke bawah, apalagi mahasiswa (kecuali penerima beasiswa KIP, sih).
Bayangkan saja, untuk bisa makan kenyang dan nyaman, harus keluar duit minimal sekitar 40 ribu rupiah. Kalau mau lebih murah sih bisa, ada banyak pedagang kaki lima di sana. Tapi, siap-siap saja makan sambil berdiri karena tempat lesehannya sangat terbatas.
Herannya, tempat seterkenal Jalan Tunjungan Surabaya hampir nggak punya penjual jajanan sekolah. Pentol saja susah banget dapetnya, kalau mau cari harus jalan dulu ke ujung Jalan Genteng Besar. Makin heran lagi karena di Jalan Tunjungan, ada tempat bernama Pasar Tunjungan yang namanya sendiri sungguh menyesatkan.
Kalau kalian pikir di sana akan menemukan jajanan atau makanan murah seperti pasar kebanyakan, kalian salah besar. Waktu masuk, pengunjungnya langsung disodorkan kios burger mewah berharga kisaran 50 ribu rupiah. Buset. Sudah nggak sesuai nama, lorong pasarnya panas pula.
Jalan Tunjungan Surabaya harus diperbarui
Dengan segala kekurangannya, Jalan Tunjungan wajib hukumnya untuk diperbarui. Kalau memang infrastrukturnya susah diubah, setidaknya berikan identitas khas yang nggak dimiliki tempat lain di Surabaya. Jangan cuma mengandalkan sejarahnya, dong.
Kalau memang mau dijadikan tempat jalan-jalan sambil kulineran, sekalian diubah jadi pusat makanan khas Surabaya. Makanan Surabaya macam lontong balap, rujak cingur, hingga pecel semanggi yang sudah sulit ditemui bisa dipusatkan di sana. Tentunya dengan harga terjangkau, ya.
Dengan begitu, wisatawan atau minimal warga Surabaya sendiri mungkin jadi punya alasan buat sering-sering datang ke Jalan Tunjungan. Nggak cuma ke sana setahun sekali nemenin saudara mampir doang, kan?
Penulis: Arief Rahman Nur Fadhilah
Editor: Intan Ekapratiwi
BACA JUGA Taman Apsari Surabaya, Pusat Peradaban Muda-Mudi Menandingi Jalan Tunjungan. No Apsari, No Party!
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.