Menjadi guru relawan di daerah 3T (Terdepan, Terluar, dan Tertinggal) masih menjadi kesempatan yang diidam-idamkan oleh para sarjana muda di Indonesia, baik yang bertitel sarjana pendidikan atau bukan. Hal ini terbukti dengan animo pendaftar program pengiriman pengajar muda yang diinisiasi oleh Yayasan Gerakan Indonesia Mengajar. Tiga tahun terakhir, pendaftar program tersebut mencapai angka 7000-an, dengan jumlah pengajar muda yang diterima tak lebih dari 40 orang.
Animo yang tinggi ini tentunya bukan tanpa alasan. Alasan yang muncul pun beragam. Sebagai alumni program tersebut, secara personal, ketika memutuskan untuk mendaftar, alasan utama saya adalah keengganan untuk kembali ke kampung halaman semenjak memutuskan menjadi nomadic teacher beberapa tahun sebelumnya.
Ya, meskipun alasan personal ini mampu saya bungkus secara apik dengan keinginan mulia agar dapat melihat wajah pendidikan di daerah 3T secara nyata, membersamai calon-calon pemimpin masa depan Indonesia, dan pastinya keinginan untuk ikut serta berkontribusi bagi bangsa dan negara. Alasan tersebut tentu sangat sejalan dengan latar belakang saya sebagai seorang sarjana pendidikan.
Pun demikian, ketika menjumpai teman-teman satu angkatan. Tidak sedikit dari mereka yang sekadar ingin take a break dari rutinitas pekerjaan yang sudah dijalani beberapa tahun terakhir. Dengan harapan ketika bertugas di daerah selama satu tahun, mereka bisa lebih mensyukuri dan memaknai arti kehidupan yang sebenarnya.
Selain itu, masa depan karier dan akademik juga menjadi alasan beberapa teman. Maksudnya? Dengan menjadi guru relawan yang disertai dengan tanggung jawab dan peran yang tidak sedikit, dirasa cukup bernilai untuk untuk meningkatkan kualitas curriculum vitae. Nah, dengan hal itu pula, esai untuk mendaftar beasiswa studi lanjut bisa lebih berisi dengan adanya bukti nyata kontribusi yang sudah dilakukan untuk bangsa Indonesia. Worthy banget nggak sih?
Beragam alasan tersebut pastinya menjadi modal awal yang dibawa oleh para guru relawan ke tempat penugasan. Alasan yang terbungkus dalam harapan-harapan itu nyatanya tak selamanya sesuai dengan ekspektasi. Sebab, ketika memutuskan untuk menjadi guru relawan, ekspektasi kita harus dipasang serendah mungkin.
Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Ternyata tak selamanya riset yang sudah kita lakukan melalui berbagai referensi terkait kondisi sosial, ekonomi, dan kebudayaan daerah 3T benar-benar sama dengan kondisi sebenarnya. Terlebih terkait hal-hal yang dianggap negatif.
Selain masih minimnya referensi, terkadang literatur yang ada hanya menyajikan hal-hal positif dengan tujuan untuk menunjukkan perkembangan masyarakat di daerah menuju masyarakat yang dianggap maju.
Sebagai guru relawan di daerah 3T, tentu tanggung jawab kita bukan hanya mengajar di sekolah. Pasti ada peran dan tugas tambahan dari lembaga/instansi yang sudah mengirim kita ke daerah 3T. Agar peran dan tugas tersebut berjalan semestinya, kemampuan beradaptasi menjadi yang utama.
Untuk itu, butuh waktu tiga sampai enam bulan untuk bisa benar-benar beradaptasi dengan kondisi di daerah 3T. Bersyukur ketika kita ditugaskan di daerah yang masyarakatnya sudah paham cara bagaimana menerima orang baru sesuai versi kita. Tentu, dengan mudah kita bisa beradaptasi dengan mereka.
Namun, kondisi berbeda akan ditemukan di daerah dengan masyarakat yang cara penerimaan terhadap orang baru tak sesuai dengan versi kita. Tentunya, kita yang harus berupaya sebisa mungkin untuk diterima oleh masyarakat tersebut. Apakah pasti berhasil dalam waktu tiga sampai enam bulan? Tak selalu.
Proses adaptasi dengan masyarakat yang membutuhkan waktu tak sebentar ini tentunya sangat berdampak pada proses eksekusi peran dan tugas kita sebagai guru relawan di daerah. Ketika kita saja belum diterima oleh masyarakat, bagaimana kita bisa mengajak orang tua siswa untuk peduli dengan pendidikan anaknya? Bagaimana kita hendak mengajak guru-guru untuk disiplin hadir di sekolah? Bagaimana kita bisa mengajak kepala sekolah untuk benar-benar menjalankan peran dan tugasnya? Bagaimana bisa kita mengajak masyarakat untuk ikut serta terlibat dalam pendidikan di daerah?
Nah, ketika berada dalam kondisi tersebut, apakah kita masih bisa fokus dengan harapan-harapan yang sudah kita bangun sebelum berangkat ke tempat penugasan? Alhamdulillah banget, buat kita yang masih tetap fokus pada harapan-harapan tersebut. Dan buat yang secara terpaksa, harapan-harapan itu berubah setelah sampai di tempat penugasan. Yaudah, take it easy. Jalani aja prosesnya. Sebab, kita sebagai manusia nggak bakalan tahu apa yang akan terjadi esok hari bukan?
Jadi, yakin masih mau jadi guru relawan di daerah 3T?